Kupi Beungoh
Ketika Asap dan Moral Berkelindan
Ironisnya, narasi seperti ini tak hanya berkembang di ruang-ruang publik, tetapi juga menyusup ke lingkungan akademik—termasuk kampus—yang seharusnya
Oleh: Khairil Miswar*)
WACANA seputar rokok belakangan ini mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan.
Dari yang semula berakar pada isu kesehatan publik, kini ia merayap masuk ke ruang perdebatan moral dan etika personal.
Lebih dari sekadar urusan medis, rokok kini dikaitkan dengan nilai-nilai kebajikan atau keburukan, seolah-olah sebatang rokok dapat menjadi indikator kemerosotan akhlak.
Ironisnya, narasi seperti ini tak hanya berkembang di ruang-ruang publik, tetapi juga menyusup ke lingkungan akademik—termasuk kampus—yang seharusnya menjadi tempat bagi nalar kritis, bukan penghakiman moral yang simplistis.
Pandangan semacam ini, menurut saya, tidak hanya keliru tetapi juga berbahaya.
Ia menciptakan generalisasi bahwa kebiasaan merokok adalah representasi kegagalan etik seseorang.
Sebuah penyamaan yang gegabah antara pilihan gaya hidup dengan kualitas moral pribadi, yang pada akhirnya mengaburkan batas keduanya.
Tentu saja, tidak ada yang menampik bahwa rokok membawa risiko kesehatan yang serius.
Fakta medis tentang bahaya konsumsi tembakau telah banyak dikaji dan dipublikasikan.
Namun menjadi janggal ketika kebiasaan merokok—yang sejatinya merupakan ekspresi preferensi atau kebiasaan hidup individu—ditarik-tarik masuk ke ranah moralitas dan etika sosial.
Sebab, moral bukanlah perkara apa yang kita isap, makan, atau minum; melainkan bagaimana kita memperlakukan orang lain, berempati, dan mengambil peran dalam kehidupan bersama.
Dalam pengertian yang lebih mendasar, moralitas tumbuh dari nilai-nilai universal: kejujuran, tanggung jawab, solidaritas, dan keberpihakan pada sesama.
Maka, menilai moral seseorang semata-mata dari kebiasaan merokok—tanpa mempertimbangkan perilaku sosial dan kontribusinya dalam masyarakat—adalah bentuk penyederhanaan yang dapat menjurus pada diskriminasi.
Kita berisiko menggantikan etika dengan estetika, meminggirkan substansi demi simbol, dan melupakan bahwa kemanusiaan tidak pernah bisa diukur dari sebatang rokok.
Ancaman Stigma dan Standar Ganda Moralitas
Dalam artikel berjudul _Rokok di Kalangan Kampus: Tantangan Moral dan Etika_ yang dimuat di rubrik Kupi Beungoh, Serambi Indonesia (6 Juli 2025), Ibrahim Laweung dan Prof. Rajuddin menyatakan dengan tegas bahwa rokok telah menjadi tantangan moral di lingkungan kampus.
Sebuah simpulan yang, alih-alih membentangkan ruang dialog, justru cenderung mempersempitnya.
Menggeser rokok dari isu kesehatan publik ke ranah moralitas bukan hanya sebuah lompatan logika yang terburu-buru, tetapi juga mengandung risiko: kampus sebagai ruang nalar bisa terjebak menjadi arena penghakiman, tempat stigma berkembang lebih cepat daripada argumentasi.
Mari kita jujur dalam melihat kenyataan sehari-hari. Mi instan, minuman bersoda, hingga gorengan—semuanya menyimpan risiko kesehatan yang tak kalah serius jika dikonsumsi berlebihan.
Namun sejauh ini, belum pernah ada yang melabeli penyuka mi instan sebagai individu “tidak bermoral”.
Bahkan konsumsi minuman berpemanis yang menggagalkan diet kerap dinikmati dengan senyum lebar, lalu diunggah ke media sosial sebagai bagian dari gaya hidup urban yang sah-sah saja.
Lalu, mengapa hanya perokok yang begitu mudah diseret ke dalam ruang penghakiman moral? Seolah-olah mereka adalah satu-satunya kelompok yang perlu ditakar kadar etikanya hanya karena preferensi gaya hidup.
Bisa jadi, tanpa sadar, kita tengah menikmati posisi sebagai hakim atas pilihan hidup orang lain—menetapkan standar etika berdasarkan kebiasaan konsumsi, dan melupakan bahwa hidup manusia jauh lebih kompleks dari sekadar apa yang masuk ke mulut atau diembuskan ke udara.
Stigma terhadap perokok tak hanya menyingkirkan mereka dari ruang sosial yang adil, tetapi juga membuka tabir tentang cara kita memahami etika dengan cara yang kerap bias.
Pertanyaannya sederhana: apakah seseorang yang rajin makan makanan sehat di rumah, namun membiarkan tetangganya hidup dalam kelaparan, dapat dianggap lebih bermoral ketimbang seorang perokok yang terlibat aktif dalam kegiatan kemanusiaan?
Atau, apakah mereka yang duduk berlama-lama di kafe mewah, mengunggah foto sate kambing dengan caption estetik, secara otomatis lebih mulia daripada buruh terminal yang menyalakan rokok demi meredakan stres setelah bekerja seharian?
Di sinilah letak ironi yang kerap luput dari sorotan: moralitas perlahan direduksi menjadi aksesori gaya hidup. Ia lebih banyak dinilai dari apa yang terlihat—apa yang dikonsumsi, dikenakan, dan dipamerkan—ketimbang dari pilihan-pilihan nyata yang mencerminkan keberpihakan, empati, dan tanggung jawab sosial.
Menariknya, mereka yang hidup dalam segala kenyamanan—berlibur ke luar negeri, menikmati fasilitas kelas menengah atas, dan menjalani hidup “bersih” dari kebiasaan yang dianggap buruk—seringkali luput dari kritik moral. Padahal, jika kita jujur menengok ulang, moralitas sejati tak pernah diukur dari bersihnya paru-paru, tetapi dari sejauh mana seseorang bersedia hadir dan terlibat bagi sesama.
Saya mengenal lebih dari satu perokok berat yang terlibat aktif dalam aksi sosial, rajin menyumbang untuk penggalangan dana kemanusiaan, bahkan tak ragu turun langsung saat bencana melanda.
Mereka memang merokok, tapi mereka juga menyisihkan waktunya, tenaganya, dan kadang hartanya, untuk orang lain.
Jika ukuran moralitas adalah kepedulian dan aksi nyata terhadap sesama manusia, maka bukankah mereka jauh lebih layak disebut bermoral dibanding mereka yang tubuhnya sehat namun hatinya steril dari empati?
Seorang buruh yang merokok tapi tetap menyisihkan sebagian gajinya untuk tetangganya yang sakit, atau seorang mahasiswa perokok yang aktif dalam komunitas literasi dan advokasi sosial, jelas tidak kalah—jika bukan lebih—bermoral dibanding mereka yang menjalani hidup sehat tapi tak pernah peduli pada apa pun di luar dirinya.
Saya pikir, kita tak perlu terlampau sibuk merawat citra “sehat” jika di saat yang sama, kita tega mengorbankan martabat orang lain dengan menuduh mereka tidak bermoral hanya karena memilih gaya hidup yang berbeda.
Sebab pada akhirnya, moral bukan soal apa yang kita hirup, tapi siapa yang kita bantu ketika dunia sedang tidak baik-baik saja.
Sejak Kapan Rokok Menjadi Indikator Moral?
Dalam konteks ini, patut kita pertanyakan secara kritis: dari mana sebenarnya muncul anggapan bahwa perokok identik dengan moralitas yang buruk?
Apakah ini semata produk kampanye kesehatan publik yang, tanpa sadar, disusupi tafsir nilai-nilai moral? Ataukah ada hasrat terselubung untuk menertibkan hidup orang lain lewat standar homogen yang dipaksakan—atas nama “kebaikan bersama”?
Mengaitkan rokok dengan moralitas, sejatinya, seperti menyalahkan sendok atas naiknya kadar gula darah. Ia keliru dalam logika, dan bisa kejam dalam konsekuensi sosial.
Sebab dari asumsi semacam itu, lahir kecenderungan untuk menghakimi secara buta, tanpa menyisakan ruang untuk empati atau pemahaman yang lebih dalam terhadap konteks dan latar belakang setiap individu.
Kita sering lupa bahwa dalam sejarah bangsa ini, sejumlah tokoh besar—pemikir, seniman, hingga pemimpin—adalah perokok.
Namun publik tak pernah mengingat mereka karena batang rokok di tangan, melainkan karena keberanian, karya, dan dedikasi mereka yang melampaui zamannya. Bung Karno merokok, tetapi yang ia kobarkan bukan asap, melainkan semangat kemerdekaan.
Chairil Anwar merokok, tapi yang tertinggal dari dirinya bukan aroma tembakau, melainkan getar puisinya yang masih menggugah jiwa hingga hari ini.
Pramoedya Ananta Toer pun merokok, namun ia dikenang karena buku-buku yang membentuk kesadaran kolektif bangsa—bukan karena abu rokok di ujung meja kerjanya.
Dari mereka kita belajar: yang menghidupkan puisi Chairil, gagasan Bung Karno, dan karya Pramoedya bukanlah nikotin, melainkan keberpihakan, keberanian, dan cinta yang tiada lawan untuk kemanusiaan.
Oleh karena itu, persoalannya bukan terletak pada batang rokok di tangan seseorang, melainkan pada bagaimana ia hidup sebagai manusia yang berpikir, merasa, dan bertindak.
Moralitas tidak bersemayam dalam asap, tetapi dalam kejujuran, kepedulian, dan tanggung jawab yang nyata. Menata ruang merokok demi kenyamanan bersama adalah tindakan etis, bahkan bijak—sebuah bentuk tanggung jawab sosial yang penting dan patut didukung.
Bahwa merokok tak boleh dilakukan di ruang tertutup, ruang kelas, atau area publik tanpa zona khusus, itu adalah aturan yang adil dan logis. Tapi ketika kita melangkah lebih jauh—menyebut perokok sebagai tidak etis, tidak sopan, bahkan tidak beradab—maka kita tengah melanggengkan bentuk ketidakadilan sosial yang halus, tapi memiliki daya rusak nyata.
Demikian pula, membatasi martabat seseorang hanya karena ia merokok adalah tindakan yang tidak adil, tidak bijak, dan—yang paling penting—tidak manusiawi. Sebab pada dasarnya, setiap individu atau kelompok memiliki alasan dan narasi hidupnya sendiri.
Perokok pun berhak menafsirkan dirinya secara utuh, bukan sekadar menjadi objek tafsir sepihak dari kacamata gerakan anti-rokok. Ketika kita memaksakan satu tafsir tunggal atas gaya hidup orang lain, kita bukan sedang memperjuangkan etika, melainkan sedang membungkam keberagaman cara hidup yang sah secara sosial maupun eksistensial.
Alih-alih terus menyalahkan perokok karena gaya hidupnya, barangkali sudah saatnya kita bertanya lebih jujur kepada diri sendiri: seberapa peduli kita pada mereka yang benar-benar tertindas?
Seberapa sering kita terlibat dalam kerja sosial yang nyata, bukan sekadar unggahan simpatik di media sosial? Sudahkah kita bersikap adil pada para pekerja informal, petani, nelayan, tukang ojek, atau buruh pasar—yang sebagian dari mereka merokok bukan karena ingin tampil gaya, tetapi karena itu satu-satunya hiburan paling murah yang masih bisa mereka jangkau di tengah hidup yang semakin berat?
Kita sering lupa, bahwa di balik sebatang rokok, seringkali tersembunyi letih, sunyi, dan beban hidup yang tak pernah diberi ruang untuk didengar, apalagi dipahami.
Pada akhirnya, moralitas tidak lahir dari bersihnya paru-paru, tetapi dari mata hati yang tidak buta melihat sesama.
Seorang perokok yang tahu batas, tidak mengganggu ruang publik, dan peduli pada nasib orang lain, jauh lebih layak disebut bermoral ketimbang mereka yang tak pernah menyentuh rokok, tapi juga tak pernah menyentuh penderitaan orang lain.
Asap bisa lenyap ditiup angin, tapi stigma terhadap perokok yang dikukuhkan atas nama moral palsu akan menetap sebagai bentuk ketidakadilan struktural. Maka sudahilah upaya menyeret rokok ke ruang sidang etika.
Sebab yang seharusnya diuji bukan kebiasaan pribadi, tapi keberpihakan kita pada nilai-nilai kemanusiaan. Salam satu batang!
*) PENULIS adalah esais dan perokok santun yang berusaha untuk tidak mencemari ruang publik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.