Liputan Eksklusif

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Alami Masalah Serius, Jika Dana Otsus Tak Diperpanjang

Untuk membahas isu ini, Serambi Indonesia menurunkan Laporan Khusus dengan  mewawancarai sejumlah tokoh, yaitu Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra a

|
Editor: mufti
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

PENGANTAR - Menjelang berakhirnya dana otonomi khusus (Otsus) pada 2027, Aceh menghadapi tantangan fiskal yang signifikan. Tanpa perpanjangan dana Otsus, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) berpotensi mengalami defisit besar. Tingginya ketergantungan pada dana pusat, ditambah dengan keterbatasan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), menjadi tantangan utama bagi Aceh.

Sejak 2008 hingga 2025, Aceh telah menerima dana Otsus lebih dari Rp110 triliun, jumlah yang setara dengan anggaran pembangunan beberapa provinsi lain selama puluhan tahun. Dana ini memiliki peran penting dalam keberlanjutan pembangunan Aceh. Untuk membahas isu ini, Serambi Indonesia menurunkan Laporan Khusus dengan  mewawancarai sejumlah tokoh, yaitu Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra asal Aceh TA Khalid, Ketua MPU Aceh Tgk H Faisal Ali, Rektor UIN Ar-Raniry Prof Mujiburrahman, Sosiolog dan Guru Besar USK Prof Ahmad Humam Hamid, serta Ketua Dewan Pengawas Balai Syura Ureueng Inong Aceh (BSUIA) Suraiya Kamaruzzaman. Mereka menyampaikan pandangan dari berbagai perspektif mengenai kelanjutan dana Otsus Aceh, yang dirangkum Serambi Indonesia dalam beberapa tulisan berikut:  

 

Aceh Harus Punya Grand Design ke Pusat

Semua pihak harus tampil dalam satu barisan dan barisan itu harus menyampaikan satu hal kepada Jakarta 'kami tidak hanya meminta, tapi siap berubah'. Ahmad Humam Hamid, Guru Besar Universitas Syiah Kuala 

SOSIOLOG yang juga merupakan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Ahmad Humam Hamid, menyarankan agar Pemerintah Aceh harus memiliki Grand Design (rencana besar) apa yang harus dibuat untuk melobi pemerintah pusat terkait usulan penambahan dan perpanjangan dana Otonomi Khusus (Otsus) dari 2 persen menjadi 2,5 persen DAU nasional.

Diketahui alokasi anggaran otsus untuk Aceh sendiri akan habis pada tahun 2027 mendatang. Saat ini Pemerintah Aceh dan unsur legislatif terus berupaya melobi pemerintah pusat agar dana Otsus itu diperpanjang dan alokasinya ditambah.

Prof Humam Hamid mengatakan, usulan revisi Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang kini sedang diperjuangkan untuk memperpanjang dana Otsus bukan cuma soal angka fiskal semata, melainkan representasi dari suatu kontrak politik dan moral yang harus diperbarui antara Aceh dan Jakarta. "Ini bukan permintaan belas kasihan, melainkan permintaan keadilan berlandaskan sejarah dan konstitusi," kata Prof Humam saat ditemui di kediamannya, Minggu (13/7/2025). "Namun agar permintaan ini kredibel, Aceh harus datang ke meja negosiasi tidak hanya dengan daftar kekurangan, tapi dengan proposal masa depan yang terang dan terukur. Maka yang dibutuhkan adalah sebuah grand design pembangunan dan kemandirian fiskal Aceh pasca-Otsus."

Menurutnya, grand design atau rencana besar yang diusulkan ke pusat itu harus menjawab tiga pertanyaan mendasar. Hal ini meliputi kemana Aceh ingin menuju, bagaimana mencapainya, dan bagaimana mengukurnya secara objektif. Usulan perpanjangan dan penambahan dana otsus itu tak boleh hanya menjadi retorika belaka, melainkan harus ada target yang jelas. Dalam lima tahun, minimal 15 persen Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) harus bersumber dari PAD. Lalu, dalam sepuluh tahun, sektor pertanian dan kelautan harus menyumbang 30 persen pertumbuhan ekonomi daerah; dan dalam waktu bersamaan, Aceh harus keluar dari zona provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Sumatera. 

Menurutnya, indikatornya dalam grand design itu harus konkret dan dapat dievaluasi tahunan, mulai dari peningkatan kontribusi sektor produktif, rasio belanja modal terhadap belanja rutin, indeks kemudahan berusaha, serta partisipasi tenaga kerja di sektor formal. Pemerintah pusat tak hanya dibebankan untuk memperpanjang dana otsus yang sudah berjalan hampir 20 tahun tersebut. Mereka harus diberikan asistensi teknokratik dalam bentuk pendampingan fiskal, integrasi sistem penganggaran, dan skema insentif berbasis kinerja. 

Jika semua itu disusun dalam kerangka kontrak politik-moral baru, maka Otsus bukan lagi sekadar dana, tapi jembatan menuju peradaban fiskal baru dan mencapai Aceh yang disiplin, berdikari, dan bisa menjadi model reformasi pasca-konflik di Indonesia. "Inilah narasi yang seharusnya menyertai permintaan revisi UUPA. Bukan sekadar menambah angka dan memperpanjang waktu tanpa arah," jelasnya.

Harus satu suara

Agar usulan revisi dan perpanjangan dana otsus ini bisa tercapai, menurutnya semua unsur yang ada di provinsi Aceh harus satu suara. Hilangkan ego sektoral dan ego kelompok.  Pemerintah Aceh, DPRA, ulama, akademisi, dunia usaha, hingga elemen masyarakat sipil harus tampil sebagai satu suara, satu tubuh. Menurutnya, soliditas tersebut bukan hanya simbol, tapi syarat mutlak agar pemerintah pusat melihat bahwa Aceh benar-benar siap berubah. "Jika elite di daerah saja masih sibuk bersilang pendapat tentang siapa mewakili siapa, maka mustahil Jakarta percaya bahwa Otsus baru akan berbeda dari Otsus lama," terangnya.

Terlebih saat ini ada peluang diplomasi senyap dari kedekatan personal antara Mualem dan Presiden RI Prabowo Subianto. Hal ini dapat membuat diplomasi sunyi yang tidak bisa dianggap enteng. Sebagai tokoh sentral dalam rekonsiliasi dan arsitek MoU Helsinki, Mualem membawa bukan hanya legitimasi moral, tapi juga jembatan komunikasi yang strategis antara Aceh dan Istana. Namun diplomasi ini hanya akan berhasil jika didukung konsensus lokal yang bulat. 

Otsus tidak bisa diperjuangkan sebagai milik kelompok atau golongan, melainkan sebagai amanah generasi dan masa depan. "Semua pihak harus tampil dalam satu barisan dan barisan itu harus menyampaikan satu hal kepada Jakarta 'kami tidak hanya meminta, tapi siap berubah'," jelasnya.

Terlebih saat ini ketergantungan fiskal Aceh terhadap dana otsus itu nyata adanya. Bukan sekadar problem anggaran, melainkan struktur ekonomi Aceh yang rapuh. Setidaknya, sekitar 90 persen APBA bersumber dari transfer pusat. PAD hanya menyumbang 5 hingga 7 persen saja. “Tentu akan menjadi pukulan keras,”  kata Prof Humam, jika otsus tersebut dihentikan tiba-tiba tanpa ada transisi yang jelas.

Ia mencontohkan seperti Papua yang dulunya mirip Aceh dalam hal ketergantungan terhadap Dana Otsus kini sedang bersiap menghadapi fase pasca-Otsus dengan merancang Badan Pengelola Dana Abadi Otsus, sebagai tabungan fiskal jangka panjang. Aceh belum punya rencana sejenis. Hal ini menjadi sumber kekhawatiran mendalam. Ketika daerah lain mulai menyiapkan bantalan fiskal dan reformasi ekonomi, Aceh masih berada di zona nyaman. Maka jika Otsus dihentikan, Aceh akan menghadapi defisit fiskal besar, pemangkasan belanja drastis, stagnasi pembangunan, dan keresahan sosial yang tak terelakkan.

Terlebih kata Prof Humam, ia menyorot hampir dua dekade dana otsus untuk digelontorkan untuk Aceh yang menjadi jumlah akumalif Rp 100 triliun. Anggaran yang seharusnya dijadikan batu loncatan kebangkitan Aceh pasca konflik dan tsunami dan termanfaatkan dengan baik. Aceh kini masih tertinggal dalam semua indikator utama pembangunan. Ia menyebut hal tersebut dengan istilah Aceh Disease, yang berupa sindrom ketergantungan fiskal kronis, di mana aliran dana besar justru melumpuhkan inisiatif, inovasi, dan produktivitas lokal.

Ia menyarankan, Aceh harus menjadikan momen ini sebagai titik balik menuju reformasi ekonomi yang sungguh-sungguh. Dana besar tidak selalu menyelamatkan, jika tidak dibarengi dengan tekad untuk membangun fondasi ekonomi yang tahan guncang

Dikatakannya, jika pusat tidak memperpanjang dana otsus tersebut, menurutnya Aceh harus bersiap menghadapi fase paling panjang sejak MoU Helsinki ditandatangani. Aceh tanpa otsus akan membuat separuh kapasitas fiskal daerah akan menguap. Akan terjadi kekacauan struktural seperti kontraksi proyek infrastruktur, pemutusan program sosial, stagnasi layanan publik, dan melonjaknya angka pengangguran.

Lebih dari itu, tekanan sosial bisa meningkat tajam. Ketika proyek-proyek padat karya berhenti, bantuan sosial macet, dan pemerintah daerah tidak lagi mampu menjalankan layanan dasar secara optimal, keresahan akan tumbuh. "Celah ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok ekstrem yang memanfaatkan narasi kekecewaan. Krisis fiskal bisa berubah cepat menjadi krisis legitimasi," pungkasnya.

 

Alami masalah serius

Jika Otsus ini tidak ada lagi tentu fiskal Aceh akan terganggu dan ini akan terjadi permasalahan yang sangat serius dan luar biasa. TA Khalid, Anggota DPR RI 

Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra asal Aceh, TA Khalid, mengungkap dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang berakhir di tahun 2027 menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan wajib diperpanjang.  Ia khawatir apabila dana Otsus ini tidak diperpanjang maka akan menimbulkan masalah serius di Tanah Rencong, salah satunya bakal terganggunya fiskal Aceh. 

“Jika Otsus ini tidak ada lagi tentu fiskal Aceh akan terganggu dan ini akan terjadi permasalahan yang sangat serius dan luar biasa,” kata TA Khalid kepada Serambi, Minggu (13/7/2025). TA Khalid menegaskan, persoalan dana Otsus ini bukan hanya sekedar perjanjian antara pemerintah pusat dengan Aceh. Namun lebih dari itu, dana Otsus sangat penting untuk keberlanjutan pembangunan di Aceh. 

Untuk itu, TA Khalid mengajak semua elemen dan tokoh-tokoh Aceh khususnya di DPR RI untuk sama berikhtiar dan bersuara terait persoalan ini, sehingga dana Otsus yang tercantum dalam UUPA ini dapat diperpanjang. 

“Semua kita harus melihat bahwa dana Otsus bukan cuma kesepatan dalam perjanjian, tetapi ini adalah bagian bagaimana membangun Aceh. Maka kita harus benar-benar sama-sama berikhtiar agar Otsus ini diperpanjang, sehingga fiskal Aceh tidak terganggu,” ungkapnya. 

Namun, terlepas dari kekhawatiran ini, TA Khalid mengaku cukup optimis bahwa pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto bakal memberi angin segar terhadap perpanjangan otsus Aceh. “Saya pribadi merasa optimis dengan perpajangan dana Otsus Aceh. Tentu perpanjangan dana Otsus ini dilalui dengan revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh,” ungkapnya. “Karena Dana Otsus itu ada di Pasal 183 maka tugas kita berikhtiar bersama dan mengawal agar revisi UUPA segera terjadi. Sehingga Dana Otsus dapat diperpanjang,” pungkasnya. 

 

Benih ketidakpercayaan akan muncul

Kalau misalnya pemerintah tidak mengabulkan perpanjangan, maka  kita memprediksi bahwa benih-benih ketidakpercayaan dari masyarakat akan muncul kembali. Faisal Ali, Ketua MPU Aceh

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali menyampaikan, suasana konflik selama 30-an tahun ditambah musibah tsunami, membuat provinsi ini sulit keluar dari sejumlah problem yang ada bila tanpa bantuan pemerintah.

Usulan Pemerintah Aceh dan DPRA terkait perpanjangan dana Otsus dan penambahan menjadi 2,5 persen dari plafon DAU nasional melalui revisi UUPA, menurutnya sesuatu yang sangat bagus. “MPU, ulama, bagian daripada berusaha dan juga berdoa agar pemerintah pusat mengabulkan permohonan masyarakat Aceh terkait 2,5 persen dana Otsus itu,” ucap Tgk Faisal di pesantren setempat, kawasan Sibreh, Sukamakmur, Aceh Besar, Minggu (13/7/2025).

Pimpinan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Mahyal Ulum Al-Aziziyah itu mengatakan, Aceh menempuh waktu yang cukup lama dalam kondisi tidak bisa membangun karena konflik, ditambah musibah tsunami. Sehingga bila usulan ini ditolak pusat, akan memunculkan kembali benih-benih ketidakpercayaan masyarakat.

Dikatakannya, perdamaian Aceh yang sudah diperjuangkan dengan susah payah dan pengorbanan selama ini, sudah selayaknya pemerintah pusat memberikan dukungan untuk pembangunan Aceh melalui kelanjutan dana Otsus. “Kalau misalnya pemerintah tidak mengabulkan perpanjangan, maka  kita memprediksi bahwa benih-benih ketidakpercayaan dari masyarakat akan muncul kembali,” ujar sosok yang akrab disapa Abu Sibreh itu.

Sosok pimpinan dayah itu juga menggarisbawahi, penggunaan dana Otsus itu selama ini sudah berada pada posisinya, tetapi masih kurang tepat. Banyaknya problem di Aceh, geografis yang luas, ditambah dengan lebih dominannya pembangunan fisik, sehingga lupa memperhatikan penggunaan-penggunaan yang bisa menggerakkan ekonomi.

“Makanya dari itu, yang membuat penggunaan dana Otsus selama ini kurang nampak karena bukan pada pemberdayaan ekonomi, tapi kepada pembangunan-pembangunan fisik,” ungkap Abu Sibreh.

Dia berharap, agar pembangunan Aceh ke depan dapat dilanjutkan terutama dari sisi ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia, semua pihak baik Pemerintah Aceh, DPRA dan masyarakat kompak satu suara terhadap keberlanjutan dana Otsus ini. “Insya Allah kalau kita berjuang dan berdoa bersama-sama, tentu ada nilai lain yang membuat pemerintah pusat akan memperhatikan kita,” pungkasnya.

 

Dunia Pendidikan akan Terganggu

Kalau dana Otsus dihentikan, saya memperkirakan minat dan jumlah siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akan berkurang drastis. Mujiburrahman, Rektor UIN Ar-Raniry

REKTOR UIN Ar-Raniry, Prof Mujiburrahman memperkirakan bahwa minat dan jumlah siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akan berkurang drastis bila usulan perpanjangan dana otonomi khusus (Otsus) Aceh melalui revisi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) tidak dikabulkan pusat.

Rektor UIN Ar-Raniry itu menyebutkan, dunia pendidikan di Aceh secara umum dan pengembagan pendidikan tinggi secara khusus, akan terganggu jika dana Otsus dihentikan. Menurutnya, adanya dana Otsus saja, persoalan pendidikan di Aceh belum dapat terselesaikan dengan tuntas, apalagi jika dihentikan. “Kalau dana Otsus dihentikan, saya memperkirakan minat dan jumlah siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akan berkurang drastis,” ucap Prof Mujiburrahman saat dikonfirmasi, Jumat (11/7/2025).

Rektor UIN Ar-Raniry itu menegaskan, kalangan akademis dan perguruan tinggi memberi dukungan penuh atas usulan perpanjangan Otsus yang tidak ada batas waktu, serta penambahan menjadi 2,5 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional yang harus diberikan ke Pemerintah Aceh. 

Dikatakan, sudah saatnya pemerintah pusat mengimplementasikan paradigma Otonomi Khusus Aceh secara maksimal, bukan hanya pada tataran regulasi saja tapi sangat penting pada implementasinya yang maksimal. 

“Semua rakyat Aceh khawatir kalau dana Otsus tidak berlanjut, karena Aceh masih kurang beruntung dalam perkembangan ekonominya, masih dalam kategori provinsi miskin dan banyak pengangguran,” ungkap Prof Mujiburrahman.

Di sisi lain, menurutnya, penggunaan dana Otsus Aceh secara umum sudah berjalan dengan baik. Namun pada aspek tertentu, baik secara kebijakan maupun program, perlu dievaluasi dan perbaikan yang signifikan. 

Untuk itu, pihaknya selaku rektor salah satu kampus unggul di Aceh ini mendorong agar wali nanggroe, gubernur Aceh, ketua DPRA, anggota DPR-DPD RI dan stakeholders terkait agar terus melakukan silaturahmi dan komunikasi dengan Presiden Prabowo, ketua MPR-DPR RI dan ketua partai politik serta tokoh nasional untuk menjelaskan urgennya usulan ini.

“Sehingga harus dibantu untuk pencapaiannya, kemudian harapan bagi masyarakat Aceh agar satu suara dan bersinergi dalam memperjuangkan perubahan UUPA tersebut,” pungkasnya.

 

Perempuan punya hak Tentukan Masa Depan Aceh

Kalau revisi UUPA hanya memperpanjang tanpa membenahi tata kelola, tanpa membuka ruang partisipasi publik, maka kita hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Suraiya Kamaruzzaman, Ketua Dewan Pengawas BSUIA

SEMENTARA itu, Ketua Dewan Pengawas Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Suraiya Kamaruzzaman, mengatakan, bahwa otsus bukan sekedar soal angka, melainkan simbol harapan bagi para perempuan yang hidup dan tumbuh dalam masa konflik dan pasca-konflik. Baginya, damai bukan hanya soal berhenti perang, akan tetapi hadirnya keadilan sosial, pendidikan untuk anak-anak, layanan kesehatan yang layak, hingga upaya mencegah kekerasan berbasis gender serta menjamin hak-hak korban.

Menurutnya, usulan revisi UUPA untuk perpanjang dan penambah otsus itu sangat penting. Meski begitu, ia mempertanyakan, apakah peningkatan alokasi otsus itu dapat menjangkau masyarakat akar rumput atau tidak. Apakah perempuan, anak muda, penyintas kekerasan, orang dengan kebutuhan khusus dan masyarakat di desa terpencil akan merasakan manfaatnya secara langsung?

"Pembahasan otsus jangan hanya eksklusif di ruang elite. Kami ingin ikut duduk di meja itu. Karena kami tahu betul apa yang dibutuhkan. Kalau  revisi UUPA hanya memperpanjang tanpa membenahi tata kelola, tanpa membuka ruang partisipasi publik, maka kita hanya akan mengulang kesalahan yang sama," katanya, Sabtu (12/7/2025).

Menurutnya, perempuan Aceh tidak menuntut lebih, mereka hanya ingin haknya diakui. Yakni hak menentukan masa depan Aceh. Hal itu dapat dimulai dengan bagaimana dana otsus itu digunakan dalam membangun Aceh yang lebih damai, adil, setara dan bermartabat. Terlebih kata dia, revisi UUPA itu bukan hanya sekedar teknis hukum. Hal itu merupakan persoalan dalam memperjuangkan masa depan Aceh. Ia ingin adanya UUPA yang dapat menjadi dokumen hidup dan melindungi rakyat, bukan hanya simbol formal yang kehilangan makna.

"Pemerintah Aceh, DPRA, dan partai-partai politik harus berani keluar dari sekadar peran administratif. Mereka harus bersatu suara dan menjadikan ini agenda kolektif yang diperjuangkan secara terbuka, transparan, dan melibatkan publik," jelasnya.

Tak kalah penting juga dengan melibatkan masyarakat Aceh agar menyadari pentingnya revisi tersebut. Suara mereka dari para perempuan, anak muda, tokoh agama, adat, penyintas konflik, orang berkebutuhan khusus, petani, nelayan dan seluruh elemen masyarakat harus ikut mewarnai proses tersebut.  Konsolidasi moral dan politik menjadi kunci menjawab hal tersebut. Sebab, revisi UUPA itu bukan hanya sebagai simbol memperpanjang dana, tapi juga harapan.

Menurutnya, otsus itu bagai oksigen bagi Aceh. Ketergantungannya sangat besar. Namun timbul pertanyaan besar setelah hampir dua dekade otsus diberikan untuk Aceh, kemana saja anggaran tersebut disalurkan. 

"Bagi saya, ini bukan sekadar soal angka. Ini soal komitmen: apakah kita siap membangun sistem fiskal yang adil, transparan, dan berpihak pada mereka yang paling terpinggirkan-bukan hanya menjaga status quo yang sudah lama timpang," tegasnya.(ra/rn/iw)

 

 

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved