Opini

Referendum untuk Aceh yang Selalu Terkhianati 

Karena hasil rempah rempah, kekayaan alam yang melimpah seperti emas, kapur barus kesultanan Aceh menjadi makmur dan

Editor: Ansari Hasyim
Serambinews.com
Tgk Mukhtar Syafari 

Oleh: Tgk Mukhtar S Sos MA*) 

MoU Helsinki sebagai resolusi konflik Aceh telah berusia 20 tahun pada 15 Agustus 2025 tetapi masih banyak klausul perjanjian damai yang belum terealisasi seperti kewenangan Aceh dalam semua sektor publik kecuali 6 bidang (poin 1.1.2), perbatasan Aceh belum merujuk perbatasan 1 Juli 1956 sebagaimana poin 1.1.4 dan keputusan pemerintah yang melanggar semangat perjanjian damai yaitu penambahan 5 batalyon TNI karena bertentangan poin 4.7 serta beberapa poin penting lainnya yang tidak terealisasi.

Pembagian hasil Migas 70 persen untuk Aceh sebagaimana poin 1.3.4 belum jelas dan terbuka. Diinformasikan produksi Migas Aceh dari Blok B pada 2024 sekitar 51,1 miliar standar kaki kubik (BSCF) gas bumi. Jika dikonversi maka nilai produksi mencapai 4,75 triliun (harianpaparazi.com edisi 1/07/25). Namun Aceh mendapat bagi hasil Migas tahun 2025 senilai 100,03 Milyar (infomigas.id edisi 23/01/25/). Bagaimana pembagian hak Aceh 70 % sesungguhnya?

Aceh masih menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Perekonomian Aceh semakin ambruk dalam 10 tahun belakangan ini, terutama pasca Covid 19. Pengangguran, orang gila, narkoba, judi online semakin meningkat drastis.

Negara Aceh Darussalam 

Kesultanan Aceh berdiri pada 22 April 1205. Di awal abad ke 17, ketika dipimpin Sultan Iskandar Muda, negara Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan dan kemakmuran serta menjadi kesultanan ke - 5 terkuat di dunia. Hal ini diakui para peneliti dari barat seperti yang ditulis Prof Wilfred C Smith dalam bukunya Islam In Modern History.

Karena hasil rempah rempah, kekayaan alam yang melimpah seperti emas, kapur barus kesultanan Aceh menjadi makmur dan sejahtera sehingga menjadi incaran beberapa negara penjajah. Aceh pernah diserang oleh Portugis, China, Inggris, Belanda dan Jepang. Para pejuang Aceh melawan agresor penjajah dengan begitu heroiknya untuk mempertahankan tanahnya sendiri agar tidak diduduki pihak asing. Hal ini dilatarbelakangi oleh wasiat Sultan Iskandar Muda kepada rakyatnya: 

Wahai rakyat Aceh semuanya bahwa jangan sekali kali diberikan negeri kita Aceh ini kepada musuh daripada bangsa apapun juga yang hendak menduduki negeri Aceh ini. Maka hancurkan oleh kamu hai segala putra Aceh dengan sungguh - sungguh dan ikhlas sebab tiap tiap bangsa yang telah kena tindih (diduduki) oleh bangsa lain maka tandanya bangsa itu tiada harga lagi pada mata dunia luar, yaitu timur dan barat (Qanun Al Asyi / Undang Undang Dasar Negara Aceh Darussalam). Aceh terus terpuruk puluhan tahun belakangan ini karena mengabaikan wasiat sultannya?

Baca juga: Ini Tuntutan Massa GAM di Kantor Gubernur Aceh yang Bawa Bendera Bintang Bulan & Spanduk Referendum

Hampir dua dekade lamanya sejak 26 Maret 1873, Belanda terus menggempur Aceh dengan kekuatan militer terbaiknya tapi tidak membuahkan hasil maksimal. Justru mengakibatkan kerugian materi, energi dan korban jiwa yang begitu besar. Inilah fase paling kelam dalam sejarah perang yang dihadapi Belanda.

Kepemimpinan Aceh sebelumnya telah diambil alih oleh Majelis Kesultanan Aceh dan diserahkan kepada ulama (Teungku Syiek di Tiro). Dan ini diakui konsultan perang kerajaan Belanda, Snouck Hurgronje dalam laporan intelijennya kepada Gubernur Militer yang diberi judul Atjeh Verslag: bahwa perlawanan di Aceh tidak benar benar dipimpin oleh Sultan, seperti yang dipikirkan Belanda selama ini, namun oleh ulama ulama Islam. Perang terus berlanjut sampai Belanda keluar dari Aceh pada awal 1942 karena kekalahan perang dan tidak pernah lagi kembali ke Aceh.

Setelah proklamasi 1945, Soekarno mengunjungi Aceh pada 17 Juni 1948 untuk meminta bantuan pembelian pesawat terbang dan emas untuk kebutuhan diplomasi. Soekarno sambil terisak tangis meminta kepada tokoh Aceh, Daud Beureueh agar Aceh mau bergabung menjadi bagian RI. Sebelumnya, Ulama Aceh Abu Hasan Krueng Kalee berpesan kepada Daud Beureueh supaya Aceh mendirikan negara Islam sendiri dan memutuskan hubungan dengan RI yang baru lahir pada 17 Agustus 1945.

UUD RIS disahkan 14 Desember 1949 dan Aceh tidak tersebut di dalamnya. Dari pulau Sumatera hanya ada Sumatera Selatan dan Sumatera Timur. Aceh diduga dijebloskan menjadi bagian RI pada akhir Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda. Tanpa Aceh, RI akan kalah dalam perundingan karena semua wilayah kembali dikuasai Belanda pada agresi ke 2 tahun 1948.

Tidak lama setelah RIS diakui kemerdekaan oleh Belanda pada 27 Desember 1949 dan Aceh sebagai negara berdaulat dijadikan bagian RIS tanpa melalui jajak pendapat (referendum). Pada tahun 1950, Aceh dijadikan residen dan dileburkan menjadi bagian Sumatera Utara. Inilah awal mula Aceh terkhianati dan terus terulangi yang melahirkan perlawanan sejak 1953 sampai 15 Agustus 2005 dengan korban puluhan ribu rakyat Aceh.

Klausul Referendum 

Pada poin 2.1 MoU Helsinki dengan jelas tertulis klausul bahwa “Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”. 
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, disebutkan pada pasal 1 bahwa “setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination).

Tuntutan Referendum pernah disuarakan mantan Panglima GAM, Ketua Partai Aceh, Muzakir Manaf (Mualem) pada 2019 yang saat ini menjabat Gubernur Aceh. Mualem menegaskan jika masih ada butir-butir MoU Helsinki yang tidak diselesaikan, maka jalan yang paling damai dan demokratis adalah referendum untuk rakyat Aceh. "Ya mungkin bukan referendum lagi, tapi total merdeka. Aceh keluar dari NKRI kalau MoU tidak diindahkan (Modus Aceh edisi 12/06/2019).

Menkopolhukam, Wiranto ketika itu mengatakan bahwa dalam khazanah hukum di Indonesia, istilah "referendum" sudah tidak berlaku lagi karena beberapa peraturan yang sebelumnya sempat membahas telah dibatalkan. UU Nomor 6 tahun 1999 juga terbit sebagai bentuk pencabutan UU Nomor 5 tahun 1985 tentang Referendum. Menurutnya hanya dekolonialisasi yang bisa masuk dalam proses referendum. (Tirto.id edisi 31/05/2019).

Pembukaan UUD 45 alinea pertama disebutkan: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa". Kalimat pertama dalam pembukaan UUD 45 tersebut dipahami bahwa kemerdekaan bukan hanya milik satu kumpulan masyarakat atau milik suatu bangsa akan tetapi kemerdekaan itu milik seluruh bangsa yang ada di atas muka bumi ini.

Pembukaan UUD 1945 menjadi pedoman bagi seluruh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Undang undang yang mengatur mekanisme untuk memberikan hak kemerdekaan bagi setiap bangsa melalui pelaksanaan jajak pendapat atau referendum sejalan dengan konstitusi.

Seharusnya referendum sudah digelar tahun 1947 sebagaimana perjanjian Renville antara RI - Belanda pada 17 Januari 1947, salah satu poinnya berisi: diadakan plebisit atau referendum (pemungutan suara) untuk menentukan nasib wilayah dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).

Informasinya, klausul penyelesaian konflik Aceh melalui kovenan internasional tentang hak sipil dan politik pada poin 2.1 MoU Helsinki diusulkan oleh elemen sipil, Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), Muhammad Nazar. Saatnya elemen sipil kembali menyuarakan aspirasi agar klausul MoU Helsinki tersebut diakomodir dalam revisi UUPA sebagai resolusi finalisasi status Aceh sesuai hukum internasional tentang dekolonisasi yang sejalan dengan pembukaan UUD 1945.

*) PENULIS Koordinator Forum Masyarakat Aceh Darussalam (ForMAD), pemerhati sejarah dan politik Aceh.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved