Opini

Kembalikan Hak Fiskal Aceh

Dari kaki Pegunungan Leuser yang hijau hingga perairan Selat Malaka yang strategis, negeri ini menyimpan potensi ekonomi luar biasa.

Editor: mufti
IST
Prof Dr Apridar SE MSi, Dosen Fak Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh 

Prof Dr Apridar SE MSi, Dosen Fak Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

ACEH, tanah yang diberkahi dengan alam yang subur dan kaya, memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan dan peradaban Islam di Asia Tenggara. Dari kaki Pegunungan Leuser yang hijau hingga perairan Selat Malaka yang strategis, negeri ini menyimpan potensi ekonomi luar biasa. Namun, di balik semua karunia itu, Aceh justru menghadapi ironi yang menyakitkan: kekayaan alam yang melimpah belum sepenuhnya menghadirkan kesejahteraan nyata bagi rakyatnya.

Fakta menunjukkan, Aceh masih menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Data BPS dan Kementerian Keuangan 2023-2024 mengungkapkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh hanya mampu menutupi sekitar 7–10 persen belanja daerah. Artinya, lebih dari 90 % anggaran pembangunan kita masih bergantung pada dana transfer dari pusat. Ini bukan hanya masalah teknis anggaran, tetapi menyentuh soal kedaulatan fiskal, hak kita untuk menentukan arah pembangunan dengan sumber daya kita sendiri.

Salah satu akar utama lemahnya fiskal Aceh adalah praktik diam-diam tapi masif: perusahaan besar yang beroperasi di Aceh tapi menggunakan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) di luar Aceh, terutama Jakarta. Dengan kata lain, keuntungan diambil dari bumi Aceh, tapi pajaknya disetor ke kas daerah lain.

Coba bayangkan sebuah perusahaan tambang yang mengeksplorasi emas atau gas bumi di Aceh. Ribuan ton hasil alam diangkut, pekerja lokal dilibatkan, infrastruktur digunakan. Namun ketika waktu pelaporan pajak tiba, semua laporan dilakukan di Jakarta karena NPWP-nya terdaftar di sana. Akibatnya, pajak penghasilan perusahaan (PPh), pajak karyawan, dan potensi Dana Bagi Hasil (DBH) yang seharusnya menjadi hak Aceh justru masuk ke daerah lain.

Data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wilayah Aceh dan Dinas Penanaman Modal menunjukkan ratusan perusahaan tambang, perkebunan besar, hingga kontraktor infrastruktur di Aceh justru menggunakan NPWP pusat. Ini menyebabkan penerimaan pajak Aceh tercatat sangat kecil secara administratif, padahal aktivitas ekonomi besar-besaran terjadi di Serambi Mekkah. Studi menyebutkan, kerugian Aceh akibat praktik ini bisa mencapai Rp2–3 triliun per tahun.

Ironisnya lagi, rendahnya penerimaan pajak membuat DJP Aceh belum bisa naik kelas dari status Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama menjadi KPP Madya. Padahal status Madya akan memberi wewenang dan sumber daya lebih besar dalam mengelola perpajakan dan merumuskan kebijakan lokal. Begitu juga terhadap kenaikan jabatan yang lebih tinggi untuk berkarier bagi putra-putri Aceh di Direktorat Jenderal Pajak semakin kecil kesempatan.

Aceh memiliki karakter unik sebagai satu-satunya provinsi yang menerapkan Syariat Islam. Sudah sejak lama muncul usulan agar zakat perusahaan yang disalurkan ke Baitul Mal Aceh bisa dijadikan pengurang pajak (tax deduction). Gagasan ini tidak hanya islami, tapi juga cerdas. Zakat yang masuk ke Baitul Mal digunakan untuk membantu fakir miskin, membangun infrastruktur sosial, dan kegiatan dakwah. Ini sejatinya juga kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah.

Namun lagi-lagi, kebijakan ini terhambat karena status KPP Aceh yang belum naik kelas dan data fiskal yang minim akibat dominasi NPWP luar. Inilah bukti bahwa kedaulatan fiskal bukan sekadar angka, tapi menyangkut keadilan, identitas, dan masa depan pembangunan Aceh yang lebih hakiki.

Wajibkan NPWP lokal

Sudah saatnya kita berani membuat langkah yang lebih rasional, yaitu mewajibkan semua perusahaan yang beroperasi di Aceh untuk memiliki NPWP lokal. Ini bukan tindakan sepihak atau anti-investasi. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk keadilan dan transparansi yang akan membangun ekosistem ekonomi sehat dan bermartabat.

Langkah cerdas Mualim-Dek Fadh bisa dimulai melalui pembuatan Qanun atau Peraturan Gubernur (Pergub) yang mewajibkan penggunaan NPWP lokal sebagai syarat izin usaha dan lelang proyek daerah. Dari kebijakan sederhana ini, tentu akan menjadikan para penambang rezeki di bumi syariat memiliki rasa persaudaraan serta kepedulian terhadap lingkungan yang lebih mumpuni. Selain itu, integrasi data antarinstansi, mulai dari Dinas Penanaman Modal, Dinas ESDM, hingga Kanwil DJP Aceh perlu untuk memastikan semua perusahaan terdata dengan benar. Sehingga keterpaduan data dapat melakukan perencanaan yang lebih komprehensif.

Sosialisasi dan pendampingan kepada perusahaan agar memahami prosedur dan manfaat jangka panjang bagi daerah. Keputusan bijak yang akan mengangkat harkat dan martabat semua pihak, perlu sosialisasi, sehingga sisi pandang yang lebih bijak dapat dikonsentrasikan secara terpadu untuk kemaslahatan bersama. Kolaborasi dengan DJP Pusat agar memberikan dukungan regulasi dan teknis, termasuk migrasi NPWP perusahaan yang sudah lama beroperasi di Aceh, perlu dilakukan oleh pimpinan daerah yang lebih bijak. Langkah strategis ini tentu akan dapat meningkatkan kesejahteraan Aceh untuk jangka panjang yang lebih pasti.

Dampaknya luas

Jika langkah ini berhasil diterapkan, Aceh akan mendapat manfaat berlapis, yaitu peningkatan PAD dan DBH secara drastis karena pajak akan tercatat berasal dari Aceh. Selain itu status KPP Aceh bisa ditingkatkan menjadi Madya, yang akan membuka jalan bagi lahirnya insentif fiskal inovatif seperti zakat pengurang pajak.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved