Liputan Eksklusif Aceh
Kisah Korban Selamat dari Terkaman Buaya di Aceh Singkil, Mengais Nafkah dengan Tangan tak Sempurna
Perempuan itu sambil menjerit minta tolong, tangan kirinya masih sempat berpegangan dengan perahu yang ada di sampingnya.
Penulis: Dede Rosadi | Editor: Nurul Hayati
Perempuan itu sambil menjerit minta tolong, tangan kirinya masih sempat berpegangan dengan perahu yang ada di sampingnya. Upaya itu sedikit memperlambat tarikan buaya.
Laporan Dede Rosadi I Aceh Singkil
SERAMBINEWS.COM, SINGKIL - Perempuan paruh baya itu berjalan ringkih, lalu duduk di emper kayu rumahnya di Desa Telak Rumbia, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil.
Matanya cekung memandang kosong ke arah jalan tanah di depannya.
Dahinya yang dipenuhi kerutan, sedikit tersamar oleh kulit wajah bersihnya.
Perempuan tersebut bernama Kaetek usia 51 tahun.
Ia mendapat keajaiban selamat dari terkaman buaya di sungai tempatnya mencari siput untuk pakan bebek peliharanya pada 27 Januari 2025 lalu.
Teras tempat duduk ngobrol dengan tetangga dan menerima tamu beratap seng berkarat.
Teras yang berdada di samping rumah itu sekaligus tempat penyimpanan barang.
Sehingga terlihat sembrawut.
Ada tumpukan belahan pohon nipah, pakaian bergelantungan, karung bekas beras bulog, kandang bebek dan perlengkapan lain yang digunakan Kaetek bersama dua anak lelakinya.
Bagian depan rumah ukuran 6x6 meter itu digunakan untuk tempat memelihara bebek petelur serta menyimpan pakannya.

Baca juga: Liputan Eksklusif Aceh : Menguji Nyali di Sarang Buaya Aceh Singkil
Agar bebek tidak lepas dipasang waring serta bekas jaring ikan yang sobek di sana sini.
Aroma tak sedap seketika tercium dari kotoran bebek.
Kaetek dan dua anaknya berusaha membiasakan diri, sebab bebek-lah satu-satunya sumber penghidupan sehari-harinya.
Setelah berpisah dengan sang suami tujuh tahun lalu, Kaetek tinggal bersama dua anak laki-lakinya.
Walau hidup seadanya perempuan yang tinggal di pinggir sungai itu, ramah menyambut Serambinews.com yang sambangi rumahnya di Teluk Rumbia 13 Agustus 2025 sore.
Tawanya getir, menutup dalam-dalam deritanya ketika menceritakan peristiwa serangan buaya yang hampir merenggut nyawa.
Kala itu, dirinya sedang mencari siput untuk makan bebek peliharanya di sungai belakang permukiman penduduk Teluk Rumbia.
Sungai itu lebarnya 300 meter lebih dengan dalam sekitar 7 meter.
Airnya sedang keruh mengalir deras ke arah laut Singkil.
Tak ada rasa cemas, maklum sebagai anak batang lae, mandi dan bermain sambil renang seberangi sungai sudah biasa dilakukan sejak masa kanak-kanak.
Anak batang lae merupakan istilah warga lokal untuk menyebut penduduk daerah aliran sungai.
Tak cemas bukan karena tidak tahu ada buaya.
Baca juga: 6 Meninggal & 7 Luka-luka, Korban Konflik Manusia vs Buaya di Aceh Singkil Sepanjang 2007-2025
Tetapi sejak turun temurun tidak pernah ada warga Teluk Rumbia yang diserang buaya ketika berenang dan cari nafkah di sungai.
Sungai merupakan sahabat serta sumber penghidupan.
Tak mengherankan walau acap didera banjir penduduk Rantau Gedang, tetap tak mau pindah.
Akan tetapi kali ini tak seperti bisa, terjadi peristiwa tanpa dinyana.
Ketika Kaetek sedang mengambil siput di pinggiran dasar sungai, tiba-tiba tangan kanannya disambar buaya.
Dalam hitungan detik tubuhnya diseret.
Perempuan itu sambil menjerit minta tolong, tangan kirinya masih sempat berpegangan dengan perahu yang ada di sampingnya.
Upaya itu sedikit memperlambat tarikan buaya.
Di tengah situasi genting datang perahu nelayan, itulah yang membantu menyelamatkan.
Buaya yang terkejut mendengar deru mesin perahu melepas gigitannya.
Dalam situasi itu, perempuan kelahiran 1974 itu, ingat betul ketika ekor buaya menghujam ke arahnya.
Begitu juga dengan nganga mulut buaya dipenuhi gigit tajam terlihat jelas ketika melepas tangannya.
Kaum lelaki yang ada di atas perahu, sempat diuji nyalinya.
Lantaran buaya kembali berbalik untuk menyerang Kaetek, yang berada di sungai.
Perahu diarahkan mengahalau serangan buaya.
Setelah itu, tubuh Kaetek diangkat ke perahu untuk selanjutnya dievakuasi ke Puskesmas Singkil.
"Buayanya besar, mungkin ada lima meter ditariknya aku," kata Kaetek mengenang peristiwa serangan buaya yang dialaminya.
Setengah sadar Kaetek merasakan jari kelingking, jari manis serta telapak tangan kanannya yang luka mendapat perawatan tim medis Puskesmas Singkil.
Ketika petugas medis beralih menjahit luka robek ibu jarinya yang hampir putus, Kaetek mengaku berteriak.
"Aku berteriak buaya, karena dalam pikiranku ada buaya," ujarnya.
Pada masa-masa penyembuhan Kaetek, mengaku selalu teringat dengan harta berharga miliknya.
Berupa uang Rp 1 juta dan cincin emas.
Uang itu rencana digunakan untuk acara pesta saudaranya.
Sedangkan emas merupakan benda berharga simpanan satu-satunya.
Sebagai orang kolot, memiliki kebiasaan ketika mencari siput di sungai uang dan emas disimpan di ujung kain yang diikatkan.
Kain itu lalu digunakan sebagai pelindung kepala dari sengatan matahari.
Nahas ketika dirinya diterkam buaya kain tempat menyimpan uang dan emas lepas.
Warga lebih utamakan menolong nyawanya ketimbang memperhatikan kain yang jatuh ke dasar sungai tempat buaya berada.
Ketika masa penyembuhan, Kaetek sempat meminta bantuan saudaranya mencari ke sungai.
Sayang, kendati pencarian sudah dibantu warga desa kain berisi uang dan emas tak ditemukan.
Ikhlas tentu saja, walau berat.
Maklum hidupnya yang serba sulit, uang Rp 1 juta dan cincin emas kira-kira 2,5 gram teramat tinggi nilainya.
Luka di tangan kanan bekas gigitan buaya sudah sembuh.
Sayang tidak normal seperti sedia kala.
Tangan, kanannya tak bisa lagi memegang kuat dan mengangkat barang berat.
Walau tangan paling kuatnya tak sempurna, Kaetek harus berjuang penuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan kedua putranya yang tinggal serumah.
Penopang hidup satu-satunya adalah pelihara bebek petelur.
Agar bisa bertelur harus diberi makan.
Dengan keterbatasan fisik Kaetek, setiap hari mencari siput.
Lokasinya tidak lagi di sungai, melainkan ke pinggir parit dekat permukiman warga.
Kaetek tak berani jika harus mencari makanan bebek peliharanya ke sungai.
Terkaman buaya membuatnya trauma.
Saat-saat tertentu alam pikirannya masih sering dihantui perasaan cemas atas peristiwa tragis yang dialaminya.
Ketika tangannya masih kuat, selain jualan telur bebek, menangkap ikan serta udang sungai menjadi tambahan menopang hidup.
Setelah tangan kanannya digigit buaya, jualan telur bebek harapan satu-satunya.
Cukup? Tentu saja tidak, kebutuhan makan sehari-hari acap menunggu belas kasih dari saudaranya.
"Kadang dikasih beras sebambu (1,5 kilogram) sama saudara, itu makan kami," ujarnya lirih.
Semangatnya untuk cari alternatif penghasilan sempat menyala, ketika mendengar sebagai korban serang buaya akan mendapat bantuan modal usaha.
Hari terus berganti hingga enam bulan berlalu pascapristiwa serangan buaya.
Bantuan modal usaha yang ditunggu Kaetek tak pernah datang.
Ia masih sisakan harap suatu saat mendapat modal usaha.
Tak terlalu besar, baginya Rp 500 ribu sudah cukup sebagai modal usaha jualan makanan ringan di sekolah dasar yang ada di dekat rumahnya.
"Tolong ya pak kalau ada yang bantu, lima ratus ribu sudah bisa aku jualan di sekolah," ujarnya menutup kisah kelabu masa lalu diujung sore itu.(*)
Liputan Eksklusif Aceh
korban buaya
buaya aceh singkil
habitat buaya
Serambi Indonesia
Serambinews.com
Serambinews
AWPF Dukung Penyegelan Hotel, Minta Pemko Banda Aceh Perkuat Edukasi dan Pemberdayaan Perempuan |
![]() |
---|
GM Kyriad Hotel Dukung Langkah Pemko Tegakkan Syariat di Banda Aceh |
![]() |
---|
MPU Sarankan Kabupaten/Kota Lain Tiru Banda Aceh Segel Hotel Langgar Syariat |
![]() |
---|
Dayah Babussalam dan Sekolah-sekolah yang Didirikan Tu Sop Terus Berkembang |
![]() |
---|
Almarhum Tu Sop Teladan Bagi Santri, Pesannya Antara Lain Jangan Putus Asa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.