MENYAPA NUSANTARA

Memperjuangkan Peternak Sapi Lokal Tembus Pasar

Indonesia masih mengandalkan impor sapi untuk menjaga keseimbangan pasokan daging nasional hingga 2029. Hal ini terjadi karena kebutuhan.....

Editor: IKL
(ANTARA/Qadri Pratiwi)
Sapi lokal di Kota Jayapura, Papua 

SERAMBINEWS.COM - Indonesia masih mengandalkan impor sapi untuk menjaga keseimbangan pasokan daging nasional hingga 2029. Hal ini terjadi karena kebutuhan daging sapi di dalam negeri masih lebih tinggi dibandingkan kemampuan produksi nasional, saat ini.

Untuk memenuhi permintaan masyarakat, impor sapi bakalan dan daging beku menjadi langkah strategis yang membantu menutup kesenjangan pasokan dan memastikan ketersediaan daging bagi konsumen.

Bagi peternak rakyat, kondisi tersebut menimbulkan dilema. Di satu sisi, peternak rakyat mengetahui permintaan pasar sangat tinggi, sehingga merupakan peluang bisnis.

Di sisi lain, sapi lokal ternyata sering kalah bersaing dengan sapi impor yang harganya lebih stabil dan ketersediaannya lebih terjamin.

Hasil pembiakan sapi yang seharusnya menjadi peluang emas, justru seringkali kurang dihargai di pasar sendiri. Hal tersebut diperparah dengan rantai distribusi yang panjang, sehingga posisi tawar peternak rakyat semakin lemah.

Harga jual sapi di tingkat peternak sering tidak sebanding dengan biaya produksi yang terdiri dari harga pedet, ongkos pakan, tenaga kerja, hingga perawatan kesehatan ternak.

Singkatnya, saat ini pembiakan sapi lokal memang berjalan, tetapi pasarnya belum sepenuhnya ramah. Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan semangat peternak untuk membiakkan sapi semakin meredup.

Agar sapi lokal mampu benar-benar berdaulat di pasar negeri sendiri, dibutuhkan kebijakan yang lebih berpihak kepada peternak rakyat.

Dengan demikian upaya meningkatkan populasi sapi potong lokal memang rumit karena tidak sekadar menghitung jumlah kelahiran pedet alias anak sapi setiap tahun.

Terdapat banyak faktor penentu dari hulu hingga ke hilir yang harus diatasi agar populasi sapi di Indonesia dapat meningkat pesat.

Di hilir, faktor penentu yang menjadi tantangan utama adalah harga jual sapi lokal per kg bobot hidup selalu lebih tinggi dibanding sapi impor.

Tingginya biaya produksi dari hulu sampai hilir menyulitkan peternak untuk bersaing dengan sapi impor dan itu yang membuat sapi lokal tidak laku untuk pasar harian, sehingga peternak tidak dapat bergantung pada usaha sapi.

Harga sapi yang paling "gurih" bagi peternak hanyalah di momen besar, seperti Idul Adha. Di luar momen tersebut, peternak menghadapi fluktuasi harga yang membuat penghasilan peternak tidak menentu.

Faktor berikutnya yang tak kalah penting adalah akses pasar yang terbatas. Banyak peternak yang masih bergantung pada tengkulak.

Tanpa akses langsung ke pasar besar atau rumah potong hewan modern, posisi tawar peternak cenderung lemah. Sapi yang dipelihara bertahun-tahun bisa terjual dengan harga yang jauh dari harapan.

Pertanyaannya sederhana, tapi menohok: apakah Bangsa Indonesia rela membiarkan peternak rakyatnya mati secara perlahan?

Di hulu, yang juga menjadi faktor penentu adalah biaya produksi yang tinggi, mulai harga pedet hingga biaya pembesaran sapi yang tinggi.

Hal ini karena biaya produksi tergantung pada biaya pakan harian, jarak antarkelahiran, angka kebuntingan, angka kematian pedet, dan angka kematian induk.

Mari berhitung biaya pakan pada sistem breeding peternak di Jawa dengan biaya operasional dan biaya pakan yang mencapai Rp15.000 per ekor per hari.

Dengan asumsi angka kebuntingan 70 persen jarak antarkelahiran 420 hari, dan angka kematian pedet 3 persen, maka biaya total untuk memproduksi seekor pedet Rp9.278.350,00.

Memang biaya pakan dapat ditekan pada sistem integrasi sapi sawit. Biaya operasional dan biaya pakan sekitar Rp9.500,00 per ekor per hari.

Dengan asumsi angka kebuntingan 90 persen, jarak antarkelahiran 400 hari, dan angka kematian pedet 3 persen, maka biaya total untuk memproduksi seekor pedet Rp4.581.901,00.

Angka itu masih tergolong tinggi untuk usaha pembesaran daging sapi, sehingga kurang menguntungkan peternak pembesaran.

Tentu, semua sepakat upaya pembiakan sapi potong lokal menjadi tulang punggung populasi sapi di dalam negeri yang harus didukung dan dilindungi eksistensinya.

Namun, tanggung jawab tersebut tidak dapat hanya dibebankan pada satu atau dua organisasi profesi, seperti Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) atau Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).

Keduanya mempunyai peran penting dalam hal keilmuan, teknologi, dan kesehatan hewan, tetapi keberhasilan pembiakan sapi potong di Indonesia sejatinya menjadi tanggung jawab bersama.


Persoalan Teknis

Indonesia juga masih menghadapi persoalan teknis untuk meningkatkan populasi ternak, seperti ancaman penyakit, seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Lumphy Skin Disease (LSD), Septisemia Epizootika (SE), jembrana, parasit darah, anthrak dan beragam penyakit lainnya.

Di lapangan, kondisi wabah PMK secara signifikan menurunkan populasi sapi dan mengganggu kinerja reproduksi sapi.

Kondisi ini menjadi tantangan bagi semua pihak untuk membantu peternak lepas dari kondisi endemik beberapa penyakit tersebut.

Secara teoritis, penggemukan sapi lokal menjadi salah satu harapan besar untuk menjawab kebutuhan daging sapi nasional.

Dengan jumlah peternak rakyat yang mendominasi, usaha ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga menyangkut hajat hidup jutaan keluarga di perdesaan.

Namun, berdasarkan analisa di lapangan, pangsa pasar sapi penggemukan lokal, saat ini sebagian besar hanya terfokus untuk siklus tahunan Lebaran Haji.

Salah satu alasan pasar sapi lokal hanya untuk kurban adalah harga pada momen ini lebih baik (hingga Rp.65.000,00/kg) dibanding hari biasa.

Fakta tersebut menjadi bukti bahwa hasil penggemukan sapi lokal kurang kompetitif untuk pemotongan harian biasa.

Penyebabnya pertama, persentase karkas sapi lokal rendah. Penggemukan sapi milik peternak rakyat menghasilkan persentase karkas kurang dari 50 persen.

Hal tersebut karena faktor genetik dan pola pakan yang kurang optimal, sehingga pertumbuhan kurang optimal.

Peternak biasanya memberi pakan dengan sistem basah, yaitu menggunakan comboran. Pemberian comboran berlebihan justru banyak menyebabkan gangguan metabolik, seperti asiodis dan over eating disease.

Seringkali jenis hijauan yang diberikan sangat bervariatif dan tidak stabil, tergantung musim dan ketersediaan.

Pada musim kemarau, diberikan pakan alternatif jerami padi yang menjadi sumber serat utama, tetapi rendah energi dan rendah protein.

Sapi memang terlihat cepat besar, perut terlihat besar, tetapi volume kotoran lebih banyak, lebih hitam, dan lebih pekat sebagai indikator persentase karkas rendah.

Kedua, tingginya harga bakalan sapi lokal. Pembelian bakalan sapi lokal, hingga saat ini masih menggunakan sistem taksiran atau jogrok yang menyebabkan mahalnya harga bakalan per kg berat hidup, yaitu Rp60.000 – 70.000 per kg. Dengan sejumlah biaya produksi lainnya, harga sapi penggemukan lokal masih sulit berkompetisi dengan harga pasar.

Sebagai contoh, harga jual sapi jantan penggemukan di peternak rakyat di luar hari raya Idul Adha normalnya Rp.52.000 per kg, sedangkan harga hasil sapi penggemukan bakalan impor mengikuti tren harga pasaran sapi penggemukan di Australia, berkisar Rp48.000 - Rp49.000 per kg.

Di sisi lain, harga sapi betina yang sudah tidak produktif dan gemuk (induk pernah melahirkan) relatif lebih murah, yaitu Rp38.000 per kg dan dara berkisar Rp42.000 per kg, berdasarkan berat badan hidup.

Harga sapi betina yang lebih murah ini menyebabkan jumlah pemotongan sapi betina, sampai saat ini masih tinggi. Jika hal ini dibiarkan, kondisi ini dapat mengancam perkembangan populasi sapi karena populasi betina terancam.

Ketiga, tata laksana pemeliharaan yang belum optimal. Saat ini jenis (breed) sapi bakalan yang tersedia didominasi Peranakan Ongole (PO), bali, madura, pegon (sapi dengan breed tidak jelas) dan sebagian limousine dan simetal.

Rendahnya pengetahuan tata laksana pemeliharaan, seperti kecukupan kebutuhan harian pakan penggemukan, menyebabkan pertambahan bobot badan harian cenderung lebih rendah dari penggemukan intensif di perusahaan penggemukan.


Pendampingan Melekat

Agar usaha penggemukan sapi lokal memiliki daya saing, peternak perlu mendapatkan pendampingan melekat dan intensif untuk manajemen penggemukan, seperti perbaikan genetik, sistem pembelian bakalan, target waktu penggemukan, cara menghasilkan sapi dengan pertambahan bobot harian yang tinggi, pakan yang efisien dan persentase karkas yang bagus.

Peternak harus terus diedukasi untuk memahami prinsip pemberian pakan. Prinsip bahwa garbage in - garbage out serta value in - value out harus dipahamkan untuk peternak.

Menjaga kualitas dan kuantitas pakan sangat mendukung produktivitas dan daya saing penggemukan sapi lokal Indonesia.

Penyuluhan kepada peternak agar menggunakan sistem pakan kering (konsentrat dan hijauan) atau complete feed untuk mendapatkan pertambahan bobot harian yang tinggi, pakan yang efisien dan persentase karkas yang bagus.

Jika sapi penggemukan lokal Indonesia menghasilkan persentase karkas yang bagus, pangsa pasar pemotongan harian semakin mudah diperoleh dan sangat membantu memberi solusi pendapatan harian beternak sapi.

Peternak juga harus dilindungi dari gempuran harga harga sapi impor yang saat ini lebih murah.

Jika hal tersebut terealisasi, maka peternak pembiakan akan lebih bersemangat untuk memproduksi bakalan bakalan yang memiliki kualitas genetik unggul.

Pemotongan betina secara signifikan dapat ditekan seandainya hasil penggemukan sapi lokal dapat mengisi pemotongan di rumah potong hewan setiap harinya.

Terakhir, sapi lokal bukan sekadar ternak, tapi sumber hidup bagi jutaan keluarga di desa. Jika pasar lebih berpihak pada impor, bukan mustahil dalam beberapa tahun ke depan sapi lokal hanya tinggal cerita.

Saat itu terjadi, Indonesia bukan hanya kehilangan daging segar dari kandang rakyat, tapi juga ruh kemandirian pangan bangsa. (ant)

Baca juga: Wamensos Ingatkan Guru & Kepsek Sekolah Rakyat Bangun Sistem yang Baik

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved