DPRA Sorot Beasiswa

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

* Training Disamakan dengan S3
* Mahasiswa Bertumpuk di Satu Universitas


BANDA ACEH - Komisi E DPRA menemukan banyak keanehan dan keganjilan dalam penyaluran beasiswa S1, S2, dan S3 kepada putra-putri Aceh selama periode 2008-2011.

“Salah satu kasus penyaluran beasiswa yang aneh dan tak lazim yang kami temukan dalam daftar penyaluran beasiswa S1, S2, dan S3 ke luar negeri tahun 2011 adalah pemberian beasiswa kepada dua orang, suami istri, ke Harvard University, Amerika Serikat. Diberikan dalam bentuk training yang jenjang pendidikannya disamakan dengan S3,” ungkap Wakil Ketua Komisi E Bidang Pendidikan, Sains, dan Olah Raga DPRA, Ir Sanusi kepada Serambi di ruang kerjanya, Kamis (7/3).

Menurut Sanusi, level training tidak sama dengan jenjang S3, sekalipun dilakukan di luar negeri. Bahkan levelnya di bawah S1, karena ia biasanya dilaksanakan dalam kegiatan ekstrakurikuler. “Lalu apakah tujuan dari menyetarakan training dengan S3 itu sebagai motif untuk mendapat dana beasiswa yang besar? Ini menjadi tugas Inspektorat Aceh untuk menyelidikinya,” kata Sanusi.

Dilihat dari biaya satuan beasiswa yang diberikan untuk jenjang pendidikan S3 ke Amerika, sebut Sanusi, nilainya cukup besar. Untuk biaya kuliah setahun saja mencapai Rp 202,4 juta, biaya hidup Rp 132,4 juta, biaya buku Rp 5,5 juta, biaya tiket Rp 20 juta, biaya kedatangan Rp 3,3 juta, dan biaya thesis Rp 5,5 juta. Sehingga total yang diterima seorang mahasiswa S3 per tahun untuk studi di Amerika bisa mencapai Rp 372,640 juta.

Komisi E DPRA itu juga menilai aneh, ganjil, dan tidak profesional  Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh selaku badan yang ditugasi untuk menyeleksi calon penerima dan mengelola penyaluran beasiswa mahasiswa Aceh ke dalam dan luar negeri. “Kita nilai badan itu tidak profesional karena ditemukan ada penumpukan pengiriman mahasiswa pada satu universitas,” ujarnya.

Ia tunjukkan contoh, di Universitas Deakin, Australia. Jumlah putra-putri Aceh yang kuliah di situ mencapai 5O orang. Dari jumlah tersebut, yang sama jurusannya mencapai 25 orang, yaitu jurusan bahasa Inggris (TESOL) untuk jenjang pendidikan S2.

“Yang menjadi pertanyaan kami, kenapa mahasiswa penerima beasiswa ke Australia ditumpuk pada satu jurusan, sementara jurusan itu ada di Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry. Apakah jurusan bahasa Inggris yang ada di IAIN dan Unsyiah kurang berkualitas, sehingga LPSDM Aceh harus mengirim banyak mahasiswa S2 untuk kuliah di Deakin, Australia,” gugat Sanusi.

Ia mempertanyakan, deal atau komitmen apa yang dilakukan LPSDM Aceh dengan Deakin Uviversity sehingga harus menumpukkan mahasiswa dari Aceh belajar untuk jurusan TESOL sampai 25 orang? Untuk seorang mahasiswa program ini diberikan beasiswa Rp 460 juta/tahun.

Kasus yang sama, ungkap Sanusi, juga terjadi dalam pengiriman dan penyaluran beasiswa S2 dan S3 ke berbagai universitas lainnya di luar negeri, termasuk yang sangat mencolok ke Malaysia. Total mahasiswa yang dikirim ke sana mencapai 324 orang. Paling banyak ke Universiti Utara Malaysia (UUM), mencapai 60 orang. Setiap orang menerima Rp 97 juta/tahun.

Dari 60 orang mahasiswa S2 dan S3 yang diberikan beasiswa ke UUM itu, 42 orang jurusannya tidak jelas. Hanya 18 orang yang jurusannya disebutkan dalam tabel laporan mahasiswa penerima beasiswa ke Malaysia yang disampaikan LPSDM Aceh (lembaga pengganti Komisi Beasiswa Aceh) kepada Komisi E DPRA.

Kasus yang sama juga terjadi pada penyaluran beasiswa ke universitas di dalam negeri. Nilai beasiswanya Rp 17,3 juta/orang/tahun. “Banyak beasiswa yang diberikan untuk jurusan yang tidak strategis yang tidak dapat mendorong mutu pendidikan Aceh.

Bahkan ada mahasiswa yang diberikan beasiswa S1, S2, dan S3, tapi jurusannya tidak jelas,” kata Sanusi. Kasus-kasus tadi, membuat Komisi E DPRA makin curiga terhadap penyelenggara LPSDM Aceh. “Jadi, dapat kami simpulkan bahwa penyaluran beasiswa S1, S2, dan S3 di dalam dan luar negeri belum dilaksanakan dengan baik, tertib, transparan, proporsional, profesional oleh LPSDM Aceh dan belum seluruhnya berorientasi pada kebutuhan pengembangan daerah ke depan,” tukas Sanusi.

Atas dasar itu, menurutnya, dalam pembahasan RAPBA 2013 lalu, usulan anggaran beasiswa sebesar Rp 78 miliar dibintangkan dulu, sebelum pihak eksekutif mengaudit penyaluran dana beasiswa 2008-2011 yang dinilai tidak transparan dan diduga ada kolusinya. (her)

Banyak Hal Mencurigakan

Wakil Ketua II DPRA, Drs Sulaiman Abda mengatakan, Badan Anggaran DPRA dan seluruh fraksi mengusul untuk ‘membintangkan’ anggaran beasiswa tahun anggaran 2013 sebesar Rp 78 miliar. Hal itu didasarkan atas temuan dan kajian yang dilakukan Komisi E terhadap laporan penyaluran beasiswa  S1, S2, dan S3 dalam negeri maupun luar negeri tahun 2008-2011 yang dinilai kurang baik, tidak transparan, dan banyak menimbulkan kecurigaan.

Terkait berbagai temuan tersebut, saat berlangsung pertemuan Komisi E dengan Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh sebagai pengganti Komisi Beasiswa Aceh, pihak LPSDM tidak mampu menjelaskan dengan rinci mengenai laporan dan pertanggungjawaban penggunaan dana beasiswa yang telah diberikan selama 2008-2011.

Karena itu, kata Sulaiman Abda, dalam Rapat Badan Anggaran dan Badan Musyawarah DPRA sebelum pengesahan APBA 2013 pada 1 Februari 2013 dalam Sidang paripurna DPRA, usulan anggaran beasiswa sebesar Rp 78 miliar itu ‘dibintangkan’ (ditunda sementara penggunaannya), sampai Inspektorat Aceh menyelesaikan audit penggunaan dana beasiswa 2008-2011 dan menyampaikan hasil auditnya kepada DPRA. (her)

Izhar: LPSDMA Sudah Diaudit

BANDA ACEH - Ketua Pelaksana Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh, Ir Izhar MM yang dikonfirmasi mengenai banyaknya keanehan, keganjilan, dan kecurigaan dalam penyaluran dana beasiswa 2008-2011 mengakui administrasi pendataan dan penyaluran beasiswa 2008-2011 memang kurang baik dan tidak teratur.

Namun, sebagai upaya untuk menindaklanjuti permintaan DPRA agar LPSDM Aceh diaudit, menurut Izhar, sembilan orang dari Inspektorat Aceh telah mengaudit badan yang dulunya bernama Komisi Beasiswa Aceh itu.

“Audit tersebut dilakukan atas perintah Gubernur Aceh, Dokter Zaini Abdullah, sehubungan dengan permintaan DPRA dan ‘dibintangkan’nya usulan anggaran beasiswa tahun ini sebesar Rp 78 miliar,” kata Izhar menjawab Serambi tadi malam.

Izhar menambahkan bahwa dirinya masuk ke Komisi Beasiswa Aceh (KBA) yang kini berganti nama menjadi LPSDM Aceh pada Juli 2011. “Jadi, kalau saya diminta menjelaskan penyaluran dana beasiswa periode 2008-2011, tidak bisa saya jelaskan secara rinci,” ujarnya menjawab Serambi tadi malam.

Hal yang kini disorot DPRA itu terjadi, menurutnya, justru pada saat Dr Qismullah Yusuf MA dan Drs Idris Ibrahim MA masing-masing menjadi Koordinator dan Wakil Koordinator Komisi Beasiswa Aceh. “Untuk lebih jelasnya, tanyakan saja kepada beliau berdua,” kata mantan kepala Biro Pembangunan Setda Aceh ini.

Izhar juga menerangkan bahwa dirinya per 31 Desember 2012 telah mengajukan surat pengunduran diri dari kepengurusan LPSDM. Tapi sampai kini, Gubernur Zaini belum mengizinkan dia mundur. Sementara, Koordinator dan Wakil Koordinator LPSDM Aceh, Qismullah dan Idris Ibrahim telah lebih dulu mengajukan mundur. Pengunduran diri mereka telah disetujui Gubernur Zaini Abdullah.

“Saya ajukan mundur karena sudah masuk masa pensiun. Kedua, sudah tidak merasa nyaman lagi bekerja di LPSDM. Hal inilah yang membuat saya minta mundur dari kepengurusan LPSDM,” ujarnya.

Menurut Izhar, sistem penjaringan calon penerima beasiswa S1, S2, dan S3 dalam dan luar negeri sejak tahun 2012 telah dilakukan dengan sistem online. Sistemnya sudah lebih baik dari sistem sebelumnya.

Jumlah mahasiswa yang telah lulus tes untuk menerima beasiswa tahun 2012 tapi belum disalurkan, kata izhar, mencapai 161 orang. Dari jumlah itu, 35 orang untuk pendidikan dokter spesialis. Kecuali itu, dalam tahun ajaran ini juga, ada beberapa mahasiswa yang telah menerima beasiswa sebelumnya, memerlukan bantuan dana studi untuk menyelesaikan studinya.

“Untuk itu, kami mengusulkan anggaran sebesar Rp 78 miliar. Anggaran itu akan digunakan untuk membayar lanjutan studi mahasiswa S1, S2, dan S3 di dalam dan luar negeri yang mau tamat, di samping untuk mahasiswa S2 dan S3 baru yang akan diberangkatkan tahun ini,” demikian Izhar.(her)

Berita Terkini