KAI

Di Mana ‘Miqat Ihram’ JCH Gelombang II dari Aceh?

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Diasuh oleh Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA.

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb.

Bersama ini kami menyampaikan bahwa kami sekarang merasa ragu dengan miqat makani bagi kita yang berangkat haji gelombang kedua dari Aceh, yaitu yang langsung ke Makkah, bukan ke Madinah dulu. Apakah di Yalamlam, Qurnul Manazil, atau King Abdul Aziz Airport di Jeddah? Soalnya, ada kesimpangsiuran pendapat. Atas jawabannya, kami ucapkan banyak terima kasih.

Muhammad Jasim
Aceh Tamiang

Jawaban:
Saudara Muhammad Jasim, yth.
Waalaikumussalam wr wb.

Pengasuh kira, saudara tidak perlu ragu dalam masalah ini. Rasulullah saw berpesan: “Tinggalkan yang meragukan untuk mengambil yang tidak meragukan” apalagi kalau dapat mendapat “yang meyakinkan”.

Dalam masalah ini memang timbul perbedaan pendapat dalam menginterpretasi hadis: Dari Abdullah ibn Abbas ra yang berkata: “Sesungguhnya Nabi saw telah menetapkan miqat (waqqata) Dzulhulaifah bagi warga Madinah, Juhfah bagi warga Syam, Qarnulmanazil bagi warga Najd, dan Yalamlam bagi warga Yaman. Tempat-tempat itu berlaku bagi warga setempat dan bagi yang datang ke tempat-tempat itu, yang ingin berhaji dan berumrah. Dan orang yang berada di luar tempat-tempat itu (wa man kaana duuna dzaalika) berihram dari mana saja dia muncul (min haitsu ansyaa’), sehingga warga Mekkah berihram dari Mekkah.” 

Empat lokasi yang disebutkan Rasulullah, yaitu Dzulhulaifah, Juhfah, Qarnulmanazil dan Yalamlam, pada masa itu adalah terminal persinggahan terakhir bagi para kafilah dari berbagai jurusan sebelum masuk Mekkah, baik untuk beribadah maupun untuk berdagang (lihat: Al-Mufashshal Fi Tarikhil Arab Qablal Islam, jld.11, hal.10-15).

Karena itu sangatlah wajar jika Nabi menetapkan empat lokasi tersebut sebagai tempat persiapan berihram, sebab ada beberapa kegiatan pra-ihram yang perlu dilakukan, seperti niat, mandi, memakai wangi-wangian, berpakaian ihram dan shalat sunat. Di daerah gurun pasir yang langka air pada abad ke-7 itu, hanya empat lokasi itulah yang ideal sebagai miqat makani, sebagaimana disebut Ibnu Khaldun.

Akan tetapi di sini Nabi, tidaklah memutlakkan keempat lokasi itu. Sebagaimana dapat dilihat dari hadis itu sendiri, bahwa calon haji yang tidak datang atau lewat salah satu tempat tersebut boleh berihram dari mana saja dia muncul. Itulah sebabnya, gelombang pertama yang menuju Mekkah dari Madinah melalui Biir Ali, harus berihram di tempat itu.

Bukti lain, ketika pulang dari perang Hunain, Nabi melakukan umrah dengan mengambil miqat di Ji‘ranah, tempat di luar Tanah Haram yang hanya 20 Km dari Kakbah. Nabi tidak mengambil miqat di Qarnulmanazil, meskipun itu adalah miqat Hunain, sebagaimana disebutkan Ibnu Atsir dalam As-Siratun Nabawiyah.

Ketika Nabi berhaji wada’, Aisyah ra kebetulan sedang haid. Maka setelah suci Nabi menyuruhnya untuk berumrah dari Tan‘im, tempat di luar Tanah Haram yang paling dekat (HR. Bukhari dan Muslim). Tan‘im ke Kakbah hanya 10 menit dengan mobil, kalau tidak macet.

Setelah Irak menganut Islam pada tahun 12 Hijriah, penduduknya yang ingin berhaji atau berumrah mengambil Manazil. Penduduk Irak menghadap Khalifah Umar ibn Khattab meminta alternatif tempat miqat. Abdullah ibn Umar berkata: Mereka berkata: “Wahai Amirul-Mu’minin. Sesungguhnya Nabi saw telah menentukan Qarn sebagai miqat warga Najd, tetapi tempat itu menyimpang dari rute jalan kami dan jika kami ingin ke Qarn akan menyulitkan bagi kami” Maka Khalifah Umar ra yang terkenal cerdas itu memberikan solusi bijaksana: “Telitilah hadzwa-nya dari rute jalan kalian (fanzhuruu hadzwahaa min thariiqikum).

Hadzwa artinya titik-titik sepusat (concentric points) atau berjarak sama jika diukur dari lokasi tertentu, seperti titik-titik pada keliling lingkaran atau seperti kita dengan bayangan di depan cermin. Oleh karena Qarnulmanazil berjarak 2 marhalah (lk 89 Km)  dari Mekkah, maka Khalifah Umar ra menetapkan suatu tempat pada rute perjalanan dari Irak, yang juga berjarak 2 marhalah dari Mekkah, sebagai lokasi miqat makani. Tempat itu lalu populer dengan nama Dzatu Irq atau tempat miqat orang Irak (lihat; Fiqhul Islami wa Adillatuh).

Berdasarkan hadis-hadis serta data historis yang telah dibahas, kita dapat merumuskan jawaban terhadap masalah pokok kita yang meragu-ragukan saudara: Pertama, jika kita besempatan berada di Dzulhulaifah, Juhfah, Qarnulmanazil atau Yalamlam, tempat-tempat itulah miqat makani kita sesuai dengan hadis tersebut di atas; Kedua, jika kita tidak mampu datang ke salah satu dari empat tempat tersebut, tempat mana saja boleh kita jadikan sebagai miqat makani, asalkan lokasinya di luar Tanah Haram, jaraknya se-hadzwa dengan tempat-tempat tersebut dan di tempat itu tersedia fasilitas untuk persiapan berihram.

Halaman
12

Berita Terkini