Pandangan | din saja
Seniman dalam pandangan segelap apa pun merupakan sosok penting dalam kehidupan. Dia penting tidak hanya karena salah satu asma Allah adalah Jamal (keindahan). Dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat As-Syu’araa (Penyair). Apakah sosok penting itu telah benar-benar menjadi penting selama ini di Aceh? Apakah seniman yang sering menjadi sanjungan, idola, harapan, kebanggaan, bagi negerinya, ketika dirinya hadir dengan sambutan yang mengagumkan dari orang-orang di negeri lain, memang sosok penting di negeri sendiri?
Penting di sini tentu tidak saja ketika seniman itu mendapat sambutan karena karyanya bagus. Lihatlah, ketika dulu seorang syeh seudati, Syeh Lah Geunta, mendapat sambutan luar biasa ketika tampil di pelbagai panggung di negara Eropa dan Amerika. Setibanya di kampung halaman dia lantas mendapat kehormatan sekaligus menjadi pembicaraan masyarakat dan kebanggaan pejabat. Di mana saja saja Syeh Lah Geunta hadir, dia selalu menjadi sorotan.
Tetapi, benarkah Syeh Lah Geunta, sebagai salah satu contoh dari sekian banyak seniman-seniman yang telah membawa nama baik Aceh itu, telah benar-benar dipandang penting dalam kehidupan di Aceh selama ini?
Hal serupa juga dialami seniman-seniman lain, yang mendapat sambutan hangat ketika atas penampilan mereka, dimana di dalamnya terdapat para pejabat, politisi, pengusaha dan orang-orang penting lainnya. Mereka, Syeh Lah Geunta; alm. Nek Rasyid, Tgk. Adnan PMTOH, Syeh Lah Bangguna, Hasyim KS, Maskirbi seakan-akan memiliki status yang sama dengan orang-orang penting lainnya.
Sang Tuan
Kesenian Aceh, dalam hal ini seni tradisional, adalah milik masyarakat Aceh. Kesimpulan sementara tersebut kerap mengemuka dalam setiap perbincangan, diskusi, seminar bahkan kongres yang berbicara tentang kesenian Aceh. Kesimpulan seperti ini lebih sering tidak berlanjut, umumnya debat selalu bermuara kepada bagaimana agar seni (tradisional) Aceh tidak tercemar oleh pengaruh-pengaruh luar, terutama yang dapat merusak nilai-nilai keislaman yang menjadi panutan masyarakat.
Kecaman terhadap Agnes Monica (AM), sekilas mengisyarakatkan tentang siapa sebenarnya pemilik seni (tradisional) Aceh. Waktu itu biduan ini menampilkan tari tradisional Aceh sebagai pengiring gerak latar nyanyiannya. AM dianggap menodai kesucian tarian Aceh karena penari latarnya tidak berpakaian islami. Tapi gugatan yang cukup serius justru datang dari persatuan seniman-seniman Aceh yang bermukim di Jakarta. Bagaimanapun gugatan ini memberikan kesan bahwa kepemilikan seni tradisional Aceh yang dipakai AM adalah masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh lainnya setuju saja kalau gugatan itu dilakukan. Dipahami atau tidak, kasus ini menunjukkan bahwa seni tradisional Aceh “milik” masyarakat Aceh.
Kesenian di manapun tetaplah milik penciptanya, yakni seniman. Tapi seni-seni tradisional Aceh yang telah dinyatakan sebagai kesenian Aceh, bukanlah milik setiap orang Aceh. Kecuali kebanggaan memiliki, lantaran prinsip, nilai dan bentuknyasebagaimana yang telah disepakati menjadi nilai-nilai keacehan terkandung pada kesenian tersebut. Seharusnya tidak siapa pun boleh menyatakan bahwa satu atau banyak kesenian pada satu daerah sebagai milik daerah atau masyarakat tersebut, termasuk juga masyarakat Aceh.
Hanya karena kebanggan bukan berarti setiap kelompok dapat berhak lebih jauh mengatur sebuah karya seni. Pada masa di mana seseorang tidak bertujuan mengharap imbalan dari sesuatu yang diciptakannya, hasil dari perbuatannya itu mestinya diasumsikan tidak menjadi milik sebagian orang.
Barangkali karena prinsip kebebasan, bahwa setiap orang punya hak, termasuk hak menguasai milik/karya orang lain. Apakah oleh prinsip ini lantas menyatakan kesenian itu milik masyarakat? Bahkan menguasai kepemilikan tersebut dalam suatu hukum. Kalau ini terjadi, kekuasaan dapat disebut telah merampas secara resmi hak cipta seorang atau sekelompok seniman.
Dalam hal inilah kesenian di Aceh mengalami kezaliman luar biasa yang diprakarsai para penguasa. Di sisi lain, kesenian Aceh tidak mendapat pengakuan dan perlindungan dari Pemerintahan Aceh. Baik perlindungan berupa qanun maupun program-program yang terkait dengan persoalan-persoalan kesenian itu sendiri.
Snouck Hurgronje dalam bukunya Aceh Dimata Kolonialis, menulis “Secara keseluruhan kita mendapat kesan bahwa jiwa seni orang Aceh belum seberapa berkembang, kecuali pada tenun sutera di mana selera tinggi nampak dalam pewarnaan maupun polanya. Pada masa kejayaan Raja-raja kota pelabuhan, pergaulan dengan orang asing, dan keinginan para bangsawan untuk bersaing dengan orang lain dalam hal pamer dan kemewahan, menyebabkan masuknya nilai seni untuk sementara, tetapi hal ini cepat menghilang karena kemerosotan politik. Peradaban asing yang pengaruhnya paling lama berlangsung bagi masyarakat Aceh, yakni agama Islam, tidak banyak membantu kebangkitan atau pengembangan nilai artistik”.
Masih menurut Snouck Hurgronje, kesenian Aceh terdiri atas seni musik, seni sastra, dan seni hiasan. Sedangkan seni tari, seni drama, lukisan, patung, belum ada. Seni musik diperlukan sebagai bagian dari upacara ritual, seperti perkawinan, bayar nazar. Seni sastra seperti hikayat, fabel, hiem, panton, sajak berirama, haba, hadih maja, fiksi/epik, berkembang sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kisah.
Apa yang menarik dari temuan Snouck Hougronje tersebut, yakni tentang gengsi. Tenun sutera sebagai karya seni tinggi di Aceh waktu itu, mendapat tempat di hati para bangsawan karena menjadi alat pamer dan kemewahan. Tapi malangnya, gengsi ini bukanlah karya seni yang diciptakan bangsawan tersebut. Bangsawan hanya mengambil manfaat dari ciptaan seniman.
Lantas, bagaimana nasib seniman pencipta tenun sutera? Apakah dia hidup layak dari hasil tenun sutera yang mempercantik para bangsawan? Snouck tidak menjawab lebih jauh. Tapi mencermati perkembangan kesenian di Aceh sejak buku itu terbit kita boleh menduga apa yang telah terjadi. Karena kemerosotan politik, kesenian menjadi terabaikan. Kain tenun bukan tidak lagi diciptakan karena tidak ada kebutuhan, tapi barangkali mutu dari karya seni itu kurang tergarap secara mendalam.