Cerpen

Daun-daun

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Karya Putri Nadia

 “MAAF.”
Aku tersentak kaget begitu menyadari seseorang berada di hadapanku.
“Boleh saya duduk di sebelah anda?”
“Oh, tentu.”
“Terima kasih.”

Aku tersenyum kecil pada orang itu. Setelah itu tak ada percakapan lanjutan. Aku kembali pada lamunanku. Bus mulai melaju. Radio tua yang memutarkan lagu daerah menemani perjalanan kami, sesekali terdengar percakapan di antara para penumpang.

Aku tertidur dan terbangun ketika bus tiba- tiba berhenti. Beberapa penumpang melihat keluar. Terjadi sebuah kecelakaan. Lelaki yang duduk di sebelahku langsung turun bersama beberapa penumpang  laki-laki  lainnya. Mereka membantu memasukkan korban kecelakaan ke dalam sebuah mobil untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Aku pun turun dari bus dan mendengar kecelakaan menimpa sepasang suami istri dan kedua anak mereka. Badan jalan yang longsor penyebabnya.

Bus yang aku tumpangi terpaksa berhenti. Tak mungkin melanjutkan perjalanan sebelum belas longsor disingkirkan, begitu kata sang supir yang saat ini sedang membantu membersihkan longsor yang menutupi badan jalan. Aku memilih duduk di pinggir jalan bersama penumpang lain. Sesaat seorang ibu setengah baya mengajakku ngobrol. Hanya sebentar. Lalu keheningan menyelimuti kami. Aku menjemput kembali lamunanku.

Selembar daun jatuh tepat mengenai wajahku. Aku mencari pohon yang telah menggugurkan daunnya yang tua itu.  Pohon itu tinggi dan sepertinya sudah sangat tua. Pohon itu tidak bisa tidak mengingatkanku pada sebatang pohon yang tumbuh subur di belakang rumah kontrakanku. Pohon itu sering aku gunakan sebagai tempat berteduh ketika suasana di rumah kontrakan begitu membosankan; ketika keadaan benar-benar membuatku tak bisa berkata-kata.

Pernah beberapa kali aku menangis di bawah pohon itu. Kadangkala dengan bodoh dan tanpa belas kasihan aku memetik daun-daun di pohon itu; kemudian mencabik-cabiknya. Daun itu diam saja. Mungkin akan berbeda jika yang aku cabik adalah seekor kucing. Aku membandingkan daun-daun yang hancur oleh tanganku itu, oleh kemarahanku, dengan diriku sendiri. Aku punya impian menjadi seroang dirigen. Bertahun-tahun aku berlatih untuk sebuah pertunjukkan. Menjelang pertunjukkan aku sakit. Tempatku digantikan oleh orang lain. Aku sakit hati. Aku menangis dan marah, seolah-olah hanya aku seorang yang pantas memimpin orang-orang bernyanyi.

Setelah kejadian itu, aku tak lagi berbicara dengan temanku itu hingga ia harus meminta maaf atas suatu kesalahan yang tidak pernah diperbuatnya. Saat di perguruan tinggi, seorang temanku yang lain ditunjuk menggantikanku sebagai dirigen. Si pelatih menganggap aku tidak siap untuk sebuah pertunjukan. Dan seperti yang kalian duga, aku aku kembali merenggut daun-daun untuk melampiaskan kekesalanku pada sang pelatih.

Langit sore mulai memerah. Supir belum menunjukkan isyarat bahwa perjalanan bisa dilanjutkan. Udara dingin memaksaku meraih jaket yang memang telah aku persiapkan dan segera aku kenakan guna menghangatkan tubuhku.  Aku memandangi jaket merah yang aku kenakan. Ini adalah jaket yang aku beli bersamaan dengan sebuah hadiah ulang tahun untuk seorang sahabatku. Sahabat yang sudah begitu lama aku kenal. 

Tapi kenyataan begitu tidak bersahabat. Sepulang dari membeli kado, aku melihat sahabatku itu berjalan dengan seseorang yang sangat aku kenal. Kawanku berjalan dengan kekasihku. Aku pulang dengan perasaan kacau. Lagi- lagi aku memilih menangis di bawah pohon di depan kontrakanku dan mencabik-cabik lagi daun-daunnya demi melampiaskan kesedihanku. Apa salahku? Betapa jahatnya sahabatku! Tak lama kemudian aku mendengar dari mulut kekasihku sendiri bahwa ia sudah bosan denganku. Dia akan segera mencari seorang pacar baru. Harusnya si pengkhianat itu aku cabik-cabik sebagaimana daun-daun di pohon itu. Tapi aku hanya bisa diam, menangisi nasibku sendiri di bawah pohon yang mungkin sudah bosan mendengar keluahanku setiap hari.

Aku menyesal ketika mengingatnya kejadian itu. Rasa malu manjalari diriku kini. Malu pada diriku yang tak bisa bersikap dewasa dan merasa bersalah pada mereka, sahabat-sahabatku. Tapi tentu saja tidak kepada lelaki sialan itu.

“Ayo, busnya sudah mau berangkat.”

Ingatanku melayang entah ke mana, aku menatap penumpang yang mengajakku naik. Aku mengangguk. Langit sudah gelap. Tapi aku belum mau beranjak.

“Ayo,” ajak seorang penumpang lain dengan kesal. “Apa mau tinggal di hutan ini?”

“Oh, iya.”

Halaman
12

Berita Terkini