Tidak ada yang berubah. Semua penonton terheran-heran, begitupun pria besar itu. Keringat dingin mengalir cepat di leherku. Aku masih menunggu, tapi ia tidak juga berubah.
Merasa ada yang tidak beres, segera aku ulangi mantera yang sama, dengan gerakan yang sama pula. Dan ketika aku menunjuknya dengan sebatang kayu, ia belum juga berubah.
“Apa-apaan ini!” Pria besar itu murka, berdiri dan mematahkan kayu yang ada di hadapannya.
Aku ketakutan luar biasa, lalu sekejap mata, tiba-tiba petir menyambar pria besar itu dan mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Duaarr!
Aku, dia dan semua penonton menutup mata dan telinga.
Kini pria besar itu hilang, dan hanya tinggal sebuah ikan mas yang megap-megap membutuhkan air. Semua penonton menganga tidak percaya. Hingga ikan itupun berhenti bergerak dan mati.
Salah satu dari penonton itu pun berteriak, “Paduka yang mulia mati! Jumawi membunuhnya! Tangkap Jumawi! Bunuh dia!”
Segera semua penonton berlari ke arahku. Aku terdiam pasrah, dan jantungku sepertinya telah menyusut kuat. Mungkin di sinilah akhir takdirku. Wajah kuhadapkan ke langit, semacam berterima kasih kepada Tuhan karena mengizinkanku hidup lebih baik daripada mereka yang sejenisku. Karena aku adalah seekor kera yang tidak akan pernah bisa menjadi manusia.
* Aslan Saputra, anggota FLP Cabang Banda Aceh
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |