Cerpen

Dalilot

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sepulangnya pria-pria berseragam cokelat tanah itu, kami semua warga kampung dikumpulkan di balai kampung. Kami bingung apa yang baru terjadi dan apa pasalnya kami dikumpulkan. Namun, wajah tetua kampung saat itu terlihat tegang. Rahangnya bergemeretak. Matanya semerah saga. Beberapa kali ia mendengus.

“Pemerintah pusat akan membuka lahan perkebunan sawit di kampung kita. Kita diminta bersiap-siap,” ujar tetua kampung.

Kami saling menatap bingung. Belum paham arah pembicaraan.

Setelah menarik napas yang begitu dalam, sampai muka tetua kampung ikut memerah, ia menyampaikan kalimat yang membuat kami tersedak.

“Hutan larangan akan dibabat. Namanya pembukaan lahan. Pohon-pohan akan ditebang. Demi pembangunan negeri.”

Mulailah suasana kampung menegang. Semua merasa keberatan. Semua takut kalau-kalau setelah hutan larangan dibabat, ditebang pohon-pohonnya, kampung kami akan mendapat musibah dan laknat.

“Itu hutan larangan! Hutan larangan tidak boleh ditebang!” Semua sepakat.

Suatu malam, masih dalam suasana tegang di kampung kami, hujan kembali turun dengan lebat. Seorang lelaki tua keluar dari dalam hutan, menyeret langkah melewati jalan setapak di kaki gunung, lalu masuk ke perkampungan. Bayangan mulai tampak dari ujung jalan. Dalilot!

Seperti biasa, ia berjalan tertatih menelusuri jalan kampung sambil melantunkan hikayat. Anehnya, ada yang janggal dari lantunan hikayat Dalilot malam itu. Lantunannya melengking-lengking nyaring mengembuskan perih yang teramat dalam. Pada bagian tertentu lantunannya berubah isakan. Pada bagian yang lain Dalilot melolong. Warga kampung terperanjat. Tak ada yang pernah mendengar lantunan yang biasanya syahdu, yang menyatu dengan derak hujan di atas atap dan melebur bersama gemerisik daun-daun dan derit kusen jendela tertiup angin itu, berubah menjadi lengking seperti seseorang kena cambuk.

Pada bagian akhir hikayatnya, pada bagian yang menyerupai mantra-mantra dan doa-doa, Dalilot lirih bersenandung panjang. Dalam senandungnya, saat itu hampir semua warga kampung mendengar dengan jelas, Dalilot membicarakan tentang negeri. Ia bersenandung tentang negeri yang akan segera kena laknat, tentang orang-orang lalim, tentang airmata yang mengering menjadi kerikil, lalu kerikil itu bertambah besar menjadi bongkahan batu, batu-batu ini lalu menimpa orang-orang lalim. Menimbun negeri yang kena laknat. Ia juga bercerita tentang orang-orang baik dan akar-akar menggantung.

Kami tidak begitu paham apa maksud hikayat itu sebenarnya. Namun kami semua terisak. Air mata luruh begitu saja. Badan-badan menggigil. Angin bertiup makin kencang. Aroma lumpur sawah menyusup lewat celah jendela. Masuk ke hidung. Tulang-tulang kami membeku. Dan tanpa kami sadari sebelumnya, itulah akhir bagi kami bertemu Dalilot.

Esok paginya, perempuan-perempuan tak lagi bersemangat mendidihkan air atau menimba di sumur. Para lelaki dengan langkah gontai berjalan bersisian di sepanjang jalan setapak memikul cangkul, dipinggangnya tersampir parang.

Pada pagi yang sama kami lihat beberapa mobil besar, tetua kampung menyebutnya bulldozer, merobek hutan larangan. Para pria berseragam cokelat tanah itu tampak manggut-manggut. Kami menatap dari kejauhan dengan sembilu tertancap ke mata maupun hati kami. Semakin dalam bulldozer itu merobek hutan larangan, semakin dalam pula rasanya sembilu itu mengoyak. Mata kami berair. Air mata luruh begitu saja.

***

Setelah hutan larangan habis dibabat, pohon-pohon habis ditebang, para pria berseragam cokelat tanah ini kembali datang. Kali ini mereka langsung mengumpulkan kami di balai kampung.

Halaman
123

Berita Terkini