Karya Azmi Labohaji
SEPERTI malam kemarin, hujan malam ini masih sama. Tak terlalu lebat. Hawa dingin perlahan-lahan merayap menaiki dinding rumah dan berakhir di tubuhku. Tak tahan dengan hawa dingin yang terus menusuk tubuh, aku pun menghangatkan diri di depan perapian. Seiring dengan kebutuhan akan kehangatan, ketakutanku pun mulai merongrong tubuhku.
Ketakutanku pada malam ini sangat beralasan.Malam masih terlalu panjang sedangkan kayu untuk kucampakkan pada api yang masih menyala hebat itu hanya tersisa dua bongkahan kecil. Harus dengan apa kuhangatkan tubuhku ini nantinya?
Sambil membenarkan letak perapian, tanpa sengaja besi yang kupakai untuk membenarkan letak kayu di tungku menerbangkan bara api. Bara api itu tercampak tepat di bawah letak bingkai foto yang berisi gambar istriku. Tak ingin bingkai foto itu dilalap api, cepat-cepat kutumpahkan kopi ke atas bara yang masih membara. Bara padam. Lalu kupungut dan kucampakkan kembali sisa bara itu ke dalam tungku.
Aku kembali pada bingkai foto yang berisi gambar istriku. Saat hendak kuambil foto tersebut, telpon genggamdalam saku celanaku bergetar. Sebuah pesan singkat. Aku bergegas membuka pintu. Seseorang yang mengantarkan pizza telah berdiri tegak di depan pintu rumah.
Si pengantar pizza terbungkus mantel hujan. Ia menyerahkan pesanan dan menyebutkan harga yang harus kubayar untuk pesanan tersebut. Aku sibuk merogoh saku celana mengeluarkan uang dan si pengantar pizza membenarkan mantel hujannya. Saat kuserahkan uang pada si pengantar pizza raut wajahku langsung berubah. Aku menatap si pengantar pesananku dengan terpukau. Dia cantik dan aku mengenalnya. Tanpa akuperintah, pikiranku langsung berubah liar.
Perempuan cantik. Malam yang dihiasi hujan. Harus kuakui perempuan cantik dan hujan mampu melahirkan keindahan yang tak pernah terbayangkan. Perempuan cantik dan hujan adalah dua hal yang sangat indah dan sangat didambakan oleh laki-laki sepertiku.
Kami sama-sama terpaku dan saling menatap bola mata. Tangan si perempuan dan tanganku bersentuhan saat uang lima puluh ribu aku serahkan kepadanya. Dengan tingkah asing, aku mengakhiri tatapan penuh makna ini dan berkata, “Ini uangnya!” Diamengambil uang tersebut dan berlalu dari hadapanku setelah mengucapkan terima kasih.
Aku masih menatap perempuan itu. Entah kenapa baru kali ini aku ingin berlama-lama menatap perempuan. Padahal pada hari-hari biasanya aku sangat sering bersemuka dengan perempuan-perempuan cantik dan tak pernah ada pandangan yang akan berlangsung lama seperti ini. Tapi kali ini lain sekali.
Di bawah rintik hujan, perempuan itu menutup pagar depan rumahku dan, dengan amat hati-hati, masih menatapku. Sebuah tatapan yang harus benar-benar kumaknai dengan sangat cermat. Kini ia telah berada di atas motor dan hendak pergi, tapi gerakkan tangannya yang meraba-raba saku baju dan celana menandakan bahwa ada sesuatu yang hilang. Aku semakin kasihan padanya dan rintik hujan pun mulai melebat.
Aku masih terpaku di depan pintu menatap perempuan yang tampaknya belum menemukan sesuatu yang hilang. Tanpa sengaja saat aku hendak berbalik masuk ke dalam rumah, kakiku menyepak sebuah kunci motor. Tak salah lagi, perempuan itu pasti kehilangan benda yang mampu menyalakan motornya.
“Nona, pasti mencari benda ini, bukan?” aku berteriak.
Dia mengangguk dan masuk kembali ke rumahku mengambil benda yang telah kutunjukkan padanya. Aku menyerahkan kunci seraya sekali lagi menatap bola mata dan kecantikannya.
“Terima kasih.” Aku tak membalas ucapan terima kasihnya. Pikiranku semakin liar dan hujan semakin melebat.
“Aku belum pernah melihat perempuan secantik dirimu.”
Dia terdiam dan menatapku aneh.
“Terima kasih atas pujiannya,” katanya untuk kedua kalinya.
Aku melontarkan sebuah pertanyaan gila padanya, “Maukahkah kau menemaniku untuk malam ini? Aku akan membayarmu berapapun harganya! Aku tahu ini pertanyaan gila, tetapi aku membutuhkan jawabanmu sekarang!”
“Maaf!Aku bukan perempuan seperti itu...”
Belum selesai ia menyempurnakan kalimatnya, tanganku mengambil sebilah pisau dan menekan ke satu bagian tubuhnya.
Hujan akhirnya menyempurnakan malam. Hawa dingin semakin menjadi-jadi. Di depan tungku perapian, kini hanya ada aku dan si perempuan pengantar pizza. Kini, tak ada lagi ketakutan, aku aku telah mendapatkan dua kehangatan sekaligus.
“Telah lama sekali aku mencari dan mengikuti jejak langkahmu dan akhirnya aku menemukanmu. Kau tahu, aku telah berjanji pada diriku sendiri, bahwa suatu saat aku aku akan mendapatkanmu. Ini adalah balasan atas apa yang telah engkau lakukan padaku, Nona.”
“Andai saja kau mau menerima lamaranku dulu, Nona, maka hal terkutuk ini takkan pernah terjadi. Tapi saat itu kau menolakku dan berbicara kepadaku dengan angkuh. Sekarang nikmatilah saat-saat yang indah ini meskipun kau terpaksa!”
Hujan kian melebat. Aku semakin gila seraya menatap raut mukanya yang indah. Aku menginginkan dia berkata-kata. Tapi mulutnya tetap terkatup dan matanya tertutup hingga subuh buta.
***
Di depan meja kerja, seorang perempuan tambun yang lehernya dililit mutiara, menerima karyawannya. Ada percakapan yang menakutkan di sana.
“Mulai hari ini saya berhenti bekerja!”
Perempuan tambun pemilik usaha makanan Italia itu pun terkejut bukan kepalang. Baru mengawali pagi sudah ada karyawannya yang ingin berhenti.
“Kamu kenapa? Kok tiba-tiba ingin berhenti bekerja? Kamu itu salah satu karyawan terbaik di sini dan saya tak menginginkan kamu melakukan hal tersebut. Ada apa denganmu?”
Sambil mengeluarkan bulir bening dari kedua bola matanya yang indah, perempuan pengantar pizza itu berkata apa adanya.”Suamimu telah memperkosaku semalam saat aku mengantarkan pizza padanya. Bila saya tak mau melakukannya, maka sebilah belati yang ada di tangannya siap untuk mengeluarkan usus-usus saya!”
“Bejat!” teriak perempuan tambun itu seraya menumpahkan segenap benda yang ada di atas meja kerjanya. Perempuan tambun itu pun meraih kunci mobil dan pulang ke rumahnya.
Di rumah, suami si perempuan tambun, di atas sofa yang empukbersama segelas, tersenyum seorang diri mengingat apa yang telah terjadi tadi malam. Namun, sang suami tak menyadari bahwa senyumannya itu takkan bertahan lama karena sebentar lagi raksasa yang telah memberinya kemewahan itu akan menghancurkannya tanpa ampun!
Darussalam, November 2014
* Azmi Labohaji, penikmat sastra dan kini sedang menjalani Pendidikan Profesi Guru pada LPTK Universitas Syiah Kuala.
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |