Cerpen

Nyak Cut Merindukan Laut

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aku mendengar namaku disebut-sebut dari arah pintu depan. Saat hendak ke sana, Mak sudah lebih dulu masuk.

“Haji Banta tidak setuju kalau Nyak Cut yang menjadi pemandu orang-orang bule itu selama mereka di sini. Menurut dia, itu sangat tidak pantas.” Wajah Mak memerah karena gusar.

“Tapi, Mak.”

“Sudahlah, Cut. Tidak usah membantah keputusan Haji Banta.” Mak bahkan lupa memanggilku dengan Nyak Cut.

Aku terduduk lemas. Batinku tidak bisa terima. Apalagi logikaku. Apanya yang salah jika seorang perempuan mendampingi sekelompok laki-laki asing, hanya sekedar untuk memperkenalkan mereka pada keindahan alam dan pesona kebudayaan daerah di sini. Pulo Raya memiliki laut yang indah, terumbu karang yang masih alami, dan juga kearifan lokal yang tidak akan mereka jumpai di daerah lain. Meskipun sudah lama di Jakarta, aku masih ingat dengan baik kondisi daerah sini. Lagi pula, kemampuan bahasa Inggrisku jauh lebih bagus dari pada penduduk desa yang lain.

“Apa ini murni karena Cut perempuan? Bukan karena Haji Banta masih marah terhadap keluarga kita setelah Cut menolak untuk menerima pinangan cucu dia, Bang Malem? Kalau memang Haji Banta beralasan atas dasar syariat, di mana salahnya kalau Cut yang mendampingi bule-bule itu. Cut kan bukannya mau tidur dengan mereka.” Aku tak mampu menahan tangis. Aku betul-betul tidak bisa menerima keputusan para tetua desa yang dipimpin oleh Haji Banta.

“Nyak Cut, sudahlah. Mak juga tidak senang dengan keputusan mereka. Tapi, tak ada yang bisa kita lakukan.” Mak memelukku, berusaha meredakan badai yang perlahan mulai mengusik.

Tubuhku gemetar oleh amarah dan perasaan pasrah yang saling bergantian memenuhi benakku. Mak kian erat memelukku.

“Jadi Nyak Cut ikut ke laut, kan?” Mak mencoba tersenyum padaku, meskipun itu tidak berhasil dengan baik.

Aku mengangguk pelan.

“Kalau begitu, kita berangkat sekarang ya. Raudhah sudah menunggu kita di depan.”

Aku, Mak, dan Raudhah menuruni jalan setapak dari arah lereng Desa Crak Mong menuju laut. Raudhah satu-satunya saudara jauhku yang masih tersisa setelah bencana tsunami. Usianya tidak jauh berbeda denganku. Dia lebih muda beberapa bulan dariku. Meskipun begitu, kami sama-sama dikaruniai ketidaksempurnaan oleh Tuhan. Raudhah bisu, sedangkan aku, tangan kiriku tidak tumbuh dengan sempurna. Karena itu, aku tidak bisa membonceng Mak. Tangan kiriku tidak kuat memegang setang sepeda motor.

Semakin mendekati laut, suara ombak terdengar semakin menggemuruh. Aroma garam pun kian pekat tercium. Dan samar, rasa takut dan sedih masih bercokol. Sejak laut merenggut Abah, hatiku tak lagi bersahabat dengan laut. Aku bahkan hampir membencinya. Jika saja Mak tidak terus-menerus menjelaskan kepadaku bahwa kepergian Abah bukanlah salah laut, tapi karena memang sudah ketentuan Yang Maha Kuasa, mungkin hari ini aku tidak akan berada di sini.

Untuk sesaat, pikiranku tentang keputusan Haji Banta menghilang entah ke mana. Menjejaki hamparan butiran pasir, aku menatap nanar pada bentangan biru yang terhampar. Mak dan Raudhah sudah mulai mengeluarkan yasin dan menggelar tikar. Karena sedang berhalangan, aku hanya ikut duduk, mendengarkan suara lirih Mak yang ditimpali gemuruh ombak. Raudhah ikut membuka yasin-nya. Meskipun tidak ada suara yang keluar, aku yakin dia membacanya dalam hati.

Saat duduk terdiam, pikiranku kembali menerawang entah ke mana. Beberapa hari setelah menyelesaikan pendidikanku di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, aku memutuskan kembali ke Aceh. Tidak hanya karena Mak tinggal sendiri, tapi jujur, ada keinginan yang kuat dalam diriku untuk bisa membangun tanah kelahiranku. Aku teringat Kak Bidah yang dulu mengajariku tarian-tarian tradisional. Aku juga ingin seperti dia, bisa berbuat sesuatu untuk orang-orang.

Halaman
123

Berita Terkini