Cerpen

Nyak Cut Merindukan Laut

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Setelah berbicara dengan Mak, aku pun menawarkan diri sebagai pemandu bagi wisatawan yang mulai ramai berdatangan ke Aceh sejak program Visit Aceh 2012 digulirkan oleh pemerintah daerah Aceh. Bagiku, bisa memperkenalkan Aceh pada orang-orang adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Seperti saat masih kuliah dulu, aku kerap tampil bersama teman-teman yang lain, mempertunjukkan tarian saman atau pun ranup lampuan di acara-acara fakultas.

Aku sungguh tidak menyangka, jika kemudian harus kembali berhadapan dengan Haji Banta, salah satu tetua desa yang petuahnya adalah sakral dan tidak boleh dibantah. Sebelumnya, aku sudah pernah menghadapi kemurkaan lelaki renta itu saat dia datang mewakili cucunya untuk meminangku. Waktu itu, aku baru saja tamat tsanawiyah. Abah dan Mak menyerahkan keputusan penuh kepadaku, mau menikah atau lanjut sekolah. Aku memilih yang terakhir. Meskipun di sini sudah biasa untuk menikah di usia muda, aku punya prinsip yang berbeda. Aku ingin menggapai cita-citaku terlebih dahulu sebelum kemudian memutuskan bersuami.

Haji Banta marah besar. Orang-orang sekampung pun ikut-ikutan marah terhadap keluargaku. Bahkan, bukan sekali dua mereka menyindir kecacatanku. Bahwa aku tidak bersyukur karena sudah mau dilamar oleh salah satu cucu orang terpandang di desa. Aku dikatakan tidak tahu diri.

Dan kali ini, lelaki itu kembali menunjukkan taringnya. Jika dulu aku memiliki Abah yang selalu membelaku, kali ini aku memang tidak punya siapa-siapa, selain Mak yang sudah renta dan Raudhah yang bahkan tidak bisa berbicara.

“Nyak Cut, Mak dan Raudhah hendak pulang sekarang. Nyak Cut masih mau di sini?” Aku sedikit terkejut.

“Iya, Mak. Mak dan Raudhah duluan aja. Cut masih mau di sini. Tikarnya gak apa-apa, Mak bawa pulang aja.” Aku membantu melipat tikar dan memberi tahu Raudhah dengan gerak tangan untuk mengendarai sepeda motornya dengan hati-hati. Jalan naik ke arah desa memang sangat menanjak.

Setelah Mak dan Raudhah berangkat, aku memutuskan untuk berenang. Lagi pula, suasana laut masih tidak begitu ramai. Aku memilih bagian yang tidak terlalu dalam. Masih lengkap dengan jilbab dan gamis panjang, aku menyebur dan berenang sebisanya.

Rasa asin memenuhi mulutku dan mataku perih. Tapi, sensasi dinginnya membuatku seketika melupakan panas sang surya. Mungkin baru sekitar setengah jam aku berenang dan mengapungkan diri, segerombolan turis nampak berdatangan. Yang membuatku lebih terkejut, di antara lelaki berambut pirang itu, nampak Haji Banta dan cucunya Bang Malem. Pelan, aku beringsut ke tepi. Bajuku yang basah membuat segalanya jadi semakin tidak nyaman.

Samar-samar, aku mendengarkan Bang Malem sedang menjelaskan kemungkinan untuk bisa melakukan surfing di sekitaran laut sini. Ombaknya yang besar akan sangat membantu untuk kegiatan itu. Belum lagi air lautnya yang bersih dan pantainya yang putih. Kurasa, keindahan laut-laut di Aceh tidak kalah dengan yang ada di Bali. Meskipun, sebagian besar wisatawan asing hanya tahu tentang Bali jika ditanya apa yang mereka tahu tentang Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan Bali, berwisata ke Aceh jauh lebih murah.

Bang Malem hanya mengangguk singkat ke arahku. Sedangkan Haji Banta sudah lebih dulu memalingkan muka. Rombongan itu terus bergerak menjauh, namun aku masih bisa mendengar suara Bang Malem yang nampak kesulitan menjelaskan tentang keindahan alam di sini dengan bahasa Inggris yang tidak karuan. Bule-bule itu jelas sekali terlihat bingung. Sedangkan Haji Banta hanya melongo dan sesekali tersenyum ke arah para wisatawan.

Menutupi gamisku yang basah dengan jaket, aku nekat menghampiri rombongan turis itu. Laut seolah menuntun langkahku ke sana. Hatiku tidak bisa terima jika keindahan alam Pulo Raya tidak tersampaikan dengan baik hanya karena Bang Malem tidak lancar berbahasa Inggris. Aku juga tidak bisa menerima rasa marah Haji Banta kepadaku membuat lelaki tua itu tidak lagi bijaksana dalam membuat keputusan.

“Excuse me! My name is Cut and I am living around here. I would like to help you to explain everything that you want to know about this place. It would be my pleasure to help you all.”

Wajah Bang Malem terlihat memerah. Entah karena lega atau marah. Aku tidak begitu peduli. Pun wajah pias Haji Banta dan matanya yang melotot ke arahku, kuabaikan saja. Bule-bule itu nampak kegirangan. Kujelaskan semua yang kutahu sedetil mungkin. Bahwa di sini sekarang sedang musim lomba layang tunang antar sesama warga. Juga ada mie kepiting yang bisa mereka coba setelah seharian menyelam menyaksikan keindahan terumbu karang. Salah satu dari mereka bertanya tentang gajah liar yang kerap menghebohkan warga dan yang lain nampak tertarik untuk melihat langsung. Kami semua tertawa, melupakan Bang Malem dan Haji Banta yang menghilang entah ke mana.

Tiba-tiba saja, aku merasa begitu lepas. Menatap hamparan samudra, aku membayangkan wajah Abah yang mungkin sedang tersenyum ke arahku. Setelah begitu lama, rasa rinduku pada laut pun kembali membuncah.  

Manchester, Desember 2014

* Rinal Sahputra, tinggal di Bireuen. Sedang menemupuh pendidikan doktoral di Manchester, Inggris.

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Berita Terkini