Opini

‘Stunting’ Mengancam Aceh

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

(Refleksi Hari Gizi Nasional)

Oleh Dian Rubianty

KITA masih dalam suasana peringatan Hari Gizi Nasional yang jatuh pada 28 Februari lalu. Sejumlah seremonial dan berita kembali digelar dan ditulis guna mengingatkan kita tentang pentingnya gizi untuk kesehatan, khususnya kesehatan anak dan balita. Kemudian seremonial dan berita-berita itu berlalu seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun bagi kita yang peduli masa depan Aceh dan Indonesia, Hari Gizi Nasional mestinya bukan sekadar seremonial dan berita. Ia adalah pengingat akan banyaknya tugas kita yang belum selesai.

Betapa tidak, data Kementerian Kesehatan 2010 menunjukkan bahwa 23,7% anak Aceh mengalami gizi buruk atau kurang gizi. Mencemaskan, bila kita bandingkan dengan persentase gizi buruk nasional 18,4% pada tahun yang sama. Akibatnya 38,9% anak di Aceh mengalami stunting, yaitu tinggi badan yang lebih pendek dari ukuran normal anak seusia mereka (Riskesdas, Dinkes, 2010). Tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik, stunting juga menyebabkan kecerdasan anak menurun seiring pertumbuhan otak yang tidak berkembang sempurna.

Jika kecendrungan prevalensi stunting di Aceh tetap seperti saat ini apalagi terus bertambah, dapat dipastikan generasi Aceh masa depan adalah generasi yang bertubuh pendek dan tidak cerdas. Paneuk ngon bangai. Selain menyebabkan stunting, gizi buruk dan kurang gizi merupakan menyebab 45% kematian bayi di Aceh. Angka kematian bayi pada 2013 juga meningkat 5%, dari 985 pada 2012 menjadi 1.034 kematian. Tentu perih hati kita, membayangkan ratusan bayi meninggal karena mengalami gizi buruk atau kurang gizi. Terlebih mengingat itu terjadi di kampung kita sendiri, di tanah yang subur dan kaya raya.

Mencari sebab di balik angka-angka menggelisahkan di atas sudah diupayakan oleh pemerintah, praktisi, akademisi, LSM bahkan badan dunia seperti UNICEF. Tentu tidak dengan tujuan saling menyalahkan, namun untuk menjawab persoalan dan memperbaiki keadaan. Para pakar menjelaskan pentingnya asupan gizi seimbang yang akan menentukan tumbuh-kembang anak di masa yang akan datang. Kebutuhan ini dimulai sejak bayi masih berada dalam kandungan dan masa penting lima tahun pertama usia anak. Namun pada kenyataannya, asupan gizi ibu hamil terkadang sering tidak seimbang. Hal ini disebabkan oleh keadaan ekonomi dan juga masih minimnya pengetahuan tentang sumber makanan bergizi serta cara pengolahan makanan.

Terpengaruh mitos
Selain asupan gizi yang kurang memadai selama dalam kandungan, ada juga kenyataan lain yang perlu kita cermati. Konsultan senior UNICEF Syafiq Basri Assegaf menjelaskan, berdasarkan data penelitian 2011 hanya 56 persen ibu-ibu yang menyusui anaknya pada bulan pertama setelah melahirkan. Padahal air susu ibu (ASI) merupakan asupan gizi utama bagi bayi. Sangat disayangkan pula, karena tidak paham dan terpengaruh mitos, ada ibu yang membuang kolostrum pada saat awal menyusui. Sekali lagi, proses tumbuh-kembang anak terganggu.

Seiring pertumbuhan, bayi mulai diperkenalkan pada makanan pendamping secara bertahap. Mulai dari bubur halus kemudian berangsur-angsur tekstur makanan disesuaikan dengan pertumbuhan gigi masing-masing anak. Setelah dua tahun, biasanya anak dapat menikmati makanan seperti orang dewasa. Sepanjang proses ini, pola makan dan kebiasaan makan anak biasanya akan terbentuk. Pada saat ini pula sebagian ibu mengeluh bahwa anaknya susah makan, tidak mau makan sayur dan pilih-pilih makanan.

Bagaimana sebaiknya kita membentuk pola makan dan kebiasaan makan yang sehat bagi anak kita? Langkah pertama yang cukup sulit adalah menjadi teladan yang positif. Suatu hari dalam perbincangan santai dengan beberapa kerabat, kami bertanya kepada anak-anak mengapa mereka suka makan sayur dan buah. Jawaban anak-anak memperkuat keyakinan bahwa dalam membentuk pola dan kebiasaan makan, mereka tidak hanya diberikan ilmu tapi juga contoh dalam keseharian.

Menurut anak-anak ini, kebiasaan mereka terbentuk karena mereka terbiasa melihat sayur dan buah tersaji di meja makan. Selain itu, mereka juga melihat ayah dan ibu setiap hari menikmati sayur dan buah saat makan bersama. Perpaduan kedua hal ini kemudian membentuk kebiasaan mereka. Seperti kata orang tua kita, adat lazem, kaem biasa (adat adalah kelaziman, kelaziman dibangun dengan kebiasaan).

Selain keteladanan yang positif, kita juga perlu memperhatikan beberapa hal lainnya yang akan mendukung anak membentuk pola dan kebiasaan makan yang sehat. Menurut pakar gizi Ellyn Satter, kita semestinya menghargai juga preferensi anak dalam memilih makanan. Kalau ada beberapa jenis makanan yang tidak disukai anak, ini sebenarnya adalah hal yang wajar. Namun jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa anak kita tidak menyukainya. Biasanya setelah 15 kali diperkenalkan pada makanan yang sama dengan berbagai cara, barulah kita bisa memastikan anak suka atau tidak.

Sekali lagi, perbedaan selera adalah hal biasa. Kita pun orang tua mereka, punya selera yang berbeda-beda. Pola dan kebiasaan makan yang sehat pada anak perlu menjadi perhatian kita sedini mungkin. Kebiasaan ini penting untuk proses tumbuh kembang mereka menjadi insan yang cerdas secara fisik dan mental. Langkah awal ini dimulai dari keluarga, dari kita orang tua mereka.

Kearifan lokal
Aceh tidak saja subur dan kaya akan hasil alamnya. Aceh juga kaya tradisi dan kearifan lokal. Tradisi dan nilai-nilai ini mungkin perlu kita kaji kembali, untuk membantu kita menjawab persoalan yang ada. Tulisan Bapak Mulyadi Nurdin, pengurus Majelis Adat Aceh (MAA) tentang perlakuan terhadap ibu dalam adat Aceh misalnya, sangat menarik untuk dicermati (mulyadinurdin.wordpress.com).

Adat kita menunjukkan perhatian yang besar pada kesehatan ibu dan anak. Berita kehamilan disambut dengan adat membawa buah-buahan untuk membuat lincah (rujak Aceh). Hal ini dilakukan karena dimaklumi ibu hamil biasanya mengalami masa mual pada tiga bulan kehamilan pertama. Buah adalah makanan segar yang kaya nutrisi dan membantu mengatasi masalah tersebut.

Tradisi di bulan kelima adalah adat tepung tawar (rhah ulee) calon ayah oleh ibundanya. Kemudian berlanjut dengan membawa nasi (bu cue) oleh keluarga suami untuk calon ibu. Pada bulan ketujuh, ada adat peumanoe tujoh buleun yaitu adat mandi bunga untuk ibu hamil. Adat ini diikuti oleh adat keumaweuh, yaitu adat membawa nasi dengan lauk lengkap oleh keluarga suami yang dinikmati bersama oleh ibu hamil, keluarga dan tetangga.

Halaman
12

Berita Terkini