Cerpen | Nazar Djeumpa
MATA Panglima Prang Tham Bue memerah bak biji saga. Berkacak pinggang. Nafasnya memburu karena murka. Pandangannya melesat jauh menembus awan yang mengapung di atas alun ombak Selat Malaka, membelakangi Keujruen Nanggroe Jeumpa yang bersimpuh. Kesangaran sang Keujruen tak mampu membendung tetes air matanya. Di belakangnya pula, Qadhi Deurih, Pang Amat, dan Pang Abah menahan luapan amarah. Tangan-tangan mereka mengepal dan gigi bergemeretak.
“Tak terkira mereka bermuslihat macam itu. Kupikir berniaga sahaja seperti biasa,” Keujruen Jeumpa kembali menyeka matanya dengan ujung ridak dan melanjutkan, “Begitulah, Panglima. Titah Diraja kami membebankan pada gata, Polem Manyak, Panglima Prang Tham Bue.”
“Jika sedari mulut kuala mereka berburuk perangai, kami dari tanjung ini dapat melihatnya. Pastilah kapal-kapal mereka telah karam dan bangkai-bangkai mereka telah musnah disantap ikan,” Pang Amat berujar sembari menunjuk teluk Kuala Jeumpa pada arah timur, yang samar tampak dari tanjung itu.
Qadhi Deurih menghela nafas panjang. Mendekati Panglima Prang Tham Bue, menyentuh pundaknya sembari berujar, “Polem Manyak, sepatutnya kita bersegera memburu mereka.”
Tanpa menoleh, dengan suara gemetar Panglima Prang Tham Bue bertitah, “Pang Abah, siapkan armada. Pang Amat, kumpulkan para askar dan pastikan persenjataan. Ba’da Zuhur kita berangkat.”
Panglima Prang Tham Bue berbalik dan berujar pada Qadhi Deurih, “Guree, kendalikan pasukan yang tidak berangkat. Kirimkan utusan untuk Diraja Pedir hingga Lamuri, khabari mereka. Sebelum kami kembali, pantau semua kapal-kapal musuh penyerang Nanggroe Jeumpa yang melintasi laut kita.”
***
Armada kapal perang itu perlahan meninggalkan pantai Teupin Jalo, berhaluan ke arah matahari terbit. Begitu banyak rakyat di kuala menyaksikan iringan ketujuh kapal besar yang memuat beratus askar laut terlatih. Helai kain merah beraksara arab dengan khat kufi maghribi dan pedang terhunus berwarna putih melambai pada pucuk setiap tiang-tiang layar.
Ini kibaran merah dengan pedang putih, bukan helai putih berpedang merah. Warna itu sudah cukup memberi peringatan kepada kapal-kapal musuh atau perompak, bahwa muhibah ini teramat penting kiranya. Armada perang! Jangan bercanda untuk merompak, sekadar mengusik saja bakal berbuah petaka.
Helai itu pula sebagai tanda bagi kapal-kapal perang sepersekutuan yang tak tersengaja bersua di laut untuk ikut bergabung dalam arak-arakan. Memperbanyak jumlah, memperbesar armada. Kelaziman semacam itu sangat ampuh untuk menggoyahkan persendian lutut musuh sehebat apa pun, tanpa perlu memeriamkan kapal-kapal mereka.
Memeriamkan musuh di tengah samudera sama saja dengan memaklumatkan perang. Dan perang tanpa bertongkatkan agama adalah konyol. Hal itu tidak perlu terjadi, tidak selaras dengan asas agama maupun etika kemaritiman.
Iring-iringan armada pelan membelah gelombang. Pada geladak kapal terdepan, Panglima Prang Tham Bue berkacak pinggang. Menatap lurus ke depan. Pang Amat mendekat sembari berdehem dan berkata, “Polem Manyak, sebaiknya kita merapat ke Peureulak dahulu. Mencukupi armada ini dengan dabeuh prang.”
“Apakah minyak-minyak kita tidak cukup?”
“Kita perlu tambahan, Polem. Bisa saja nanti kita berhadapan dengan begitu banyak musuh. Tidak akan mencukupi dabeuh prang kita. Nanggroe Jeumpa mengirim dua kapal yang tersisa. Pasee pun ikut menyertakan tiga kapalnya.”
“Ya, sepatutnya kita bersiap atas semua kemungkinan,” sahut Polem Manyak.