Aneh memang Kaoy, dia perimba sejati namun tidak percaya jampi penjinak harimau. Juga mengabaikan mantra perabun gajah. Pun demikian, perkara pagar mistik kini begitu diyakini. Sampai-sampai lima umpung miriek ikut diboyong dari kampung menempuh enam jam jalan kaki hingga sampai ke ladang di jantung Sumatera ini. Acuh tak acuh Manyak menyimak setiap kata-kata Kaoy perihal makhluk pujaannya itu. Manyak diam saja kala Kaoy mengasapinya dengan kemenyan. Mendekatkan mangkuk panas pada kedua telinga Manyak. Juga meletakkan sesaat dalam pangkuannya.
“Ini agar mereka menerima kamu juga sebagai tuannya,” Ujar Kaoy mencoba menghapus keraguan yang terlihat di wajah Manyak.
***
Sekawanan cempala riuh bersenda. Memperebutkan cacing-cacing kecil di antara sela pangkal-pangkal batang kayu. Sementara yang lain bercericit riuh pada dedahanan, bernyanyi riang menyambut pagi. Sama seperti kebahagiaan Kaoy yang bukan kepalang, sembari menggunting pucuk-pucuk bersiul-siul saja mengikuti naik turun irama nyanyian burung-burung itu.
Selama di sini, dengan bertemankan secawan kopi, saban pagi sebelum matahari meninggi Manyak meluangkan masa untuk duduk bersandarkan batu cadas pada puncak bukit, bagian teratas ladang mereka. Menikmati indahnya pemandangan. Juga demi meliarkan rindu pada Yani. Kiranya jua, menanti semilir angin yang mengangkut titipan pesan dari sang kekasih. Menyapu pandangan menuruni lembah-lembah. Memandang perkampungan yang tertutup pepohonan nun pada ujung pandangnya, samar di kejauhan sebelah utara.
“Ah, Yani, dirimu di sana, ingatkah dikau akan daku di belantara ini sedang berjuang memungut jumput-jumput mahar?” gumam Manyak. Tampak samar bentang persawahan di antara payung awan. Panen telah usai. Mereka telah tuntas menuai. Gulungan-gulungan asap mengudara dari tumpukan jerami yang sengaja dibakar. Mereka mempersiapkan sawah untuk turun tanam kembali, bersegera sebelum bulan puasa ini.
Pada tengah-tengah kerimbunan perkampungan terlihat kepulan asap tebal menggulung. Ah, itu rasanya bukanlah jerami terlumat. Kepul semakin menebal, berlidah api juga. Itu di pemukiman! bukan di bentangan sawah. Manyak begitu tersentak. Berdiri terpaku. Mendelikkan mata seksama memperhatikan kepulan asap yang menggulung.
“Yani!” Manyak berseru panik. Segera ia berlari turun menyusur batang-batang yang berjajar rapi. Lalu sekerasnya meneriaki, “Lekaslah, kita harus turun tengah hari ini juga!”
“Kamu jangan mengigau,” Kaoy menyahut sembari berkacak pinggang.
“Tidak ada waktu menjelaskan. Percaya saja pada kata-kataku.”
“Kamu jangan mengacau,” suara Kaoy meninggi.
“Manyang Mirah telah membisikiku. Bukan hanya membisiki. Malah paridon berulang kali meneriaki,” sahut Manyak di antara lenguhan.
“Hah?” Kaoy tersentak kala Manyak menyebut Manyang Mirah mengirim pesan untuk segera lari.
“Kita hanya memiliki waktu tiga jam memungut panenan, tiga jam lagi untuk kabur,” ujar Manyak bergegas mengarungkan potongan-potongan pucuk setengah hasta sebelum mengering yang terserak di setiap pangkal batang.
Sumpah serapah berhamburan dari mulut Kaoy. Mengutuk penuh amarah sembari menggelindingkan karung-karung hingga membentur batu-batu pinggiran sungai. Manyak menyusunnya ke atas bilah bambu terangkai sebagai rakit. Sungai itu bersimpang dua. Jalur kiri tembus membelah kampung mereka. Jalanan setapaknya kerap digunakan para pencari damar, rotan dan pemburu rusa. Jalur satunya lagi diapit tebing-tebing terjal. Mereka berhaluan ke kanan.