Kaoy berdiri di depan, dengan tonggak panjang perlahan meliuk-liukkan rakit agar tidak membentur batu-batu besar sepanjang alur sungai. Dengan tongkat panjang pula Manyak menyeimbangkan liukan dari belakang.
***
“Terima kasih Yani, kamu telah membantuku mengumpulkan mahar,” ujar Manyak.
“Itu karena aku tidak mau Abang ditangkap. Seperti janjiku, jika melihat kobaran api, bermakna pertanda bahaya. Kubakar saja beurandang si Seuhak Burong pada rumpun bambu besar itu,” ujar Yani datar tanpa beban. Sesaat Manyak mengulum senyum. Lalu Yani kembali berkata, “Aku sudah tunaikan janjiku. Sekarang giliran Abang. Kapan? Kapan?”
“Ini mahar dapat terbeli disebabkan dirimu, Manyang Mirahku,” ujar Manyak nakal. Lantas memperlihatkan keratan kalung, anting dan gelang emas. Wajah Yani memerah, tersipu malu. Manyak meringis. Karena sebuah cubitan baru saja mendarat di pinggangnya.
“Ooo, jadi kamu rupanya yang membakar rumpun bambu tatkala mobil-mobil mereka memasuki perkampungan!” Manyak dan Yani terkejut dengan mulut menganga. Mereka berpaling melongok ke belakang. Kak Sodah yang berujar. Kaoy tersenyum-senyum. Berdiri saja menyilangkan kedua lengan di dada, sementara istri mudanya itu yang bergelayut manja.
* Bireuen, Mei 2015.