Guru Aceh dan Tangisan Anak-anak Suku Dayak

Penulis: Muhammad Hadi
Editor: Amirullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Muzakir SPd berfoto bersama anak-anak suku Dayak

Di SD itu hanya ada dua guru PNS, satu CPNS, dan lainnya guru honor yang hanya lulusan SMA dengan jumlah murid dari kelas I-V ada 80 murid.

Pengabdiannya sudah berakhir sehingga harus kembali ke Aceh. Untuk persiapan tahap selanjutnya Pendidikan Profesi Guru (PPG). Nantinya lanjutan dari program SM3T untuk setahun lagi menjadi guru profesional.

“Kami tunggu kapan pendaftaran ulang untuk PPG dari Dikti. Setelah itu kami dikuliahkan oleh Dikti selama setahun lagi,” ujarnya.

Selama di sana, Muzakkir tinggal di kantor sekolah yang bersebelahan dengan kuburan massal warga sekitar.

Warga kampung memberinya beras, makan, dan kebutuhan lain sehari-hari. Mereka melarang Muzakkir membeli dari kedai yang ada di kampung itu.

Jika hari Jumat tiba, warga Suku Dayak selalu menanyakan bagaimana caranya Muzakkir bisa pergi shalat Jumat. Kadang Muzakkir pergi dengan menumpang sepeda motor kepala sekolah.

Lain kali, ia diantar warga Suku Dayak menuju satu mesjid kecil berjarak sekitar 8 Km di pusat kota Kecamatan Meranti yang didiami sebagian warga muslim Melayu.

“Kepedulian mereka terhadap perbedaan agama sangat kuat. Walaupun saya hidup di desa mayoritas nonmuslim. Tapi toleransi beragama sangat mereka hargai,” ujarnya.

Awal kisah Muzakkir berada di pendalaman Kalbar ini saat bergabung dalam program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertingggal (SM-3T) Angkatan IV tahun 2014/2015.

Ini adalah Program Dikti langsung dan di Aceh diselenggarakan oleh LPTK Universitas Syiah Kuala. Ada 82 guru dari Aceh yang dibagi dua, 41 orang ke Provinsi Kalimantan Barat, dan 41 orang ke Kepulauan Riau.

Mereka yang bertugas di Kalimantan Barat akan berkumpul di ibu kota Pontianak pada 23 Agustus dan akan dijemput oleh Dekan FKIP Unsyiah.

“Kebetulan saya sendiri yang ditugaskan di SD Negeri 10 Moro Behe 1. Saya mengajar pelajaran Penjas, kadang semua pelajaran harus diajarkan. Karena kekurangan guru IPA, IPS, PKN, Matematika, Kesenian, dan muatan lokal,” ujarnya.

Muzakkir mengaku menjadi lebih dewasa dalam berbagai hal. Karena hidup di daerah orang, apalagi banyak anak-anak Dayak di pedalaman Indonesia yang butuh pendidikan layak, agar lebih memperkuat keutuhan NKRI.

Di pedalaman kampung itu, Muzakkir mendapati kesederhanaan, kebersahajaan warganya. Ia tak akan pernah lupa bagaimana anak-anak SD di kampung begitu hormat dan menghargai guru di sekolah.

“Apa yang saya alami setahun bersama guru, warga desa di sini, anak-anak yang polos. Mungkin tidak akan pernah bisa saya lupakan seumur hidup,” ujarnya.(muhammad hadi)

Berita Terkini