Refleksi 10 Tahun Damai Aceh

Cerita di Balik Perundingan GAM-RI di Helsinki

Penulis: Muslim Arsani
Editor: Faisal Zamzami
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Juru Runding Pemerintah RI, Hamid Awaluddin dan Ketua Juru Runding GAM, Malik Mahmud bersalaman ditengah mediator perundingan Martti Ahtisaari seusai menandatangani MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia.

Salju terlihat menebal di atap Mansion, pucuk-pucuk pepohonan dan permukaan taman. Hamid menggigil kedinginan. Ia lupa membawa mantel yang tersampir di ruang depan Mansion. Melihat itu, Malik Mahmud yang berbadan tinggi merentang tangan dan merangkul pundaknya. Malik Mahmud tergugah oleh keindahan luruhan salju di sekitar mereka. Rasa harunya bangkit. Ia berbicara lirih setengah berbisik:

"Pak Hamid, saya sangat merindukan sanak famili saya di Aceh. Saya juga sangat ingin berdiri di pantai Aceh melihat perahu Bugis berlayar. Saya mencintai perahu Bugis. Dulu, orang tua saya di Singapura, memiliki perahu Bugis untuk mengantar barang niaga. Setiap sore saya naik perahu itu, ikut makan siang bersama awak perahu asal tanah Bugis," ungkap Malik Mahmud, seperti membangkitkan keping-keping masa silamnya.

Zaini Abdullah menimpali, "Saya juga ingin sekali menikmati gulai kambing ala Aceh." Mendadak keharuan menyelimuti ketiganya. Ucapan itu seperti tertelan semilir angin yang menyusuri permukaan kali dalam kompleks Mansion, tempat perundingan berlangsung. Tapi maknanya menghujam di hati Hamid Awaluddin.

Hamid hanya bisa menjawab, "Insya Allah Teungku. Semua akan kita wujudkan dalam waktu dekat. We will make it, Tengku. We will make it," gumam Hamid. Ketiganya berangkulan di tengah hamparan salju yang jatuh menutupi jalan-jalan di Kota Helsinki.

* * *
Putaran kedua perundingan mulai menyentuh subtansi. Kedua pihak membicarakan tentang Otonomi Khusus, konsep Pemerintahan Sendiri (Self Government), amnesti dan HAM. Namun antara para pihak masih terjadi perbedaan pandangan tentang kosep Self Government yang diajukan GAM. Perbedaan pandangan itu berlanjut ke putaran ketiga.

Pembicaraan kali ini telah menyentuh subtansi persoalan. Sebagai contoh GAM sudah menanggapi dan mengajukan usul konkret tentang apa yang mereka kehendaki. Termasuk tuntutan GAM untuk membuat hukum baru di Aceh. Mereka menghendaki adanya perubahan total undang-undang yang mengatur tentang Aceh. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya delegasi Indonesia yang diwakili Hamid Awaluddin mempersilakan Nurdin Abdurrahman merincikan daftar keinginan GAM. "Alhamdulillah Nurdin memang datang dengan daftar yang detail," ujar Hamid.

Partai politik lokal
Penghujung Mei 2006. Musim dingin di Eropa telah berlalu. Penduduk Kota Helsinki, Finlandia menyambut musim semi yang indah. Bunga-bunga bakung (lily) di tepian danau Vantaa bermekaran, pohon-pohon birch menjulang dan tidak lagi meranggas. Angsa-angsa berenang di telaga mengepak sayap menimbulkan keciprak air.

Di tengah alam Helsinki nan permai itu, kedua delegasi datang dengan optimisme yang tinggi. Seperti putaran ketiga, pada putaran keempat perundingan, kedua pihak lebih banyak berhadapan langsung tanpa mediasi Martti Ahtisaari. Sementara nun jauh di sana, Indonesia, suara gemuruh dan sumbang gencar ditiupkan media massa dan politisi di DPR RI. Ada yang pro ada yang kontra, ada pula yang memandang sinis kapasitas para juru runding yang dinilai tidak memiliki ‘cukup syarat’ mewakili pemerintah dalam perundingan. Selebihnya adalah suara kritis tentang keinginan GAM yang menuntut mendirikan partai politik lokal di Aceh.

Delegasi pemerintah berada dalam posisi sulit, karena keinginan GAM mendirikan partai politik lokal bertentangan dengan UUD 1945. Hamid lalu menelpon Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. Bagir mengatakan, "Tidak ada larangan secara eksplisit dalam konstitusi kita. Yang jadi soal hanyalah sensitivitas politik, yang bisa kemana-mana." Bagir Manan memberi secercah harapan kepada delegasi Indonesia. "Hati saya pun tidak gundah lagi. Setidaknya dari perspektif legal, saya tidak ada keraguan," tutur Hamid.

Isu parlok tersebut juga disampaikan Hamid kepada Jusuf Kalla lewat telepon. Respon JK sangat positif. "Segala yang bisa kamu lakukan, jalankan saja, selama tidak melanggar konstitusi. Yang penting bagaimana saudara-saudaramu di Aceh berhenti berkelahi," kata Wapres.

Setelah itu, Hamid menyampaikan ikhwal itu kepada Ahtisaari dan ia langsung menyambut baik. Ahtisaari pun meminta pertemuan segitiga; Hamid Awaluddin (Pemerintah RI), Malik Mahmud, Zaini Abdullah (GAM) dan dirinya. Ahtisaari cenderung mendukung ide parlok yang digagas GAM. "GAM tidak menghendaki kendaraan (politik) lain kok. GAM juga tidak tertarik dengan urusan politik tingkat nasional. Ini perlu sekali dipikirkan," ucap Ahtisaari. Hamid lalu mengusulkan agar GAM mengajukan judicial review UU Partai Politik. Tapi belakangan GAM kehilangan gairah untuk menempuah judicial review ke MK.

Hal lain yang menonjol dalam perundingan putaran ketiga ini adalah untuk pertama kalinya Pieter Feith dari Uni Eropa datang ke meja perundingan, yang belakangan mengetuai lembaga independen Aceh Monitoring Mission (AMM) . AMM adalah lembaga yang memantau misi perdamaian di Aceh pasca MoU Helsinki di teken. Lembaga ini bertugas di Aceh sejak September 2005-Desember 2006.

Putaran akhir
Pertengahan Juli 2005. Putaran kelima perundingan adalah amat menentukan dan dinanti. Betapa tidak, dalam putaran terakhir dialog damai inilah draf MoU antara pemerintah Indonesia dan GAM akan diparaf kedua pihak.

Tapi satu yang masih mengganjal. Pemerintah Indonesia belum mengambil keputusan kongkret tentang tuntutan GAM mendirikan partai politik lokal di Aceh menjadi klausul dalam MoU. Bagi Ahtisaari parlok bukan hanya menyangkut identitas, tapi juga harga diri. Ia berada dalam posisi mendukung ide itu.

"Coba Anda masukkan kaki Anda pada sepatu GAM dan rasakan bagaimana itu. Jangan Anda masukkan kaki di sepatu Anda sendiri," ujar Ahtisaari. Dalam suasana yang mendebarkan itu, Hamid bersama Sofyan Jalil berkonsultasi dengan Jakarta.

Halaman
123
Tags:

Berita Terkini