Cerpen

Lapar

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

“Aku akan mencoba menemui bang Bakar, mudah-mudahan ia bisa menolong.”

Rapiah memandangi punggung Banam yang menjauh, ia memindahkan periuk besi yang menghitam pada tungku tanah. Telah berminggu-minggu tungku hitam itu membeku. Bantuan masa gawat darurat bencana dari pemerintah berupa beberapa sak beras, mie instan, sarden dan air mineral telah lama habis.

Malam kian larut, anak-anak kelaparan itu akhirnya tanpa sadar telah tertidur karena terlalu lama menunggu. Rapiah mematikan perapian pada tungku tanah yang menghitam. Gemeretak batu pada periuk tembaga itupun berhenti dan hanya menyisakan aroma asap. Ia mengelus rambut Amin dan Resti dengan hati-hati. Kini tubuh anak itu begitu kurus, serupa kulit pembungkus tulang.

***

Menjelang fajar, Rapiah terbangun. Dalam remang, tangannya meraba-raba satu persatu anaknya. Kecemasan luar biasa mencekam hatinya saat ia merasai tubuh Amin. Tubuhnya begitu dingin. Berulang kali Rapiah menggoyang tubuh anak lelakinya itu. Tapi lelaki kecil itu hanya diam tak bergerak.

Rapiah menjerit dan melompat sembari menggendong Amin. Jeritannya membangunkan orang-orang di sekelilingnya. Tak reda ia memanggil-manggil nama anaknya. Menepuk-nepuk punggungnya berharap ia hanya tidur terlalu lelap. Dengan kepedihan yang dalam ia memeluk Amin. Air mata tak berhenti membasahi pipinya. Sedangkan di ujung jalan, Banam tengah bergegas pulang. Langkahnya ringan dan senyumnya merekah dengan sebungkus plastik hitam berisi makanan di dalamnya.

*Vera Hastuti, seorang guru di SMAN 1 Takengon 

Berita Terkini