Karya Harun Keuchik Leumiek
TAHUN ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia menetapkan lima jenis bentuk karya seni tradisional Aceh tak benda menjadi warisan budaya Indonesia. Kelima bentuk karya seni tradisional Aceh yang ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia itu adalah Tari Dampeng (Aceh Singkil), Tari Bines (Gayo Lues), Tari Rapai Geleng (Aceh Barat Daya), Tari Rabbani Wahid (Bireuen), dan perhiasan Pinto Aceh (pintu Aceh). Penulis akan menguraikan sedikit bagaimana sejarah awal munculnya perhiasan Pinto Aceh dan siapa yang mula-mula menciptakan perhiasan ini.
Perhiasan Pinto Aceh adalah satu perhiasan tradisional Aceh yang sangat terkenal, tak hanya di Aceh, tapi juga sudah sangat masyur di pasaran perhiasan nasional dan mancanegara. Dari 250 lebih jenis perhiasan tradisional Aceh, perhiasan Pinto Aceh sampai saat ini masih menjadi perhiasan yang paling diminati oleh para pemburu perhiasan di pasaran perhiasan nasional. Pinto Aceh adalah perhiasan favorit bagi masyarakat di Nusantara.
Perhiasan Pinto Aceh pertama sekali diciptakan pada 1935. Sejak saat itu, perhiasan Pinto Aceh terus menjadi perhiasan yang sangat populer dan paling diminati, tidak hanya oleh kaum perempuan di Aceh, melainkan juga oleh perempuan di luar Aceh. Kini, sebagian besar pelancong yang yang berkunjung ke Aceh --seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam - jika ingin membeli perhiasan khas Aceh, bisa dipastikan yang dicari adalah perhiasan bermotif Pinto Aceh sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke negerinya.
Itu sebabnya, hingga sekarang Pinto Aceh masih terus ditempa, dengan motif yang semakin halus dan indah, dibandingkan perhiasan Pinto Aceh produksi era 1960-an hingga 1980-an.
Dan ini bukan berarti bahwa perhiasan-perhiasan tradisional Aceh lainnya tidak mendapat perhatian di pasar perhiasan. Selain Pinto Aceh, perhiasan tradisional Aceh lain yang tak kalah indahnya adalah boh dokma, bieng meuh, talo gulee, manek krawang.
Sayangnya, perhiasan-perhiasan ini sudah sangat langka dan nyaris tidak dikenali lagi oleh orang Aceh sendiri. Hal ini disebabkan oleh surutnya ketrampilan seni tempa emas Aceh dan kurang mahirnya tukang-tukang emas generasi sekarang dalam membuat corak tersebut.
Kalau pun perhiasan-perhiasan tradisional ini masih terlihat, itu adalah warisan peninggalan lama yang mungkin sengaja dikoleksi dan lumayan langka ditemukan di pasaran. Jenis perhiasan langka ini dapat ditemukan di museum atau di galeri para kolektor barang antik, ataupun pada orang-orang tertentu di Aceh yang masih menyimpannya sebagai warisan benda pusaka.
Pada awalnya motif perhiasan Pinto Aceh hanya diciptakan untuk bros jenis perhiasan dada kaum perempuan. Akan tetapi, dalam perkembangannya motif Pinto Aceh terus dikembangkan dalam beberapa jenis perhiasan lainnya. Seperti tusuk sanggul, gelang, subang, cincin, ataupun untuk peniti baju kebaya. Bahkan kemudian motif Pinto Aceh ini juga dikembangkan untuk perhiasan emas kaum pria berupa jepitan dasi.
Perhiasan motif Pinto Aceh pada dasarnya terilhamidari desain sebuah monumen peninggalan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Pinto Khop, pintu Taman Ghairah atau Bustanussalatin yang merupakan taman Istana Kesultanan Aceh Darussalam. Menurut riwayat, pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, Pinto Khop ini adalah pintu belakang Keraton Aceh yang dikhususkan untuk pintu keluar masuknya permaisuri Sultan Iskandar Muda beserta dayang-dayangnya. Apabila sang permaisuri menuju ke tepian Krueng Daroy untuk bermandian senantiasa lewat Pinto Khop ini. Sekarang sebagian kecil Taman Ghairah tersebut sudah dipugar dan dikenal dengan Taman Putroe Phang, nama permaisuri Sultan Iskandar Muda yang berasal dari Pahang, Malaysia.
Utoh bersertifikat
Sebenarnya perhiasan motif Pinto Aceh sudah muncul pada 1926, ketika pemerintah kolonial Belanda di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) menyelenggarakan satteling (pasar malam) terbesar yang digelar di Esplanade (lapangan Blang Padang). Di pasar malam tersebut pihak Belanda memberi kesempatan kepada para pengrajin emas dan perak untuk membuka stand-nya, guna memamerkan hasil kerajinan serta karya keterampilan tangan mereka.
Setelah pasar malam itu selesai, seorang perajin emas dan perak bernama Mahmud Ibrahim (Utoh Mud), penduduk Blang Oi, mendapat sertifikat dari panitia satteling. Karena kemahiran dan keterampilannya dalam seni tempa emas, para pejabat Belanda dan keluarga mereka sering memesan atau membeli berbagai jenis perhiasan tradisional Aceh pada Utoh Mud.
Kala itu, Utoh Mud bisa ditemui di pusat usaha kerajinan perhiasan, di Jalan Bakongan, Kutaraja. Bangunan tersebut kemudian dibongkar untuk perluasan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Sebagai seorang pengrajin perhiasan emas, Utoh Mud yang mengantongi sertifikat bergengsi dari pemerintah Belanda itu, pada 1935 menciptakan sebuah perhiasan baru, yaitu Pinto Aceh yang motifnya diambil dari bangunan Pinto Khop sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Pada saat itu Utoh Mud hanya membuat satu jenis perhiasan saja berupa perhiasan bros, perhiasan yang sebelumnya memang sudah ada di antara jenis-jenis perhiasan emas tradisional Aceh selain motif Pinto Aceh.
Bros Pinto Aceh yang meniru Pinto Khop, bentuknya agak ramping dengan jeruji-jerujinya yang dihiasi motif suluran daun, ditambah lagi dengan rumbai-rumbai sebagai pelengkap pada kedua sisi perhiasan.
Bahan baku pembuatan perhiasan Pinto Aceh masih tetap menggunakan emas berkadar 18-22 karat agar lebih kokoh. Sebab, bila perhiasan Pinto Aceh ini dibuat dengan bahan emas murni 24 karat, ia akan mudah terlipat-lipat, baik ketika membuatnya ataupun saat memakainya karena ia tidak bercampur dengan jenis logam lain.
Setelah Utoh Mud meninggal dalam usia 80 tahun, keterampilan khusus pembuatan perhiasan Pinto Aceh dilanjutkan oleh seorang muridnya bernama M Nur (biasa dipanggil Cut Nu), yang juga penduduk Blang Oi. Sampai akhir hayatnya pada 1985 dalam usia 80 tahun, Cut Nu bekerja di toko emas milik H Keuchik Leumiek yang membina kelanjutan seni membuat Pinto Aceh. Setelah Cut Nu meninggal dunia, keterampilan ini dilanjutkan oleh seorang perajin Keuchik Muhammad Saman.
Ketrampilan ini kemudian diteruskan oleh seorang putra Aceh lainnya, yang mungkin paling tidak pernah berguru pada Cut Nu, yaitu Haji Keuchik Leumiek (orang tua penulis) penduduk Lamseupeung, Banda Aceh. Di samping pengrajin perhiasan emas, H. Keuchik Leumiek juga memiliki toko emas sejak 1950-an. Setelah H Keuchik Leumiek meninggal pada 1982, keterampilan membuat perhiasan Pinto Aceh diteruskan oleh anaknya, H. Harun Keuchik Leumiek (penulis sendiri) dan cucunya H. Muhammad Kamaruzzaman (anak dari penulis) yang akrab dipanggil Memed.
Hingga saat ini penulis terus mempelajari seluk-beluk perhiasan tradisional Aceh tempo doeloe yang sebagian besar dari perhiasan itu menjadi koleksi dalam museum pribadi penulis, sebagai upaya penyelamatan benda-benda warisan budaya pusaka Aceh.
* Harun Keuchik Leumiek, kolektor benda-benda budaya peninggalan sejarah Aceh, berdomisili di Banda Aceh.