Oleh: Dr. Muhammad Nasir*)
DALAM perdebatan publik mengenai keadilan fiskal, muncul wacana yang menimbulkan kontroversi: pajak dianggap setara dengan zakat.
Bagi sebagian pihak, klaim ini terlihat progresif, bahkan visioner, sebagai upaya menyelaraskan kewajiban agama dengan kewajiban negara.
Namun, dari perspektif syariat, pertanyaan mendasar muncul: apakah pajak dapat disetarakan dengan zakat yang bersumber dari wahyu?
Ataukah pernyataan ini justru mengaburkan hakikat ibadah Islam yang paling fundamental?
Pertanyaan ini bukan semata akademis. Ia menyentuh inti hubungan antara agama, negara, dan masyarakat.
Pajak diperlukan untuk membiayai pembangunan, sedangkan zakat adalah ibadah transendental yang menata hati sekaligus struktur sosial.
Keduanya memiliki tujuan sosial yang sejalan, namun berdiri pada prinsip yang berbeda: zakat adalah kewajiban ilahi, pajak merupakan kewajiban sipil.
Baca juga: Tarif Pajak Jadi Sorotan, Kemenkeu Tegaskan tak Ada Perubahan Kebijakan PPN
Zakat: Ibadah Sakral dan Instrumen Keadilan Sosial
Zakat bukan sekadar pungutan harta, melainkan rukun Islam yang tata caranya diatur oleh wahyu.
Nisab, haul, dan delapan golongan penerima (asnaf) menjadi parameter yang jelas dalam Al-Qur’an.
Ia membersihkan harta, menenangkan jiwa, dan memperkuat ikatan vertikal antara manusia dan Tuhan, sekaligus membangun solidaritas horizontal antar sesama.
Ulama terkemuka, termasuk Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah az-Zuhaili, menegaskan bahwa zakat tidak dapat digantikan oleh instrumen buatan manusia.
Pajak bisa berfungsi tambahan bila zakat tidak mencukupi, tetapi tidak bisa meniadakan hakikat ibadah.
Zakat mengatur distribusi kekayaan, membatasi keserakahan, dan menumbuhkan empati, sekaligus membentuk moral sosial.
Pajak: Instrumen Fiskal Negara