Cerpen

Pohon Hasan

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sedangkan anak-anak seperti kami, dengan tubuh mungil, sebisa mungkin merenggangi celah di antara kaki panjang orang dewasa, atau sekedar mengintip cara bertutur, seni berdagang orang-orang yang punya sejuta kalimat alternatif, yang ujung-ujungnya supaya dagangannya laku!

Mengenangnya saja bagiku sudah cukup menghibur. Sekalian dengan kenangan itu, aku pun diingatkan bahwa tak ada jalan kembali, selain meretas yang silam dalam ingatan. Sepulang dari pasar, kami akan membawa berbagai hal yang bisa kami beli, bermodalkan jajan atau sisa jajan kemarin yang sudah bertambah dengan jajan hari ini. Ada yang membawa pulpen dengan gambar menarik—yang kemudian dianggap sudah dibumbui dengan bahan narkotik.

Sedangkan aku, jarang membeli hal-hal semacam itu. Aku terbiasa membeli mie caluek Kak Yam. Aku tidak mampu meraba dalam ingatanku tentang ketepatan tanggal, barangkali hanya tahun. Pohon hasan, satu-satunya pohon yang tumbuh dihalaman yang luas agak ke kiri dari panggung tempat kami bermain galah. Pohon itu cukup rindang dan besar. Butuh sekitar enam atau tujuh lengan orang dewasa untuk bisa memeluk pohon itu. Dahan-dahannya yang besar mampu menghalau pendaran cahaya matahari di hampir seluruh permukaan lapangan.

Di bawah pohon itu, kami sering melepas canda tawa. Menyantap mie caluek atau memamerkan aneka benda menarik. Tak jarang pula pohon itu adi tempat bagi teman-teman atau senior mencantumkan tulisan asal-asalan.Misalnya, Mirna yang disertai lambang love disanding dengan nama Iqbal; meski kadang-kadang yang menulis bukanlah yang punya nama. terlihat juga bentuk serupa cakaran akibat keisengan orang yang tidak bertanggung jawab. Seolah pohon hasan menjadi dinding curahan perasaan atau amuk mereka yang putus asa. Lainnya adalah hiasan tak layak, menjelma dalam kebutaan fantasi anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa.

Teman-teman yang lincah akan berjinjing di dahan dan sebentuk akarakaran untuk memanjat hingga ke dahannya yang lebih besar. Aku tidak ernah memanjat pohon itu, teringat cerita beberapa teman kalau di tengahtengah pohon itu, ada lubang tempat ular bersarang. Lubang itu barangkali dengan gampang menjelaskan: pohon hasan itu memang besar, namun tidak sekokoh yang dibayangkan.

Di musim yang aku tidak tahunamanya, putik-putik kuning akan berjatuhan, seolah salju di negeri empat musim. Indah sekali! Hingga lapangan yang luas kehijauan jadi menguning, kuning-kuning kehijauan. Sensasi putik-putik kuning yang luruh membuat kami sering berandai-andai, membuka ancing baju, dibantu angin yang akan menggerakkan kemeja putih kami yang tidak terkancing. Putikputik kuning itu jatuh seperti dalam adegan film India, lalu kami berputarputar menyambutnya.

Alangkah senangnya! elihat kembali pohon hasan itu dalam ingatan, aku membayangkan Taman Nasional Sequoia di California yang dipenuhi pohon-pohon raksasa. Dulu, saat panggung di depan gedung serbaguna itu di puncak kejayaannya, ada ragam pementasan: mulai dari konser, penampilanpenampilan spektakuler hingga tempat upacara. Pohon hasan itu cukup membantu dan menjadi tempat favorit remaja atau orang-orang dewasa agar bisa menonton pertunjukan di panggung secara leluasa.

Namun yang membuatku sering bertanya-tanya, kenapa pula pohon itu dinamakan seperti nama manusia, Hasan! Aku tak sempat mendapatkan jawaban itu, hingga suatu ketika, saat pulang ke kampung, aku tak lagi melihat pohon hasan di tengah halaman gedung serbaguna yang luas itu. Di atas jejak pohon hasan itu sudah dibentuk semacam undakan dengan patung seekor gajah yang mengangkat kedua kakinya dan mulut yang seolah sedang meniup sebuah sirene. Sesaat aku berpikir, ‘oh barangkali sang penguasa menebang pohon hasan untuk mengembalikan lambang gajah pada kota ini.’

Namun beberapa bulan kemudian, anggapanku itu keliru. Ketika aku kembali dengan wajah cerah, setelah merantau sekian tahun, aku menemukan lahan di depan gedung serbaguna itu sudah rata. Pohon hasan telah lama ditebang, barangkali karena sewaktu-waktu dahannya yang rapuh bisa enimpa orang yang berdiri di bawahnya, lalu untuk mudahnya diganti dengan patung gajah.

Namun yang tersisa alam pandanganku kali ini adalah kecerobohan. Kecerobohan yang barangkali tidak termaafkan. Tak ada lagi pohon hasan, tak ada lagi patung gajah. Lantas, aku hanya bisa berpendapat, ‘O, barangkali sang penguasa tak memerlukan lagi jasa gajah, hingga lambang itu dihancurkan pula; dan jelas pula tak memerlukan kerindangan pohon hasan. Yang jelas, ingatan tentang kenangan itu tak akan mampu dibebat.’ Sembari berkelana sesaat ke masa lalu, mataku masih menghujam pada catatan kecil milik Hayyan, “Sekiranya itu tidak perlu, saya tidak akan mengenangnya.” Banda Aceh, Januari 2016

* Ikhsan Hasbi, Pernah Bergiat di Sanggar Seni Seulaweuet.

Berita Terkini