Cerpen

Lelaki Tua yang Menyimpan Luka di Tangan

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

“Ya.”

“Kita lempar lagi pancing abu,”

“Ya, lemparkan. Biar dapat yang lebih besar.”

Dan menjelang magrib mereka pulang. Hanya satu ikan yang dia tenteng pulang. Hari ini mungkin bukan hari keberuntungannya. Di atas kepala mereka langit agak sedikit gelap. Perlahan suara azan magrib mulai terdengar dari meunasah kampung Cot Jeumpa. Dalam perjalanan pulang anak-anak mengikutinya dari belakang. Dan anak-anak yang mengikuti dari belakang itu selalu memperhatikan ayunan tangannnya yang tak seimbang. Ada yang pincang karena tangan kirinya buntung. Angin laut mulai agak kencang bertiup.

Dan dia tahu anak-anak itu memperhatikan tangannya itu. Dia tidak marah. Dia tetap melemparkan senyum pada mereka. Tetapi di dalam hatinya, setiap anak-anak memperhatikan tangannya itu, rasa sedih muncul selalu. Dan kenangan itu, kenangan tahun 1955 itu seperti mata pisau yang mengiris sikunya yang buntung. Terasa pedih di hati.

Pada masa itu usianya sekitar enam tahun. Kampung-kampung masih disesaki semak-semak belukar. Belanda sudah angkat kaki dari tanah leluhurnya beberapa tahun yang lalu. Namun keamanan tidak pernah ada. Perlawanan orang kampung kali ini pada pemerintah Jakarta.

Suatu hari sebuah truk tentara yang membawa drum-drum minyak melintasi Cot Pulot. Pawang Leman seorang pimpinan tentara Darul Islam bersama beberapa anak buahnya menghadang truk militer itu. Mereka menembakinya membabi buta. Diakhir cerita truk itu terbakar. Semua prajurit Batalyon B anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib ikut tewas. Lalu begitu cepat kabar itu sampai ke kampungnya. Dia ingat dengan langkah tergopoh-gopoh kakak laki-lakinya memberitahukan berita itupada Abinya.

“Benar Abi, Pawang Leman dan pasukannya telah menghancurkan tentara Pancasila. Bagaimana ini Abi. Kampung kita nanti pasti akan digeledah.”

Ada raut kecemasan di wajah Abinya.

“Tidak apa-apa anak-anakku. Kita tidak terlibat dalam kasus ini. Lagian di kampung kitakan tidak ada yang bergabung dengan pasukan Darul Islam.”

“Tapi Abi.”

“Sssst. Diamlah. Pergi tidur sana,” kata Abinya seperti menghalau mereka ke kamar tidur.

Di dalam kamar mata kakaknya menatapnya dengan tajam. Ada kecemasan yang berputar-putar di sana. Selebihnya dari tatapan mata itu dia ingat ibunya yang telah meninggal dua tahun yang silam karena penyakit kolera.

Esoknya ia kembali mendengar kabar dari kakak laki-lakinya itu.

“Abi, Tentara Pancasila telah menembaki para petani Cot Pulot.”

Halaman
123

Berita Terkini