Cerpen

Lelaki Tua yang Menyimpan Luka di Tangan

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

“Dari mana kau dapat kabar, Ibrahim?”

“Dari Teungku Mudin.”

“Lebih sepuluh orang mati ditembak, Abi.”

Lalu ketakutan melanda seisi kampung. Dan begitu saja kampung mereka dipenuhi oleh orang-orang berwajah takut dan murung.

Sampai hari ini dia masih begitu jelas membayangkan wajah ketakutan Abinya itu. Dan dia juga masih begitu terang benderang mengenang wajah pucat kakak laki-lakinya yang berusia dua puluh tahun saat itu.

Malam harinya mereka sekeluarga tidak bisa tidur. Mungkin juga keluarga-keluarga lainnya di kampung itu. Tindakan penembakan terhadap warga yang tidak berdosa membekas di kepala setiap orang. Termasuk juga pada dirinya.

Ketakutan itu berbuah pada pagi harinya. Di saat kantuk masih menekuk, samar-samar dia dengar suara keributan di luar. Dan berapa detik kemudian terdengar pintu depannya ditendang dari luar. Suaranya berdebum menyentakkan jantung. Beberapa orang berpakaian tentara menyeret Abinya keluar rumah. Dia hanya sekejap dapat melihat sosok Abinya. Ketika dia mengejar Abinya seorang tentara menghadangnya.

“Ayo ikut kamu.” Tentara itu menyeretnya ke luar rumah. Diantara kesakitan dia masih dapat melihat beberapa orang yang juga diseret kearah pantai.

Benar saja, sesampai di pantai dia lihat puluhan orang sudah dibariskan. Dia lihat kakaknya menatapnya dengan pucat. Kepalan Abinya dan beberapa orang kampong Cot Jeumpa ditodong senjata laras panjang.

“Kalian tidak bisa memberitahu di mana tentara Darul Islam!” bentak seorang tentara.

Dia ingat kala itu tidak ada yang bersuara. Tak ada yang menjawab tanya tentara itu, yang terdengaar hanya suara ombak.

Lalu terdengar suara letusan senjata yang menyalak, dan berulang-ulang yang diiring suara rintihan. Dia merasakan sebuah benda menghantan siku tangannya. Sakitnya sungguh tak terkira. Lalu dia tak ingat apa-apa. Semua terasa gelap dan pekat.

Dia tersadar dan telah berada di salah seorang rumah warga. Perempuan tua yang tinggal di ujung kampung merawat lukanya. Luka itu semakin hari semakin menyakitkan. Bahkan telah bernanah. Dalam kesakitan dia pendam pedih atas kematian Abi dan kakaknya.

Satu bulan kemudian seorang dokter membawanya ke Kutaraja. Dia tidak tahu nama dan wajah dokter itu. Yang dia tahu tangannya terpaksa diamputasi sampai ke siku. Dalam kepedihan dia jalani hidup seorang diri. Sampai kini, dia tetaplah seorang diri. Menghuni rumah baru bantuan korban tsunami.

Kini, jika suatu hari kalian datang ke kampung itu. Kalian juga akan menemukannya di sore hari dibalik batu karang di pantai itu sambil memancing ikan dengan sebelah tangan. Seperti hari ini. Dan kalian juga akan mendapatkan segerombolan anak-anak berusia belasan tahun bersamanya. Itu jika anak-anak itu tidak bermain sepakbola.

Banda Aceh, 20016

* Farizal Sikumbang, lahir di Padang. Guru SMA 2 Seulimeum, Aceh Besar.

Berita Terkini