Cerpen

Pasukan Cap Sauh

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Target pertama kami sebagai anggota Pasukan Cap Sauh adalah kantor Pesindo. Misi kami merampas surat-surat berharga dan merampok segala harta benda yang ada di sana. Kau tahu, ternyata tugas itu tidaklah semudah yang kubayangkan semula dan tanpa perlawanan. Seperti mengetahui maksud kami, beberapa anggota Pesindo siaga di sana. Kami pun tak surut langkah. Dan bisa kau tebak selanjutnya. Kami menyerbu kantor Pesindo. Beruntung jumlah pasukan kami melebihi pemuda-pemuda Pesindo yang berusaha bertahan. Akhirnya kami berhasil melumpuhkan pertahanan pemuda-pemuda Pesindo. Beberapa pemuda Pesindo harus mati karena kesombongan mereka. Mereka salah menafsirkan arti kesetiaan.

Pasukan Cap Sauh bagai kerasukan setan. Setiap melihat orang-orang yang bukan bagian dari kami, dianiaya seperti binatang. Kemarahan mendarah daging dalam tubuh kami. Tahukah kau apa sebab kemarahan kami begitu memuncak? Bukan karena ambisi Cumbok yang keras kepala, bukan karena kaum bangsawan telah dipermalukan oleh kaum alim, bukan pula karena senjata-senjata Jepang urung kami peroleh. Semua kemarahan yang merasuk pasukan itu karena kami merindukan perang. Kendati pun musuh abadi kita, Belanda dan Jepang masih berada di tanah leluhur ini, jiwa perang tidak akan pernah lekang dalam tabiat kita.

Kami terus memburu simpatisan Pesindo. Yang tak kalah pentingnya dalam petualanganku adalah ketika kami berhasil menjarah rumah Zainal Abidin dan Hasan Moehammad. Mereka ini pengurus-pengurus Pesindo yang dibenci oleh kaum bangsawan. Tak puas menguras harta benda, kami juga membakar rumah-rumah mereka.

Kemenangan demi kemenangan berada di pihak kami. Harta benda pengurus Pesindo, kaum alim, dan rakyat jelata yang kami anggap mendukung mereka telah banyak kami rampok. Setiap kemenangan mesti dirayakan. Begitulah janji T. Leman. Pesta ie jok masam selalu mengiringi perayaan kemenangan. Kami menenggaknya sampai puas.

Perlu kau tahu juga, Pasukan Cap Sauh ternyata bukan saja merampok. Tapi siap membantai dan membunuh orang-orang yang menghalanginya. Padahal tugas bunuh-membunuh adalah tugasnya Pasukan Cap Tombak. Dengan keberhasilan-keberhasilan ini, Cumbok telah mengirimkan sinyal ancaman bagi kaum alim. Kami siap berperang melawan pasukan kaum alim yang mendapat dukungan dari rakyat.

Waktu yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Pada pertengahan bulan Desember 1945 - aku melupakan hari dan tanggal yang mengubah kehidupanku itu - Pasukan Cap Sauh mengepung rumah Teungku Pakeh. Sebelumnya, beberapa kaum alim ada yang telah meninggalkan kampungnya dengan membawa harta benda sekadarnya. Tapi Teungku Pakeh bukan tipe orang yang ingin mengalah dengan keadaan. Dia memilih bertahan. Baginya, berperang melawan pengkhianat sama besar pahalanya dengan mati syahid. Kami menganggap pendapatnya itu sebagai sebuah lelucon.

Teungku Pakeh berdiri di depan pintu rumahnya dengan rencong di tangan kanannya dan perisai kecil di tangan kirinya. Melihat penampilannya pada malam itu, aku membayangkan dia tak ubahnya seperti prajurit yang terlambat bangun ketika musuh sudah berada di depan mata. Tapi aku tidak punya waktu untuk melihat kematian Teungku Pakeh. Yang kuinginkan adalah memastikan keadaan Siti agar aman dari kebengisan Pasukan Cap Sauh. Anggap saja Teungku Pakeh sudah mati dan angan-anganku mulai menembus batas mimpiku. Aku membayangkan kelak dengan kematian Teungku Pakeh aku bisa menjadi suaminya dan ayah dari satu anak laki-lakinya yang masih menetek. Cintaku pada Siti masih belum pudar.

Suara binatang malam mengiringi malam maut itu di antara suara-suara kegaduhan lainnya. Aku belum melihat Siti. Dengan cekat aku berusaha menerobos beberapa pasukan yang sedang membantai Teungku Pakeh. Siti tidak berada di dalam rumah. Pintu belakang rumahnya terbuka lebar. Pastilah dia sudah lari lewat pintu belakang itu. Di belakang rumah itu ada sebuah kebun yang banyak ditanami pinang dan beberapa pohon durian. Di bawah sinar bulan aku bisa melihat Siti. Tapi dia tidak sendiri. Ada dua kelebat bayangan yang bersenjata bersama Siti. Siti tampak menggendong bayinya yang tak bergeming sedikit pun. Mungkin sedang terbuai dalam pelukan ibunya.

Dua pemuda yang berbadan kekar itu menangkap Siti. Bayinya terlepas dari gendongannya. Bayi itu menangis. Lalu ada kekuatan gaib yang mendorongku berlari ke arah mereka untuk menyelamatkan Siti. Tapi terlambat. Siti yang sedang dicabuli dari tadi dan berusaha melawan maut harus menerima tusukan benda tajam ke tubuhnya. Sebabnya adalah Siti telah menusuk seorang pemuda itu dengan pisau dapur tepat di lambungnya.

Seumur hidupku aku akan menyesali keterlambatan diriku itu. Ketika tiba di sana, tanpa berkata apa pun aku menebas leher dua pemuda itu. Dalam sekejap saja mereka mati. Suara bayi yang menangis memancing beberapa pasukan yang telah berada di dalam rumah. Dan mereka melihatku secara langsung telah membunuh dua pasukan cabul itu. Aku gemetar. Ketika pasukan yang mengacungkan pedang ke udara itu menuju ke arah kami, dalam hitungan detik aku melarikan diri. Airmata terburai dan hilang bersama angin. Siti telah mati. Tapi bayinya masih dalam pangkuanku.

Sampai sekarang aku belum mengetahui kekuatan apa yang kumiliki karena aku terus berlari menuju timur tanpa henti-henti selama enam jam lebih. Ketika matahari mulai terbit dan mengeringkan sisa-sisa embun, barulah aku berhenti. Aku istirahat sejenak di sebuah sungai yang batunya besar-besar. Kuyakin, inilah Sungai Batee Iliek. Tujuanku ke timur kemudian berakhir di Lhokseumawe.

***

Jika kau melewati Jalan Kamboja di suatu kampung, kau akan melihat sebuah nisan dengan nama Amir di antara berpuluh-puluh nisan bernama sama, atau mungkin juga ratusan. Setiap hari raya, nisan-nisan itu akan diziarahi. Doa dan harapan dikirimkan kepada Tuhan agar arwah mendapat surga di alam yang lain.

Para pengunjung nisan Amir pun silih berganti didatangi oleh beberapa orang yang sudah ubanan, pria tampan dan gadis-gadis cantik, kanak-kanak yang berbedak tebal, dan bayi-bayi yang masih berpopok. Mereka masih menganggap Amir sebagai buyut, kakek, dan ayah tanpa mereka tahu siapa nenek atau ibu mereka. Tahukah kau, Amir yang terkubur di sana sebenarnya masih perjaka.

* Teuku Mukhlis adalah guru MTsN Lhokseumawe

Berita Terkini