Pilkada 2017

Zaini Tolak Qanun Pilkada

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BANDA ACEH - Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah menolak dua qanun yang telah disahkan anggota DPRA dalam Sidang Paripurna, 7 September 2016. Dua qanun yang ditolak itu adalah Perubahan Qanun Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota (Pilkada), serta Qanun Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS).

Asisten I Setda Aceh, Dr Muzakkar A Gani MSi yang dimintai Serambi penjelasannya, Senin (10/10), menyebutkan ada dua alasan Gubernur Zaini Abdullah menolak Qanun Pilkada dan Qanun ZIS. Alasan itu, menurutnya, sudah disampaikan Gubernur kepada Ketua DPRA dalam surat tertulisnya tanggal 7 Oktober 2016.

Alasan pertama Gubernur Zaini menolak dua qanun itu, menurut Muzakkar, adalah karena anggota dewan dinilai tidak akomodatif dan komit dengan apa yang telah diusulkan tim eksekutif dan disepakati dalam pembahasan tingkat pertama.

Dalam pembahasan bersama antara tim eksekutif dan Tim Badan Legislatif (Banleg) DPRA bersama staf ahlinya, hal yang dikoreksi eksekutif dalam penolakan Qanun Pilkada tersebut, sudah disetujui dalam pembahasan bersama sebelumnya. “Tapi kenapa, dalam sidang paripurnanya, masalah yang telah disepakati tidak dimasukkan lagi, malah dikembalikan lagi ke draf awal,” kata Muzakkar.

Contoh yang dikemukakan adalah tentang membuat surat pernyataan pengunduran diri dari keanggotaan partai politik minimal tiga bulan sebelum mendaftarkan diri sebagai pasangan calon perseorangan dan dibubuhi materai di atasnya.

Contoh kedua, DPRA tidak menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 51/PUU-XIV/2016 tanggal 23 Agustus 2016. “Alasan Gubernur Zaini menolak Qanun Pilkada, karena materi yang pertama itulah yang telah disahkan DPRA dalam pembahasan tingkat pertama antara Banleg dengan tim eksekutif. Tapi kini sudah dihapus dan tidak dimunculkan lagi dalam sidang paripurna,” ujar Muzakkar.

Penghapusan materi itu, menurut tim eksekutif, tidak melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), karena masalah itu urusan internal partai politik.

Alasan kedua, dalam Qanun Pilkada yang telah disahkan, DPRA tidak menindaklanjuti putusan Makamah Konstitusi (MK) RI Nomor 51/PUU-XIV/2016 tanggal 23 Agustus 2016 yang telah mengabulkan permohonan judicial review sebagian isi Pasal 67 ayat (2) huruf g dari salah seorang calon gubernur, tentang persyaratan bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang pernah dipidana lima tahun, tak boleh ikut, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.

Sedangkan untuk Qanun Aceh tentang ZIS, kata Muzakkar, Gubernur Zaini menolaknya karena ia meminta kewenangan yang berkait dengan perekrutan Badan Pelaksana ZIS dikaji kembali, karena dalam qanun ZIS itu, kewenangannya dilakukan oleh DPRA, baru penetapan SK dan pelantikannya oleh dubernur.

Kecuali itu, lanjut Muzakkar, berdasarkan fakta di lapangan, pada saat pengambilan keputusan pengesahan keempat rancangan qanun tersebut, jumlah anggota DPRA belum mencapai 2/3 atau setengah plus 1, sebagaimana Peraturan Tata Tertib DPRA Nomor 1 Tahun 2016.

Untuk pengambilan keputusan, jumlah anggota yang hadir dalam ruang sidang secara fisik, haruslah berjumlah 2/3 atau 1/2 plus 1 dari total jumlah anggota DPRA saat ini sebanyak 69 orang.

Pihak eksekutif mengklaim, pada saat keempat rancangan qanun (raqan) itu disahkan, jumlah anggota DPRA yang hadir tidak memenuhi kuorum, baik untuk kuorum 2/3 persen maupun setengah (1/2) atau satu per dua ditambah 1 orang yang berada dalam ruang sidang.

“Untuk membuktikannya, bisa dilihat dalam CCTV yang ada di DPRA,” kata Muzakkar. Atas pertimbangan beberapa hal tersebut, kata Muzakkar, maka Gubernur Zaini menolak pengesahan dua qanun strategis yang dinilainya cukup penting bagi masa depan masyarakat Aceh itu. (her)

Berita Terkini