Hasil Penelitian Gempa Pangandaran 2006, Peneliti: Tsunami Bisa Datang tanpa Peringatan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi gempa bumi

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Pangandaran pada 17 Juli 2006 lalu memiliki karakteristik unik.

Lima tahun setelah kejadian gempa, rupanya masih terdapat pergerakan deformasi di wilayah sekitar episentrum.

Itu diketahui lewat penelitian yang dilakukan oleh peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), Endra Gunawan, dan timnya.

Aktivitas deformasi hingga 5 tahun kejadian gempa diketahui lewat pendataan GPS (Global Positioning System).

Menurut Endra, deformasi yang berlangsung lama itu unik sebab gempa Pangandaran pada 17 Juli 2006 hanya bermagnitudo 7, tidak seperti di Aceh yang mencapai magnitudo 9,2.

"Jadi yang di Aceh itu logis, yang di Pangandaran itu sangat unik," katanya ketika dihubungi Kompas.com, Senin (24/7/2017).

Baca: Menteri Puan Maharani: Penanganan Gempa Pijay Ditargetkan Tuntas 2018

Keunikan aktivitas tektonik di Pangandaran itu dipicu oleh perbedaan bagian dalam bumi antara selatan Jawa dengan barat Sumatera.

"Bagian Selatan Jawa lebih fluid," ucap Endra. "Itu dibuktikan dengan nilai kekentalan mantle astenosfer Selatan Jawa yang lebih kecil dibandingkan Barat Sumatera."

Gempa Pangandaran merupakan salah satu bencana geologi yang merenggut banyak nyawa. Kurang lebih 668 orang tewas dan 65 hilang.

Sebelum kejadian gempa, warga Pangandaran tak merasakan guncangan apapun. Berbeda dengan kejadian di Aceh di mana guncangan dirasakan kuat.

Baca: Museum Tsunami, Destinasi ‘Wajib’ dari Aceh

Endra mengatakan, gempa Pangandaran adalah tsunami-earthquake. Gempa jenis ini memicu tsunami yang datang tanpa peringatan.

Tsunami bisa datang tanpa peringatan sebab kecepatan robekan pada bidang gempa lebih lambat daripada gempa normalnya.

Pada gempa normal, kecepatan robekannya 2 hingga 2,5 Km per detik. Sedangkan tsunami-earthquake memiliki kecepatan di bawah 1,5 km per detik.

Halaman
12

Berita Terkini