Dalam cerita itu disebutkan, ketika gempa datang, disusul air laut surut, maka warga sebaiknya segera pergi ke dataran tinggi atau perbukitan.
"Karena itu tanda smong segera datang. Gelombang besar yang akan merusak rumah dan membunuh warga," jelas Akil Rozha, warga Simeulue.
Diwariskan melalui cerita, lagu, dan belakangan masuk ke kurikulum sekolah dasar dalam bentuk muatan lokal. Selain belajar dari buku, para siswa dilibatkan dalam simulasi menghadapi gempa.
(Baca: Museum Tsunami, Destinasi ‘Wajib’ dari Aceh)
Jalur evakuasi
Cerita smong sebagai pegangan mitigasi bencana memang efektif. Namun, itu saja belum cukup untuk melindungi warga dari bencana.
Untuk itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Simeulue berencana membangun 16 selter tersebar di setiap kecamatan. Selter yang dibangun di perbukitan dengan ketinggian 30 meter sampai 50 meter dari permukaan air laut dirancang mampu menampung sampai 500 orang. Dana yang dibutuhkan mencapai Rp 37 miliar.
"Tujuannya agar warga tidak kehujanan atau kepanasan saat menyelamatkan diri," kata Jamal Abdi, Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Simeulue.
Selama ini warga mengevakuasi keluarganya melalui jalur alami dan tradisional yang tidak semuanya mulus untuk dilalui. Apalagi menggunakan kendaraan bermotor yang bisa memicu kemacetan. Untuk itu, akan dibuat tanda khusus agar warga bisa memilih jalur yang layak.
"Sebenarnya mereka perlu dilatih, tetapi dananya belum cukup," ujar Abdi.(Kompas.com/Tribun Medan)