Oleh Syakya Meirizal
SELAMA lebih dari satu bulan terakhir, publik Aceh disuguhi riuh-rendah isu seputar pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2018, yang kembali molor alias tak tepat waktu. Fenomena ini merupakan pengulangan atas dinamika pengesahan APBA tahun-tahun sebelumnya.
Dalam 10 tahun terakhir, misalnya, tercatat hanya satu kali APBA dapat disahkan sebelum tahun anggaran berjalan. Itu terjadi saat pengesahan APBA 2014, pada masa pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (Zikir). Di mana RAPBA dapat disetujui menjadi APBA pada 20 Desember 2013.
Di luar itu baik sebelum atau sesudahnya selalu saja pengesahan APBA melewati limit waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang (UU) maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). APBA 2015 misalnya baru disahkan pada 31 Januari 2015. Demikian juga dengan APBA 2016 yang baru disahkan pada 30 Januari 2016. Begitu pun dengan APBA 2017 yang pengesahannya juga dilakukan pada 30 Januari 2017.
Jauh sebelumnya, tepatnya pada masa pemerintahan Irwandi-Nazar, bahkan APBA baru disahkan mendekati pertengahan tahun anggaran berjalan. APBA 2007, misalnya, baru disahkan pada 18 Mei 2007. APBA 2008 pada 20 Juni 2008. APBA 2009 pada 29 Januari 2009. APBA 2010 pada 19 Maret 2010. Sementara APBA 2011 disahkan pada 15 April 2011.
Padahal tahun ini pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jauh-jauh hari sudah mengingatkan agar seluruh daerah dapat mengesahkan APBD 2018 selambat-lambatnya pada 30 November 2017. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 312 ayat (1) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa Kepala Daerah dan DPRD Wajib menyetujui bersama Rancangan Perda (Qanun) tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.
Hal ini diperkuat lagi dengan Surat Edaran (SE) Mendagri tanggal 7 November 2018 No.188.34/7941/SJ yang ditujukan kepada para Gubernur dan SE Mendagri No.188.34/8012/SJ kepada Ketua DPRD seluruh Indonesia tentang Percepatan Kesepakatan Bersama Rancangan KUA-PPAS dan Persetujuan Bersama Rancangan Perda (Qanun) APBD 2018. Namun melihat perkembangan mutakhir, pihak Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dan DPRA seakan tak ambil peduli dengan tuntutan UU dan SE Mendagri tersebut.
Ikut mengingatkan
Tak hanya pemerintah pusat. Berbagai elemen di Aceh juga ikut mengingatkan. Media massa, pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, kelompok Mahasiswa, akademisi dan berbagai elemen civil society lainnya tak ketinggalan menyuarakan harapan yang sama. Bahwa APBA 2018 berpotensi terlambat disahkan kalau tidak ada upaya akselerasi pembahasan tahapan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) dan RAPBA.
Harian Serambi Indonesia, misalnya, dalam tajuk Salam Serambi edisi 6 Desember 2017 sudah memberi warning akan potensi keterlambatan tersebut. Kala itu, Serambi menurunkan tema RAPBA 2018 Mulai Tersandung Masalah. Bahkan, dalam terbitan edisi 29 Desember 2017, Serambi kembali merilis tajuk dengan tema yang lebih satir, Sengketa APBA, Menjadi Drama Rutin Akhir Tahun.
Disinyalir, sulitnya tercapai kesepakatan antara TAPA dan DPRA disebabkan oleh berbagai faktor kepentingan. Bahkan dalam delapan tahun terakhir. Isu terkait program usulan rakyat pada saat reses DPRA atau lebih populer dengan sebutan “Dana Aspirasi”, telah menjadi batu sandungan utama dalam proses tercapainya kesepakatan antara TAPA dan DPRA.
Tak jarang kisruh yang terjadi dalam pembahasan APBA harus melibatkan unsur pemerintah pusat sebagai mediator. Hal ini pernah terjadi pada proses pembahasan dan pengesahan APBA 2015 dan 2016, di mana kesepakatan harus melalui proses mediasi oleh Dirjen Otda di Kemendagri. Waktu itu, perbedaan sikap tidak hanya antara DPRA dan TAPA semata, melainkan juga melibatkan gubernur dengan wakil gubernur.
Dari selentingan kabar yang beredar, tidak tercapainya kesepakatan antarpihak waktu itu, disebabkan oleh tidak terakomodasinya usulan program dan kegiatan masing-masing pihak dengan besaran anggaran tertentu dalam pembahasan sebelumnya. Walaupun akhirnya dapat disepakati. Ada catatan negatif yang harus digarisbawahi. Pelibatan unsur pemerintah pusat, menunjukkan ketidakmampuan pemerintahan Aceh (Gubernur dan DPRA) dalam menyelesaikan persoalan rumah tangganya sendiri. Apalagi hanya persoalan remeh-temeh, sekadar urusan “bagi tumpok” semata.
Rumitnya proses pengesahan APBA seakan telah menjadi sebuah tradisi tahunan. Sepertinya, tak ada itikad dan tekad yang kuat dari DPRA dan TAPA untuk mengakhiri fenomena ini. Mereka terkesan ingin melestarikan sikap yang tidak mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Sungguh sebuah pilihan sikap yang minim empati. Ada saja argumen mereka untuk menjustifikasi dan berapologi.
Berbagai regulasi dan aturan pemerintah terkait anggaran, berani mereka kangkangi. Semua kritik dan saran dari publik tak membuat mereka disiplin dan mawas diri. Bahkan hampir setiap tahun pula oleh elemen mahasiswa mereka didemo. Yang bisa mereka berikan hanya janji yang tak bisa ditepati. Perilaku demikian telah menjadi adat dalam diri. Disadari atau tidak sikap mereka adalah manifestasi dari sebuah anomali. Demikianlah persepsi publik terhadap kinerja TAPA dan DPRA yang berkembang selama ini.
Political will
Pun demikian kita tak boleh larut dalam pesimisme yang tak bertepi. Ekspektasi publik agar TAPA dan DPRA dapat mengesahkan APBA tepat waktu tak boleh mati. Namun tidak tahun 2018 ini. Kita berharap tahun anggaran 2019 mendatang jadi ajang “tebus dosa” TAPA dan DPRA. Semoga saja mereka mau introspeksi serta berkomtemplasi atas “blunder” selama ini. Komitmen mengesahkan APBA tepat waktu di tahun depan (2019), semoga jadi “resolusi” utama mereka di tahun baru 2018 ini.
Semua harapan tersebut hanya dapat diwujudkan kalau kedua pihak (eksekutif dan legislatif) memiliki komitmen dan kehendak politik (political will) yang kuat. Political will bisa di manifestasikan dengan duduk bersama untuk menyamakan persepsi. Kedua pihak perlu meningkatkan intensitas dan efektivitas komunikasi. Dengan pola komunikasi yang ideal antara eksekutif dan legislatif akan melahirkan relasi yang harmoni. Keduanya bisa bersinergi, sehingga tercapai sebuah konsensus yang dilandasi kepentingan rakyat. Bukan kepentingan pribadi.
Peluang tersebut terbuka lebar. Apalagi pemerintahan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah memiliki 15 program unggulan yang akan diimplementasikan dalam periode kepemimpimpinan mereka ke depan. Dengan pengesahan APBA tepat waktu, tentu saja program-program tersebut dapat dilaksanakan secara optimal. Prosesnya bisa dikendalikan dengan indikator dan parameter yang terukur. Kalau ditemukan kelemahan atau kekurangan ada masa untuk review (evaluasi) agar dapat diperbaiki atau dimodifikasi.
Sementara, TAPA dan DPRA perlu bersepakat untuk komit akan disiplin terhadap tahapan pembahasan RAPBA sesuai jadwal. Mulai dari penyusunan RKPA sampai dengan penetapan Qanun APBA. Terkait “Dana Aspirasi” kalau memang tidak bisa ditiadakan. Maka anggota DPRA harus diberi limit waktu, agar daftar usulan aspirasi bisa diserahkan kepada TAPA sebelum KUA-PPAS dibahas di DPRA. Sehingga tidak ada pembahasan berulang, karena belum tertampungnya “Dana Aspirasi” Dewan.
DPRA pun punya waktu yang lebih luang untuk menyisir dan mengkritisi kegiatan yang bersifat kontroversi yang diajukan TAPA. Sehingga tidak ada proyek atau kegiatan siluman yang bisa lolos dalam APBA. Kalau komitmen tersebut dipenuhi, tentu saja produk APBA yang dihasilkan melalui tahapan yang sesuai peraturan akan lebih berkualitas dan bermanfaat untuk rakyat.
Pada akhirnya kita berharap agar APBA 2018 dapat segera disahkan, supaya kinerja pelayanan publik tidak terganggu dan berjalan maksimal. Begitupun dengan proyek pembangunan perlu segera dipercepat. Dengan begitu, ekonomi rakyat tak berhenti berputar. Untuk APBA 2019, semoga saja bisa disahkan tepat pada 30 November 2019 sesuai amanat UU. Kalau itu bisa diwujudkan, tentu akan jadi legacy dari Gubernur Irwandi dan DPRA. Sehingga jadi patron untuk tahun-tahun berikutnya. Semoga saja!
* Syakya Meirizal, peminat isu ekonomi dan politik Aceh. Email: betrafishco@gmail.com