Opini

Ulasan Lapangan Minyak Peureulak

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakapolres Aceh Timur, Kompol Apriadi, dan Kabag Ops Polres Aceh Timur, Kompol Raja Gunawan, didampingi sejumlah personelnya mengawasi petugas PT Pertamina EP saat mobil tanki PT Pertamina EP menyedot minyak untuk dipindahkan ke tempat penampungan basecamp PT Aceh Timur Kawai Energi, di Gampong Pertamina, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, Jumat (27/4/2018). Tujuan pemindahan minyak menggunakan mobil tanki ini agar minyak yang keluar dari sumur pasca terbakar tidak meluber. SERAMBI / SENI HENDRI

Oleh Muchlis

GAMPONG Pasir Putih, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, menjadi pusat perhatian masyarakat tidak hanya nasional bahkan Internasional. Korban meninggal lebih 20 orang, ditambah puluhan lainnya menderita luka bakar kronis. Tragedi ini berulang kembali, kali ini merupakan kejadian terparah.

Lokasi pengeboran minyak tradisional di Pasir Putih, Kampung Pertamina dan sekitarnya di Kecamatan Rantau Peureulak berada dalam wilayah kerja (WK) migas Pertamina EP. Namun Pertamina EP telah menyerahkan pengelolaan WK ini kepada Kawai Energi, dalam bentuk kerjasama KSO. Sehingga WK tersebut lebih dikenal dengan KSO Peureulak. Sebelumnya, KSO Peureulak pernah dioperasikan Pacific Oil Energy. Secara wilayah, KSO Peureulak dikelilingi WK Blok A milik Medco.

KSO Peureulak mempunyai luas lebih kurang 14 kilometer persegi dan luasan ini adalah tipikal KSO Pertamina. Dinamakan KSO Peureulak, karena sesuai nama lapangan migasnya, Peureulak. Ada juga KSO Pertamina lainnya mempunyai luasan puluhan kilometer. Luasan KSO tergantung luasan struktur perangkat di bawahnya. Berbeda dengan wilayah kerja migas, luasannya mencapai ratusan hingga ribuan kilometer persegi. Di dalam satu WK migas kadang terdiri dari beberapa lapangan migas.

Secara geologi lapangan migas Peureulak berada pada struktur lipatan (folds) atau antiklin. Struktur ini terlihat dan tersingkap sebagai bukit di permukaan. Akan tetapi tidak semua antiklin tersingkap di permukaan, tapi masih eksis di bawah permukaan bumi. Bentuk antiklin inilah yang dicari para eksplorer migas. Dengan pencitraan seismic, antiklin dapat dikenali dan diusulkan sebagai target pengeboran. Tetapi, tidak semua antiklin terisi migas. Butuh pemahaman geologi struktur dan petroleum system untuk menganalisanya.

‘Antiklin’ Peureulak
Antiklin lapangan Peureulak terlihat jelas di Google Earth. Bersama struktur antiklin lainnya yang terletak pada zona kompresi, lapangan Peureulak berarah northwest-southeast. Antiklin Peureulak terkompartmentalisasi oleh beberapa patahan normal berupa slope/lembah. Beberapa patahan tersebut menyebabkan perbedaan zona lapisan minyak meskipun dalam satu reservoir.

Lapangan migas Peureulak sendiri ditemukan oleh BPM (sekarang Shell), perusahaan minyak Belanda pada 1901. BPM melakukan pengeboran hingga kedalaman 190 meter dan menemukan zona minyak pada interval 102-129 meter dan 185-190 meter. Interval pertama mengalirkan 2.640 barel minyak mentah per hari (bod), interval kedua 940 bod.

Lapangan ini selanjutnya dioperasikan oleh Pertamina UEP1. Oleh Pertamina dilakukan survei seismic untuk mendapatkan geometri reservoir bawah permukaan. Hasilnya dikalibrasi dengan data pengeboran, sehingga ditemukan zona-zona pasir lainnya hingga kedalaman 550 meter pada formasi Keutapang dengan perangkap antiklin.

Menurut laporan Indonesia, Oil and Gas Fields Atlas 1989, kumulatif produksi Peureulak dari formasi Keutapang saja pada 1982 sebesar 52 juta barel oil (mmbo). Jumlah sumur produksinya sekitar 238.

Andaikan recoverable factor 25%, estimasi cadangan Peureulak mampu mencapai 200 juta barel. Akan tetapi diperlukan teknologi EOR (Enhanced Oil Recovery) untuk mencapai kembali lifting optimumnya. Selain itu cadangan migasnya bisa bertambah bila dilakukan pendalaman pengeboran.

Lapangan ini tidak diproduksikan lagi secara komersil karena produksinya yang terus berkurang. Hal tersebut membuat Pertamina enggan mengoperasikan karena keekonomiannya. Meskipun demikian ada perusahaan lain bersedia melakukan KSO mengelola lapangan tersebut.

Peninggalan ratusan sumur minyak yang telah ditutup tersebut bahkan menggoda pendatang dan penduduk setempat melakukan reaktivasi sumur secara ilegal. Tindakan ilegal seperti; memotong well head, memasukkan pipa dan kemudian memompanya dengan mesin.

Para penambang ini pun rela mengebor tempat-tempat baru daerah sekitar secara tradisional dan tanpa pertimbangan risiko. Ini mungkin dikarenakan dangkalnya kedalaman migas ditambah adanya pasar penjualan.

Jika beruntung, para penambang dapat memproduksi puluhan drum perhari selama berbulan-bulan. Menurut informasi harga per drum (kapasitas 200 liter) harganya berkisar Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu. Meskipun banyak yang gagal, tetapi banyak orang tergiur melakukannya.

Seharusnya menjadi pelajaran
Daya tarik migas sekitar area penambangan tradisional mampu mengubah keadaan ekonomi secara instant. Namun di balik itu menyimpan banyak masalah mulai dari kebakaran merenggut nyawa hingga rusaknya lingkungan secara permanen.

Halaman
12

Berita Terkini