Oleh Zulfan SB
ISU mengenai siklus krisis ekonomi 10 tahunan sedang hangat diperbincangkan publik saat ini. Banyak pihak yang mempertanyakan, apakah siklus tersebut memang benar-benar terjadi setiap 10 tahun sekali? Atau hanya suatu kebetulan saja. Krisis ekonomi 1998 dan 2008 lalu merupakan krisis yang berdampak buruk bagi perekonomian global dan nasional.
Memasuki triwulan pertama 2018, banyak indikasi yang terus mengarah pada prediksi tersebut. Kekhawatiran masyarakat terhadap akan terulangnya krisis ekonomi pun terus mengahantui. Namun sebenarnya apa saja indikasi-indikasi yang dapat dikatakan sebagai pemicu terjadinya krisis?
Sebagian besar pelaku ekonomi menganggap nilai mata uang yang melemah, inflasi yang tak terkendali serta meningkatnya suku bunga di perbankan merupakan indikator krisis, investor saham mengganggap turunnya indeks saham secara global merupakan sebagai indikator sedang terjadinya krisis, sementara sebagian ekonom mengganggap krisis ekonomi terjadi ketika kondisi pertumbuhan ekonomi domestik (GDP) tumbuh negatif selama 2 kuartal berturut-turut sementara utang negara semakin bertambah.
Bergerak negatif
Memasuki awal 2018, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mendaki ke puncak terbarunya yang berada pada level di atas 6.400 hingga akhirnya pada Februari indeks saham global dan juga IHSG serentak bergerak negatif. Bahkan pada 23 Maret, 2018 IHSG pernah menyentuh level 6,090. Satu hal yang menyebabkan IHSG bergerak negatif adalah adanya aksi jual investor asing di pasar saham yang sangat besar.
Menurut data Statistik Pasar Modal Indonesia edisi Maret 2018, nilai jual bersih investor asing (net foreign sell) mencapai Rp 20,11 triliun. Net foreign sell tersebut mecapai 50% capaian satu tahun lalu yang sebesar Rp 39,9 triliun. Jika asing terus melakukan net sell, maka ada kemungkinan IHSG akan terkoreksi lebih tajam, karena mengingat jumlah investor asing masih mendominasi bursa saham Indonesia.
Adapun faktor lainnya yang mempengaruhi penurunan IHSG adalah adanya tekanan kenaikan suku bunga yang ditetapkan oleh Federal Reservepada tahun 2018. The Fed menyatakan akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali secara bertahap. Sehingga ada kemungkinan pelaku pasar akan menarik investasinya dari pasar modal dan mengalihkan ke dalam instrument yang lebih aman.
Sejalan dengan hal tersebut, kepercayaan publik terhadap mata uang rupiah juga mengalami kemorosotan dalam beberapa pekan terakhir. Kurs rupiah terhadap dolar berada di atas Rp 13,700, meningkat dari awal tahun yang berada di level Rp 13.300. Pelemahan rupiah perlu diwaspadai, apalagi belum lama ini, lembaga pemeringkat S&P memprediksi nilai tukar dolar AS bisa menembus Rp 15.000 (sumber: detik.finance).
Tidak hanya itu, perbincangan hangat mengenai utang Indonesia 2018 bisa menjadi pemicu terjadinya krisis. Utang yang telah dicatat pemerintah per Februari 2018 adalah sebesar Rp 4.034,8 triliun atau meningkat 13,46% (YoY). Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 29,24%. Walaupun masih berada dalam batasan aman, faktanya pertumbuhan ekonomi pada 2017 hanya mencapai 5,1% secara tahunan (YoY).
Seharusnya dengan penambahan utang hampir mencapai Rp 1.000 triliun itu bisa memberikan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi lagi. Ibaratnya, suatu perusahaan tidak akan menambah utang apabila tidak menghasilkan produktivitas dan keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, pemerintah harus memerhatikan utang negara yang terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Apabila sampai terjadi gagal bayar, maka akan dapat menyebabkan terjadinya krisis sistemik.
Kondisi politik ekonomi dunia juga sedang menghadapi gejolak yang kurang baik. Perang dagang (trade war) antara Amerika Serikat (AS) dan Cina mulai memanas, AS kembali menerapkan kebijakan yang menyudutkan Cina. AS bersiap mengenakan tarif bea masuk impor produk lain dari Cina setelah sebelumnya memberlakukan penetapan tarif impor baja dan aluminium. Jika perang dagang ini terus berlanjut, kemungkinan akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia sebagai negara yang berada dalam kawasan Asia Pasifik.
Terulang kembali
Beberapa kondisi di atas seolah-olah menunjukkan bahwa krisis ekonomi dapat terulang kembali. Kondisi pasar modal saat ini menunjukkan adanya kesamaan dengan kondisi ekonomi pada tahun-tahun krisis sebelumnya, di mana ketika IHSG sedang naik daun, namun tiba-tiba menurun tajam dalam beberapa pekan ini. Kurs rupiah terhadap dolar yang melemah hingga 400 poin mengindikasikan adanya kemungkinan kondisi ekonomi Nasional akan memburuk, ditambah lagi dengan keadaan politik ekonomi dunia yang memanas tentu akan berdampak pada perekonomian nasional.
Meski demikian, tidak semua kondisi ekonomi Indonesia memperlihatkan indikasi yang buruk, beberapa prestasi Indonesia di bidang ekonomi sepanjang 2017-2018 juga masih membanggakan. Misalnya saja inovasi dalam pelayanan pajak merupakan prestasi yang bisa diacungi jempol. Sejak diluncurkannya program tax amnesty, pelaku usaha mulai aktif dan taat membayar pajak, tax amnesty telah mampu menyelamatkan pajak negara yang selama ini terhambat.
Selanjutnya, berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), nilai kepemilikan efek saham investor lokal mencapai Rp 1.976,68 triliun (49%) dari total saham yang tercatat di KSEI per Januari 2018. Meningkatnya porsi investor lokal ini dinilai sebagai suatu keberhasilan KSEI dan pihak terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menggiatkan kesadaran masyarakat untuk berinvestasi. Tiga lembaga pemeringkat investasi internasional, yakni Fitch Ratings, Standards and Poor’s, dan Moody’s Investor Service juga telah memasukkan Indonesia dalam status layak investasi.
Adapun suku bunga dan juga inflasi di Indonesia masih stabil dan terkendali jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Selama September 2017 sampai Februari 2018, Bank Indonesia (BI) telah mengambil kebijakan moneternya dengan mempertahankan suku bunga acuan di 4,25%. Angka inflasi per Februari 2018 sebesar 3,18% juga masih di bawah target BI sebesar 3,5% plus minus 1%. Hal ini menunjukkan inflasi masih dalam tingkat yang baik.