Oleh Edy Mulyadi
Kalau saya jadi presiden, pada hari pertama saya akan tangkap 100 orang Indonesia paling brengsek. Saya akan kirim mereka ke pulau bernyamuk malaria, di selatan Kalimantan. (Rizal Ramli)
SEJATINYA, ucapan itu bukan barang baru. Rizal Ramli (RR) sudah sering mengulang-ulang pernyataan tersebut di banyak tempat dan kesempatan. Sejak mendeklarasikan diri sebagai Calon Presiden periode 2019-2024 pada 5 Maret silam, entah sudah berapa belas kali dia lakukan itu. Dan, setiap dia menyampaikan pernyataan tersebut selalu saja disambut gelak tawa hadirin. Entah, apa yang terjadi pada mereka. Mungkin, para audien berpikir RR tengah melucu.
Benarkah Rizal Ramli tengah melucu? Saya yakin, haqqul yaqin, tidak. Tokoh nasional yang pernah menjadi anggota tim panel ahli Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bersama dua penerima hadiah nobel ekonomi itu, saya rasa, serius dengan pernyataannya. Ya, Rizal Ramli sungguh-sungguh akan menggiring 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau bernyamuk malaria.
Mahathir dan Najib
Dari negeri jiran, 9 Mei silam, Malaysia, Mahathir Mohammad memenangi pemilihan raya (pemilu). Politisi gaek berusia 93 tahun itu berhasil menumbangkan kekuasaan otoriter dan korup Perdana Menteri Najib Razak yang telah berkuasa selama satu dasawarsa.
Hal mengejutkan yang dilakukan Mahathir yang juga mantan PM Malaysia itu adalah, sehari berikutnya dia langsung melarang Najib meninggalkan negeri. Bahkan, dia juga memerintahkan aparat hukum menggeledah dan menyita harta milik Najib. Malaysia pun goncang. Belum pernah dalam sejarah negeri anggota persemakmuran Inggris itu memperlakukan mantan pemimpinnya sedemikian rupa.
Malaysia memang punya hukum tegas terhadap tersangka kasus korupsi. Maka, sejak 18 Mei sampai 10 hari berikutnya rakyat Malaysia disuguhi aksi aparat hukum yang mengangkut bertas-tas uang, barang-barang mewah, lusinan tas berharga mahal, dan mobil milik Najib serta sang istri. Semua uang dan barang yang disita karena diduga didapat dari korupsi tersebut. Mereka diangkut dengan lima truk polisi. Polisi mengaku butuh waktu tiga hari untuk menghitung tuntas seluruh uang serta nilai barang yang disita.
Gerangan pesan apa yang hendak Mahathir sampaikan? Hukum harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Dr M ingin menunjukkan kepada rakyat Malaysia bahkan dunia, bahwa ketegasan juga berlaku bagi mantan perdana menteri yang baru lengser. Setiap pelaku kejahatan, apalagi jika magnitudo kerusakannya begitu luas, harus mendapat balasan setimpal. Korupsi, apalagi dilakukan kepala negara, adalah kejahatan luar biasa yang harus mendapat sanksi luar biasa pula.
Adakah Rizal Ramli terinsipirasi pada gebrakan Mahathir? Tentu tidak. Mahathir baru memenangi Pemilu pada 9 Mei 2018. Sementara Menko Ekuin era Abdurrahman Wahid itu langsung menyatakan akan mengirim 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau yang dihuni nyamuk malaria pada 5 Maret 2018, saat dia mendeklarasikan diri sebagai capres.
Sepertinya pria yang dikenal sebagai tokoh pergerakan sejak mahasiswa 40 tahun lalu itu hendak belajar dari reformasi 1998. Gerakan mahasiswa dan seluruh elemen rakyat tersebut memang berhasil menumbangkan Soeharto yang telah berkuasa lebih dari 32 tahun. Ada aroma kemenangan merebak ke segala penjuru atmosfir Indonesia. Ada kebanggaan memenuhi tiap dada rakyat yang ingin perubahan. Ada eforia yang bergelora di situ. Tapi, ternyata ada yang luput dari sana.
Krisis moneter telah menghempaskan Indonesia jatuh ke titik terdalam. Ekonomi yang stabil di kisaran 6% selama puluhan tahun, tiba-tiba terbanting ke minus 13%. Praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang menggurita, utang swasta yang gila-gilaan, dan pengelolaan perbankan yang ugal-ugalan, jauh dari prudent, dibayar teramat mahal. Pemerintah harus mengucurkan ratusan triliun rupiah dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bermasalah.
Bukan itu saja, selanjutnya seluruh rakyat harus membayar puluhan triliun bunga BLBI setiap tahun sampai 2040 yang angkanya disembunyikan di APBN. Sementara para banditnya, yakni pejabat publik yang bertanggung jawab dan para konglomerat hitam, justru melenggang dan hidup supermewah. Tidak ada yang ditangkap dan dijatuhi hukuman berat, kecuali beberapa gelintir figuran.
“Ini tidak benar. Harus ada yang dihukum atas perbuatannya yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Sayangnya reformasi 1998 melupakan aspek ini. Akibatnya, para penjahat tadi bukan saja bebas, bahkan mereka membajak reformasi. Mereka kembali memegang kendali negara yang pernah mereka hancurkan,” ujar Rizal Ramli, geram, dua hari setelah Idul Fitri 1439 H.
RR yang saat mahasiswa pernah dipenjara karena melawan otoriterisme Orde Baru, sepertinya benar-benar ingin belajar dari kesalahan reformasi 1998. Dia tidak mau kehilangan momentum untuk menghukum siapa saja yang merusak Indonesia. Itulah sebabnya dia menyatakan “pada hari pertama menjadi Presiden”. Momentum ini penting, karena jika dibiarkan ditunda-tunda dan berlarut-larut, maka segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Para bandit perusak negara sangat mungkin melakukan konsolidasi, minimal menghilangkan bukti-bukti.
Kebijakan yang memiskinkan
Pada titik ini, maka pernyataan Menteri Keuangan era Dus Dur itu yang akan menangkap dan mengirim 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau terpencil bernyamuk malaria, menemukan konteksnya. Ya, memang harus ada yang dihukum atas berbagai kemiskinan dan derita yang dialami rakyat negeri ini.