Fahmi dan keluarganya sempat terpikirkan untuk ikut, namun mengingat istrinya tengah hamil tua (dengan perkiraan hari perkiraan lahirnya 28 September) ia mengurungkan niatnya.
Ancaman tsunami yang menjadi momok bagi sebagian warga juga disembunyikan Fahmi dari keluarganya.
"Saya pun mencoba berpikir positif. Letak geografis rumah saya berada di tempat tinggi. Jadi ancaman tsunami sangat kecil," ucapnya.
Pada malam hari, mereka dibuat panik dengan gempa susulan hingga pagi masih terus terjadi.
Ketakutan sanak keluarga pun menjadi. Akan tetapi, Fahmi berusaha menenangkan mereka.
Hingga tengah malam tak terhitung jumlah gempa yang terjadi.
Fahmi pun mengambil tikar dan membentangkannya di bahu jalan.
Istri dan ibunya pun mencoba beristirahat di sana. Anak yang digendongnya telah tertidur dan diletakannya di tikar tersebut.
Ini menjadi pengalaman pertamanya tidur di luar kamar.
Penuh pasien
Pada pagi hari, Sabtu (29/9/2018), gempa juga tak kunjung berhenti.
Namun, kekuatannya mulai berkurang. Fahmi pun memiliki niatan untuk meninggalkan Kota Palu secepatnya, kemudian ia mencoba mencari koneksi ke semua jaringan.
Penyewaan mobil tidak ada, sebab tidak adanya akses ke semua jalanan untuk keluar masuk karena banyaknya longsor.
Penerbangan umum juga tidak ada fasilitas, karena bandara rusak parah.
Di sepanjang perjalanan mencari akses keluar Palu, ia dikagetkan dengan ratusan mayat yang tergeletak di sejumlah titik.