Kisah Dokter Asal Pidie Aceh di Asmat Papua, Antara Kemanusiaan dan Rasa Rindu Anak Istri

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua.

KONTRIBUTOR KOMPAS TV TIMIKA, IRSUL PANCA ADITRA

SERAMBINEWS.COM - Sejak masih duduk di bangku Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama, Aceh Besar, Fajri Nurjamil (32) sudah bercita-cita untuk mengabdikan diri di pedalaman Papua.

Hasrat itu terus menggelora, hingga kemudian pada tahun 2013, pintu ke Papua terbuka lebar.

Saat itu, tepatnya pada bulan April, Kementerian Kesehatan membuka lowongan formasi dokter pegawai tidak tetap (PTT) untuk penempatan di seluruh Indonesia.

Saat itu, pemuda asal Beureunuen, Kabupaten Pidie ini, bertugas di Puskesmas Delima, Kabupaten Pidie sebagai dokter tenaga bhakti sukarelawan pada Dinas Kesehatan Pemkab Pidie.

Namun, ternyata tidaklah mudah mengambil keputusan.

Pasalnya, saat pintu terbuka, sang istri, Syafrina Ibrahim, tengah mengandung 4 bulan anak pertama mereka.

Melalui pertimbangan panjang, atas dukungan sang istri pula, demi mewujudkan impiannya, dokter Fajri kemudian memutuskan untuk mendaftar sebagai dokter PTT.

“Ada junior saya yang hubungi masa itu yaitu dokter Hidayat asal Laweung dan kami berdua mengambil keputusan dalam hitungan jam untuk mendaftarkan diri agar bisa melangkah ke Bumi Cenderawasih,” kata dokter Fajri kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.

(Viral! Kisah Dokter Cantik yang Bertugas di Pedalaman Papua, Jalan Sejauh 16 KM: Ingin Negara Tahu)

Ketika tiba waktu pengumuman, kebahagiaan sekaligus kesedihan campur aduk.

Dia dinyatakan lulus sebagai dokter PTT.

Dia bahagia karena bisa mewujudkan impiannya, tetapi juga sedih karena harus meninggalkan tanah kelahirannya, sang istri beserta keluarga besarnya.

Pada 1 Juni 2013, dokter Fajri bertolak ke Papua bersama dua rekannya yaitu, dokter Hidayat lulusan dari Fakultas Kedokteran Unaya dan dokter Dewi lulusan dari Fakultas Unsyiah.

Namun sebelum ketiganya bertolak ke Papua mereka mendapatkan briefing dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh.

Setelah selesai, mereka kemudian diberikan tiket pesawat dan uang saku untuk terbang ke pedalaman Papua.

Dokter Fajri sendiri mendapat tugas di wilayah Kabupaten Asmat, sedangkan dokter Hidayat ditempatkan di Kabupaten Puncak dan dokter Dewi di Kabupaten Yahukimo.

Sehari sebelum keberangkatan, mereka kemudian berkumpul dan mengatur strategi untuk keberangkatan ke Papua.

Segala hal mereka bicarakan dan diskusikan apa saja bekal yang harus mereka persiapkan untuk dibawa yang mungkin tidak mudah dijumpai di Papua.

Namun hal itu di luar dugaan mereka, karena semua perlengkapan dan kebutuhan yang mereka perlukan ada semuanya di Papua.

“Tepatnya 1 Juni kita berkumpul di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, dan perpisahan pun terjadi terhadap semua orang yang kami cintai dan menyayangi kami selama ini. Kami bertiga tetap menahan air mata dan menahan rasa sedih saat ingin meninggalkan keluarga yang kami cintai dan kami sayangi. Waktu pun berlalu karena pesawat sudah menunggu dan akhirnya kami meninggalkan mereka untuk pengabdian di pedalaman Papua,” kata dia.

(VIDEO - Terakreditasi B, Fakultas Kedokteran Unaya Siap Bersaing)

“Namun rasa kesedihan saya sangat mendalam saat kepergian saya untuk saudara kita se-Tanah Air di pedalaman Papua, saya harus meninggalkan istri yang sangat saya cintai dan sangat saya sayangi dalam keadaan lagi mengandung anak kami dan saya berjanji pada diri saya agar bisa menemaninya nanti saat melahirkan,” tambah dia.

Dengan menggunakan maskapai Garuda, tepatnya tanggal 2 Juni 2013 mereka bertiga akhirnya tiba di Bandara Sentani, Papua, Bumi Cenderawasih. Mereka kemudian di jemput oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua.

Sebelum dilepas ke wilayah tugas masing-masing, selama beberapa hari mereka diberikan pengetahuan tentang kondisi wilayah tugas dan materi kasus-kasus penyakit apa saja yang akan sering mereka hadapi.

Kini, dokter Fajri telah dikarunia dua anak perempuan yang diberinama Faiqa Shadira Al Safan (5).

Safan adalah nama distrik di pesisir pantai kabupaten Asmat.

Sedangkan anak keduanya diberi nama Fathia Hanifa Al Koroway.

Koroway adalah sebuah nama wilayah di antara Kabupaten Asmat, Yahukimo dan Boven Digoel.

(Inspirasi dari Nasrul Haidi, Alumnus Jeumala Amal yang Jadi Dokter Spesialis Bedah di Aceh)

Pengabdian di Papua

Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua. (KOMPAS.com/IRSUL PANCA ADITRA)

Fajri Nurjamil (32) masih ingat benar pada hari pertamanya bertolak ke Kabupaten Asmat, Papua.

Di hati, rasa bahagia bergelora.

Impiannya untuk mengabdi di Papua sudah di depan mata.

Namun, langkahnya memang tak mudah.

Di Kota Agats, dokter Fajri ditempatkan di Puskesmas Primapun, Distrik Safan.

Untuk mencapai distrik tersebut, dia harus menempuh perjalanan sungai selama kurang lebih 6 hingga 7 jam dari Distrik Agats yang merupakan ibu kota Kabupaten Asmat dengan menggunakan kapal cepat bermesin 85 PK.

Itupun tergantung cuaca dan pasang surutnya air sungai.

Dokter Fajri bertugas di Puskesmas Primapun sejak pertengahan Juni 2013 hingga Desember 2014.

Selanjutnya, pada Januari 2015 hingga kini dia ditugaskan di Puskesmas Suru-Suru, Distrik Suru-Suru.

“Saya juga sempat ditugaskan selama satu minggu di Puskesmas Mamugu-Batas Batu, Distrik Sawa Erma tahun 2014 dan Puskesmas Yausakor, Distrik Siret's tahun 2018 ini,” kata dia sambil memeriksa seorang anak saat ditemui Kompas.com.

Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua. (KOMPAS.com/IRSUL PANCA ADITRA)

(Lima Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Wabah Campak dan Gizi Buruk di Asmat)

Selama bertugas di Asmat, Fajri mengalami berbagai macam adaptasi dengan masyarakat sekitar maupun medan dan alamnya.

Awal bertugas, dia mengaku terkadang masyarakat banyak menolak dengan pelayanan kesehatan yang mereka berikan, seperti pemberian imunisasi kepada anak-anak maupun tindakan emergency yang harus diberikan kepada pasien.

Namun, semua itu sudah bisa dilalui setelah dirinya bersama rekan kerjanya selalu memberikan penyuluhan demi penyuluhan sehingga akhirnya masyarakat mengerti akan kesehatan.

Selain itu, dengan adanya perhatian khusus dari pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah Kabupaten Asmat, semua kendala dan kesulitan yang dihadapi sudah bisa dilalui.

“Alhamdulillah mereka menerima dan mulai mengerti akan pentingnya kesehatan yang dimulai sejak dini dan pentingnya kesehatan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari baik dalam perilaku hidup bersih dan sehat,” kata dia.

(Selain Palestina, ACT Juga Bantu 100 Ton Makanan untuk Warga Asmat yang Terkena Wabah Gizi Buruk)

Saudara Sendiri

Di pedalaman Papua, lanjut dia, sungai, lautan, gunung dan hutan-hutan adalah sahabat setia.

Fajri mengaku pernah terapung-apung di pesisir pantai selatan Papua laut Arafuru dan nyasar hingga ke sungai-sungai kecil di tengah hutan belantara ketika pulang dari pelayanan pada waktu dinihari.

Namun hal itu tidak pernah membuat dirinya dan rekan kerjanya jera dan menyerah dalam meluangkan waktu bersama masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan dan kegiatan sosial lainnya.

“Bersama alam di sini semuanya terasa indah ketika kami menjalani hidup dengan segala keterbatasan karena kami ingin selalu bersyukur kepada Sang Pencipta dan di balik semua keterbatasanlah, kami bersama alam menemukan kedamaian dalam melakukan pelayanan kesehatan di Asmat,” ujar dia.

Bagi dokter Fajri, masyarakat Asmat sudah seperti saudaranya sendiri.

Sebab, mereka selalu menuntun dia setiap langkahnya terhenti.

Pada saat dirinya kehilangan akal untuk bisa melewati suatu masalah baik dalam pelayanan kesehatan dan ketika mau merujuk pasien ke ibukota kabupaten, masyarakat inilah yang selalu menolong dan mendoakan dia dan rekan kerjanya.

Komitmen pada Kemanusiaan

Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua. (KOMPAS.com/IRSUL PANCA ADITRA)

“Masyarakat selalu mendoakan setiap langkah kami dan berbagai kesulitan yang kami lalui. Berkat dari izin Sang Pencipta langit dan bumi, alam menjawab doanya mereka di sepanjang perjalanan yang kami lalui,” tutur dia.

Walaupun nyawa menjadi taruhan dalam setiap perjalanan tugas dan ganasnya plasmodium malaria, namun tidak sedikit pun membuat langkahnya untuk mundur dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat karena dia percaya apapun yang dilaluinya, semuanya kembali kepada niat dan tujuan kita untuk mereka.

Dia mengatakan, seberat apapun hari-hari yang dilaluinya dalam pelayanan kesehatan di pedalaman Kabupaten Asmat di bagian pesisir selatan Papua itu, belum seberat apa yang telah dilalui rekan-rekannya para pejuang kesehatan di pegunungan tengah Papua, di pulau-pulau terluar di Papua, dan di daerah-daerah pedalaman lainnya yang ada di pedalaman Bumi Cenderawasih.

“Walaupun beratnya kehidupan yang kami lalui di pedalaman Bumi Cenderawasih, itu adalah hal biasa yang sudah dilalui oleh masyarakat di pedalaman Papua. Maka dari itulah kami di pedalaman Papua bisa banyak belajar bersyukur kepada-Nya dengan apa yang telah kami lalui di sini,” ujar dia.

“Inilah hal yang sangat terberat bagi saya yang terkadang selalu membuat hati saya selalu ingin menangis ketika rasa rindu dengan istri dan kedua putri saya tercinta setiap harinya di pedalaman Bumi Cenderawasih. Namun saya tetap harus tegar dan kuat karena saya yakin semuanya akan indah pada waktunya,” pungkas dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Dokter Fajri: Asli Aceh, Mengabdi di Papua (2)"  dan "Kisah Dokter di Asmat Papua, Kemanusiaan Lebih Tinggi dari Rasa Rindu untuk Anak Istri (1)".

Berita Terkini