Menurut dia, yang meningkatkan risiko gangguan kardiovaskuler adalah yang berantai panjang (jumlah cincin karbon lebih dari 17). Sumber utamanya adalah lemak hewani.
Sedangkan komponen utama minyak kelapa tidak lain asam lemak rantai sedang. Asam laurat punya 12 atom karbon; asam kaprat 10; asam kaprilat 8; dan asam kaproat 6. Menurut dia lagi, lemak kelas ini sama sekali berbeda.
Di dalam usus, lemak-lemak ini mudah diserap karena ukuran molekulnya tidak terlalu besar seperti lemak rantai panjang.
Di dalam peredaran darah, lemak rantai sedang ini segera masuk ke dalam metabolisme energi. Dia tidak ditimbun menjadi jaringan lemak ataupun dimetabolisme menjadi kolesterol.
Dalam pencernaan, lemak-lemak ini tidak membebani kerja pankreas, sebagaimana gula-gulaan.
Karena itulah, masih menurut Murray Price, minyak kelapa bukan hanya tidak melejitkan kadar gula darah, tapi juga sumber energi yang cocok buat penderita diabetes.
Baca: Melaju dengan Kecepatan 150 Km/Jam, Lamborghini Seharga 5 Miliar Nyungsep di Tol Solo-Sragen
Antimikroba
Di samping bisa mengurangi risiko terjadinya penyakit-penyakit degeneratif, menurut Price, minyak kelapa juga merupakan antibiotik alami yang bisa diandalkan. la pun menguatkan pendapatnya ini dengan mengutip banyak penelitan.
Menurut dia, asam laurat paling poten melawan bakteri dan virus yang membran selnya berlapis lemak (lipid coated microorganism). Di antaranya, bakteri Heliicobacter pylori (penyebab tukak lambung), virus influenza, herpes, hepatitis C, cytomegalovirus, bahkan HIV
Sedangkan asam kaprilatnya efektif menghalau jamur kandida (penyebab keputihan pada wanita).
Untuk menguatkan ini, ia menceritakan pengalaman Chris Dafoe, seorang penderita HIV/AIDS asal Indiana, Amerika Serikat, yang sembuh setelah makan kelapa setiap hari.
Tak lupa ia pun mengutip hasil penelitian awal Cornardo Dayrit, farmakolog dari University of the Philippines tentang pengaruh monolaurin terhadap virus HIV.
Namun, dr. Zunilda S. Bustami, MS, Sp.FK, farmakolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menggarisbawahi cara mengambil kesimpulan semacam ini.
Menurut dia, suatu zat yang punya aktivitas antimikroba di tingkat laboratorium, tidak berarti pasti punya aktivitas serupa saat diminum.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Misalnya saja, zat itu tidak bisa sampai ke tempat kerja yang dituju dalam kadar yang cukup.