KPK Lirik Kasus CT Scan RSUZA

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

HAYATUDDIN TANJUNG,Kadiv Advokasi GeRAK

* Surat GeRAK Aceh Ditanggapi

BANDA ACEH - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai melirik kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) berupa computerized tomography scanner (CT Scan) pada Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh tahun anggaran 2008 dengan kerugian Rp 15,3 miliar lebih dari pagu Rp 39 miliar.

Masuknya KPK untuk mengawasi penanganan kasus itu, setelah merespons surat dari Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh pada 8 Februari 2019 yang meminta lembaga antirasuah tersebut mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi CT Scan pada RSUZA yang selama ini ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh.

Laporan GeRAK tersebut tidak terlepas dari sikap Kepala Kajati Aceh, Irdam MH yang sebelumnya mengusulkan kepada Jaksa Agung untuk mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas kasus itu. Usulan Kajati tersebut disampaikan pada awal Januari 2019.

Menjawab surat GeRAK, KPK menyatakan bahwa aduan GeRAK akan dijadikan bahan koordinasi dan supervisi (korsup) atas penanganan kasus yang sedang ditanggani Kejati Aceh itu.

Kepala Divisi (Kadiv) Advokasi Korupsi Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Hayatuddin Tanjung kepada Serambi di Banda Aceh, Kamis (4/4) mengatakan pihaknya menerima surat balasan atau tanggapan dari KPK nomor R/1338/PM.00.00/40-43/03/2019 itu pada Senin (1/4) lalu.

“Kami sudah terima surat tanggapan dari KPK terkait pengambilalihan penanganan kasus bahwa permohonan GeRAK Aceh tersebut sudah dijadikan bahan koordinasi dan supervisi oleh KPK,” kata Hayatuddin Tanjung.

Menurut Hayatuddin, pengusulan SP3 yang diajukan Kajati Aceh dengan alasan para tersangka telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 15,3 miliar itu bertentangan dengan prosedur hukum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan perbuatan dan delik formil dari tindak pidana yang dilakukan para tersangka.

“Jika alasan SP3 karena tersangka sudah mengembalikan kerugian keuangan negara, kemudian Kejati Aceh mengusulkan untuk menghentikan perkara, ini tidak logis dan patut diduga adanya potensi lain yang sarat dengan kepentingan,” ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kajati Aceh, Irdam MH menegaskan telah mengusulkan penghentian kasus pengadaan alkes CT Scan dan kardiologi di RSUZA Banda Aceh tahun anggaran 2008 ke Jaksa Agung. Alasan Kajati mengusulkan kasus itu dihentikan karena para tersangka telah mengembalikan semua kerugian negara yang totalnya mencapai 15,3 miliar.

Informasi usulan SP3 kasus tersebut sempat menyita perhartian banyak pihak lantaran kasus itu sudah lama mangkrak. Apalagi keputusan itu diambil setelah tiga bulan Irdam menjabat Kajati Aceh menggantikan Dr Chairul Amir MH. Padahal, kasus itu telah lama ditangani pihak Kejati dan sudah ada lima tersangkanya.

Bahkan tiga tersangka ditetapkan tiga bulan sebelum usulan itu diajukan, yaitu pada Oktober 2018 semasa kepemimpinan Chairul Amir. Ketiga tersangka itu adalah ketua dan sekretaris pelelangan proyek saat itu, SU dan M, serta rekanan dari CV Mutiara Indah berinisial B.

Jauh sebelumnya, tepatnya 1 Juli 2014, penyidik telah lebih dahulu menetapkan dua tersangka, yaitu mantan direktur RSUZA, dr Taufik Mahdi SpOG dan mantan kepala Bagian Sublayanan dan Program RSUZA, Toni.

Hayatuddin berharap KPK mempercepat proses korsup kasus ini, sehingga tidak terkesan adanya tebang pilih dalam penanganan perkara itu mengingat penanganan kasus tersebut sudah menyita waktu cukup lama.

Halaman
12

Berita Terkini