Jurnalisme Warga

Menyusuri Riak Danau Lut Tawar

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Herman RN, Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Tim Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh-Sumut.

Boat yang kami tumpangi kemudian berputar haluan, kembali ke arah barat, tempat kami pertama melakukan perjalanan. Baru sebentar melaju, tiba-tiba saja boat itu mati.

Jantung saya nyaris berhenti tatkala seorang pemuda, anak Pak Martis, mengatakan sudah habis minyak. “Tenang, masih ada satu jeriken lagi,” katanya kemudian sambil tersenyum.

“Berarti satu kali lintasan dari timur ke barat menghabiskan 30 liter solar ya? Ini diisi 30 liter lagi? Total 60 liter?” tanya saya bertubi-tubi.

Pemuda itu mengangguk. “Kalau kita gunakan mesin lebih kecil PK-nya mungkin tidak sampai 60 liter,” lanjut sang pemuda.

Sejurus kemudian, suara mengaji mendayu dari tepi danau, baik sebelah utara maupun selatan. Petanda waktu Magrib segera tiba. Pak Martis mempercepat laju boat. Dalam laju boat yang lebih cepat dari semula, lambaian bayu lebih terasa.

Perlahan, di tepi danau, di bawah bukit-bukit, terlihat lampu menyala kerlap-kerlip. Tentu saja itu penerangan di rumah-rumah penduduk. Kerlap-kerlip lampu tersebut persis seperti bintang di atas permukaan danau. Keindahan yang tiada tara untuk mata yang memandang.

Sesampai di tempat semula, lokasi objek wisata yang akan dikembangkan Pak Martis, kami melaksanakan shalat Magrib berjamaah. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya ucapkan sepatah kata terima kasih dalam bahasa Gayo buat Pak Martis dan keluarganya yang telah memberikan saya pengalaman baru dalam hidup ini.

Untuk melengkapi kebahagiaan tersebut, sebelumnya saya sempatkan membaca sebuah puisi spontan tentang Lut Tawar dari atas sebuah perahu kayu. Maka, nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan? (hermanrn13@gmail.com)

Berita Terkini