Dari Romantisme Kota Tua, Kini Peunayong Mulai Sumringah
Laporan Nurul Hayati | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Peunayong mulai bersolek. Sejak diluncurkan setahun lalu, wajah Peunayong kini berganti rupa dari 'kota tua' yang identik kumuh menjadi tampil berseri. Adalah Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman SE Ak MM, yang menjadi sang penggagas program. Ia turun tangan langsung menorehkan kuas cat di permukaan dinding salah satu toko di Jalan WR Supratman, Peunayong. Saat kota itu genap berusia 813 tahun.
Baca: Tabrakan Maut di Subulussalam, Seorang Pelajar Meninggal Tergilas Truk Bermuatan Sawit
Baca: Anggota Panwascam di Bireuen Tumbang, Ini Penyebabnya
Baca: Kedatangan Jenazah Muhammad Ikram di Rumah Keluarga, Disambut Shalawat dan Isak Tangis
"Banda Aceh sudah sekian lama tidak dilakukan pengecatan atau disolek. Maka hari ini kita bersolek kembali untuk memperindah Kota Banda Aceh, sesuai dengan tekad kita, ‘Banda Aceh Indah dan Beriman’," kata Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman usai pengecatan perdana kala itu, Rabu, (4/4/2018).
Setahun berlalu. Kini jika anda melintasi kawasan tersebut, maka anda akan mendapati semburat warna warni membalut bangunan-bangunan tua yang mengapit sisi Jalan A Yani dan WR Supratman.
Menyulap deretan rumah toko (ruko) yang sebelumnya terlihat bermuram durja, menjadi sumringah. Di persimpangan jalan, mural memenuhi bidang tembok berwarna dasar kuning dengan sentuhan merah menyala. Menegaskan paras Peunayong yang makin berseri.
Di bawahnya, sebuah prasasti bercerita tentang asal muasal lahirnya kawasan tersebut.
"Peunayong dikenal sebagai Kawasan Pecinan yang terletak di tepi Sungai Aceh. Para pedagang Tionghoa banyak yang bermukim di kawasan ini karena merupakan jalur lalu lintas perdagangan dalam kota masa kerajaan dulu. Peta-peta kuno menunjukkan bahwa sudah sejak abad ke-17 para pedagang Tionghoa mendiami kawasan ini," demikian bunyi prasasti yang dirancang oleh Tim Bustanussalatin.
Alkisah berabad-abad yang lampau, seorang Bahariawan Tiongkok, Laksamana Cheng Ho merambah gugusan kepulauan terbesar di dunia bernama Nusantara. Kota-kota yang disinggahinya pun berkembang menjadi pusat perdagangan. Termasuk desa yang kini bernama Peunayong atau yang dalam bahasa lokal bermakna peumayong (memayungi).
Menurut catatan Hakka Aceh, sebuah perkumpulan Tionghoa lintas suku dan agama, kini sekitar 4.000-an orang etnis Tionghoa yang berasal dari empat suku yaitu Hakka, Hainan, Konghu, dan Tio-Ciu menjadi jejak sang laksamana.
Serambinews.com yang menyusuri Peunayong, Selasa (23/4/2019) mendapati tak banyak yang berubah dengan aktivitas warga di kawasan yang juga dikenal sebagai pusat perdagangan itu. Lain halnya dengan bangunan fisik.
Naga dan lampion yang menyembul di sana sini menegaskan nuansa oriental. Dekorasi ruangan dengan tema senada begitu mudah ditemukan tatkala menginjakkan kaki di Kawasan Peunayong, Kecamatan Kuta Alam. Tidak hanya di rumah ibadah, tapi juga di pertokoan hingga tempat kediaman. Tak heran, kawasan ini telah didiami oleh etnis Tionghoa secara turun temurun.
Hidup berdampingan dengan pribumi yang mendiami jantung Kota Banda Aceh.
“Selain melalui jalur dagang, hubungan dengan pribumi juga terjalin melalui perkawinan dengan cara menjadi mualaf,” ujar Ketua Umum Hakka Aceh, Kho Khie Siong (55), sebuah perkumpulan Tionghoa lintas suku dan agama yang diwawancarai Serambinews.com kala itu.
Bagi pria paruh baya yang akrab disapa Aky itu, ia dan sebagian warga turunan lainnya, Aceh khususnya Peunayong adalah kampung halaman. Meskipun pada zaman Orba keberadaan etnis terbanyak di dunia ini pernah didemo besar-besaran dan bencana mahadahsyat tsunami merenggut hingga seperempat populasi mereka.