Kisah Berdarah di Balik Perayaan Libur 1 Mei atau yang Populer Sebagai Hari Buruh

Editor: Fatimah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI -- Ribuan buruh merayakan hari buruh internasional (May Day) dengan melakukan long march dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/5/2015). Tuntutan utama mereka yaitu peningkatan kesejahteraan dan penghapusan sistem kerja alih daya.

SERAMBINEWS.COM - Pada hari ini 1 Mei atau lebih dikenal dengan sebutan Mayday yang menjadi perayaan hari buruh Internasional.

Banyak negara-negara merayakan hari buru, namun tak sedikit di antara mereka yang mengetahui sisi kelam di balik perayaan ini.

Kisahnya berawal dari Amerika, tepatnya abad ke-19 ketika kelas pekerja dipaksa untuk bekerja secara terus menenerus dari 10 hingga 16 jam kerja sehari.

Kematian dan cedera adalah hal biasa yang banyak terjadi di tempat kerja, yang mengilhami buku-buku klasik semacam Upton Sinclair's The Jungle dan Jack Iron's.

Baca: Fakta Tentang Bhutan, Negara Dengan Layanan Kesehatan Gratis dan Tidak Ada Tunawisma

Pada awal 1860-an para buruh dan kelas pekerja yang resah mencoba untuk memperpendek jam kerja mereka tanpa ada pemotongan gaji.

Tetapi pada akhir 1880-an tenaga kerja terorganisir mampu mengumpulkan cukup kekuatan untuk mendeklarasikan hari dan jam kerja menjadi 8 jam per hari.

Proklamasi ini tanpa persetujuan pengusaha, namun dituntut oleh banyak kelas pekerja.

Pada saat itu, fundamental sosialis adalah gagasan yang menarik bagi orang-orang kelas pekerja, banyak di antara mereka yang tertarik pada ideologi kontrol kelas pekerja.

Baca: Jengah Dengan Pencurian Ikan, Menteri Susi Minta Kapal Pencuri Ikan Tak Dilelang Tapi Dimusnahkan

Para pekerja telah melihat secara langsung bahwa kapitalisme hanya menguntungkan bos mereka, sedangkan hak-hak atas kebebasan bekerja mereka terus dikebiri.

Kematian yang sia-sia setiap tahun menjadi dampak yang terjadi setiap tahun, harapan hidup rendan serta kemelaratan bagi mereka.

Sosialisme menawarkan pilihan lain, berbagai organisasi sosialis bermunculan, sepanjang abad ke-19 dari partai politik hingga kelompok paduan suara.

Faktanya, mereka dari kalangan sosialis yang terpilih bekerja di kantor pemerintahan oleh daerah pemiliihan masing-masing.

Baca: 8 Mei 2019, Persiraja Kembali Latihan. Ini Wajah Baru yang Memperkuat Tim Lantak Laju

Namun, sekali lagi, banyak sosialis diliputi oleh proses politik yang jelas-jelas dikendalikan oleh bisnis besar, dan mesin politik dua partai.

Puluhan ribu sosialis mematahan aturan dari partai mereka, dan menolak seluruh proses politik yang dipandang tak lebih dari pelindung bagi orang-orang kaya, dan membentuk kelompok anarkis di seluruh negeri.

Secara harfiah para pekerja menganut cita-cita anarkisme yang berusaha mengakhiri struktur hierarkis, menekan industri yang mengendalikan pekerja.

Halaman
123

Berita Terkini