Polemik Sekolah di Bulan Ramadhan, Begini Pendapat Anggota DPRA dan Pemerhati Budaya Aceh

Penulis: Zainal Arifin M Nur
Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kolase foto Anggota DPRA, Asrizal H Asnawi dan Kolektor naskah kuno Aceh, Tarmizi A Hamid.

Anggota DPRA dan Pemerhati Budaya Aceh Minta Tinjau Ulang Sekolah di Bulan Ramadhan

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Banda Aceh yang tetap melaksanakan proses belajar mengajar selama bulan Ramadhan bagi siswa SD dan SMP, menimbulkan reaksi banyak kalangan.

Anggota DPRA, Asrizal H Asnawi dan Pemerhati Budaya dan Tradisi Aceh, Tarmizi A Hamid, adalah dua di antara pihak yang mengkritik kebijakan tersebut.

Kedua orang ini meminta kepada pihak Dinas Pendidikan Aceh dan kabupaten/kota, untuk meninjau kembali kebijakan tetap melaksanakan proses belajar mengajar seperti biasa, di bulan Ramadhan. 

"Kekhususan Aceh perlu kita prioritaskan, termasuk dalam hal proses belajar mengajar selama bulan puasa nanti," kata Asrizal melalui pernyataan tertulis kepada Serambinews.com, Kamis (2/4/2019) malam.

Asrizal menyinggung adanya ketidaksesuaian pernyataan antara Kepala Dinas Pendidikan Aceh dengan keadaan dan kebijakan yang dilaksanakan kepala dinas pendidikan di kabupaten/kota. 

Menurut Asrizal, dalam sebuah pemberitaan media online, kepala dinas pendidikan Aceh yang menyebut kegiatan sekolah selama bulan Ramadhan adalah bersifat ekstrakurikuler.

Sementara, dirinya banyak menerima informasi bahwa beberapa kepala dinas pendidikan di kabupaten/kota menyatakan tetap melaksanakan proses belajar mengajar seperti biasa, di bulan Ramadhan. 

Baca: Ramadan 1440 H, Pelajar di Banda Aceh Tetap Sekolah, Aceh Besar Gelar Gebyar Ramadhan

Bahkan, ada sekolah yang melaksanakan ujian di bulan Ramadhan.

"Kita menerima keluhan masyarakat, ada sekolah yang laksanakan ujian. Seharusnya ini tidak terjadi, harus seragam semuanya," ungkap politisi muda PAN Aceh ini.

Selain itu, Asrizal menyebut adanya keinginan orang tua murid agar selama bulan Ramadhan dapat mendidik anaknya di rumah, serta memudahkan memantau pelaksanaan puasa dan ibadah lain terhadap putra-putrinya.

Ditambahkan, momentum libur sekolah selama Ramadhan bisa dijadikan sarana pengawasan dan kontrol dari orang tua terhadap prestasi belajar anaknya selama sebelas bulan berjalan.

Baca: Penerimaan Peserta Didik Baru, Sistem Zonasi Perlu Disiasati Melalui Pendaftaran Online

Harus Ditinjau Ulang

Pemerhati Budaya dan Tradisi Aceh yang juga kolektor naskah kuno Aceh, Tarmizi A Hamid, juga merasa heran dengan kebijakan beberapa dinas pendidikan dan sekolah/pesantren terpadu di Aceh yang tetap melaksanakan proses belajar mengajar pada Bulan Suci Ramadhan.

“Sejak dulu seluruh sekolah di Aceh diliburkan selama bulan Ramadhan,  untuk memberi kesempatan kepada anak-anak yang masih di bawah umur untuk melatih diri berpuasa secara benar, dan memperdalam ilmu agama, termasuk tarawih dan tadarus,” ungkap Tarmizi A Hamid kepada Serambinews.com, Kamis (2/4/2019) malam.

Menurutnya, jika anak-anak dipaksa untuk bersekolah, maka mereka pasti akan kecapaian sehingga punya alasan untuk tidak berpuasa.

Imbas lainnya, jika tetap berpuasa sampai magrib tiba, anak-anak akan lelah dan lemas pada malamnya, sehingga tidak lagi pergi belajar Alquran atau bertadarus pada malam hari.

“Apalagi, kebiasaan anak-anak kita, terutama anak laki-laki pasti akan bermain sepakbola atau permainan lainnya saat sekolah,” ujarnya.

“Saya ingat betul, para pelajar, termasuk santri dayah dan pesantren terpadu juga diliburkan. Mereka diberikan buku absen tarawih, tadarus, dan sesekali disuruh bikin tulisan isi tausiah. Bagi santri dayah malah diberi tugas untuk mengasah kemampuan berpidato di meunasah-meunasah,” ujarnya.  

Laporan kegiatan selama Ramadhan itu, kata Tamizi, akan disampaikan pada saat sekolah dimulai setelah lebaran.

“Inilah yang kemarin saya katakana pelan-pelan indentitas keacehan semakin pudar,” ungkap pria yang akrab disapa Cek Midi ini.

Karenanya, Cek Midi berharap kepada pihak Dinas Pendidikan Aceh, khusunya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh, untuk meninjau kembali kebijakan tersebut.

“Apalagi ini adalah Aceh, daerah khusus yang menerapkan syariat Islam. Saya pikir kalau alasan agar cukup jam pelajaran, kan bisa digunakan waktu lain dengan cara bikin les dan lainnya. Pasti ada jalan lain untuk mencukupkan jam pelajaran. Mari kita muliakan dan istimewakan bulan Suci Ramadhan,” pungkas Tarmizi A Hamid.

Baca: Identitas Aceh, Masih Adakah? Begini Paparan Ustaz Masrul Aidi, Tarmizi A Hamid, dan TA Sakti

Diberitakan sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Banda Aceh, Dr Saminan M.Pd yang dikonfirmasi Serambinews.com Selasa (30/4/2019) mengatakan, tahun ini tetap ada proses belajar mengajar di bulan Ramadhan.

Hal ini dilakukan karena mengikuti kalender akademik Aceh yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Aceh.

Alasannya, karena ada aturan bahwa dalam satu semester harus ada minimal 96 hari tatap muka.

“Jika sekolah diliburkan saat Ramadhan, kata Saminan, maka 96 hari tatap muka tidak dapat dipenuhi,” katanya.

Karena jika mengaju pada kalender akademik Aceh, maka mereka harus mengejar belajar di bulan Ramadhan, agar target minimal 96 hari tatap muka tercapai.

Sebenarnya, kata Kadisdikbud, ada opsi lain yang bisa mereka tempuh, yaitu meliburkan Ramadhan dan memindahkan jatah belajar saat Ramadhan menjadi setelah lebaran Idul Fitri.

“Kalau kita geser belajar yang Ramadhan ke setelah ramadhan, maka akan kena ke libur tahunan yang serentak. Nanti saat anak anak lain di Indonesia sudah mulai libur, justru anak anak kita Aceh masih belajar,” ujar Saminan.

Dengan kalender yang sudah ada saat ini, maka setelah Ramadhan siswa langsung masuk untuk mengikuti ujian kenaikan kelas.

Ia menjelaskan, untuk satu minggu pertama Ramadhan siswa tetap akan diliburkan.

Mereka baru bersekolah saat memasuki minggu kedua dan ketiga Ramadhan.

Namun untuk jam belajar di bulan Ramadhan akan lebih singkat dari hari biasanya, karena setiap satu jam mata pelajaran akan dikurangi 5-10 menit. Sehingga siswa bisa pulang 2-3 jam lebih cepat dari hari biasa.

Terkait Pesantren Kilat, Saminan menjelaskan, bahwa  tidak ada instruksi khusus untuk melaksanakannya.

Namun jika sekolah berinisiatif tetap melaksanakan maka dipersilahkan menyusun jadwal yang sesuai.

Namun, lanjut Saminan, terkait jadwa belajar hingga pesantren kilat hingga saat ini belum ada instruksi khusus dari Gubernur.

“Jika nanti ada instruksi amak akan kita kondisikan lagi sesuai arahan,” tutup Saminan.(*)

Berita Terkini