Embarkasi Pulau Rubiah, Situs Perhajian yang Terlupakan

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

WISATAWAN menerobos ilalang seusai melihat Gedung Embarkasi Haji peninggalan kolonial Belanda yang berada di Pulau Rubiah, Sabang. Gedung ini dibangun tahun 1920 dan kini tidak mendapat perhatian pemerintah. Foto direkam April 2019.

SABANG tidak hanya terkenal dengan keindahan objek wisata, tapi juga tersimpan berbagai sejarah.

Mulai dari masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, Pulau Weh juga merupakan titik perhajian pertama di Indonesia.

Sebelum Indonesia merdeka, Sabang sudah menjadi titik kumpul bagi para calon jamaah haji nusantara yang hendak ke Mekkah.

Sebelum berangkat dan setelah pulang, semua jamaah dikarantina di Sabang.

Para jamaah diberangkatkan dengan kapal layar yang disediakan oleh Sabang Maatschappij (perusahaan Belanda yang mengelola Pelabuhan Bebas Sabang).

Saat itu, Sabang sudah terkenal dengan infrastuktur yang memadai, seperti pelabuhan.

Menurut sejarawan, alasan pemerintah Belanda membentuk ‘travel haji’ di Aceh karena ingin merangkul masyarakat Aceh yang dikenal taat supaya tunduk kepada mereka.

Sebelum diberangkatkan, calon jamaah haji terlebih dahulu dikarantina di embarkasi haji.

Lokasinya berada di Pulau Rubiah, sebuah pulau yang terpisah dari Pulau Sabang yang jaraknya hanya lima menit menyeberang dengan boat.

Baca: Sabang Cikal Bakal Embarkasi Haji Indonesia

Embarkasi itu dibangun pemerintahan Belanda pada tahun 1920.

Sayangnya, tak banyak masyarakat luar tahu tentang situs sejarah perhajian masa kolonial tersebut.

Kebanyakan wisatawan yang berkunjung ke Pulau Rubiah hanya ingin menghabiskan waktu untuk menikmati pesona wisata bahari, seperti snorkeling, dan menyelam.

Padahal, tak jauh dari objek wisata bahari tersebut, terdapat lokasi embarkasi haji pertama dalam sejarah perhajian Indonesia.

Jaraknya, hanya terpaut 150 meter dari bibir pantai.

Gedung embarkasi haji tersebut berada di tengah-tengah pulau.

Apa lacur, bangunan itu kini tak terawat dan luput dari perhatian pemerintah, baik pusat maupun Pemerintah Aceh dan Sabang.

Terakhir kali mengalami pemugaran ketika dai kondang, Ustaz Abdul Somad, datang ke sana sekitar November 2018.

Dari amatan Serambi, tidak sulit untuk ke sana. Cukup berjalan kaki mengikuti jalan setapak.

Di sana berdiri dua bangunan berkonstruksi beton, berukuran besar atau utama dan kecil.

Letaknya tidak berjauhan.

Sebuah prasasti dibangun untuk menjelaskan sejarah pembangunan gedung dan fungsinya.

Bangunan utama memiliki beberapa ruang.

Di bagian belakang bangunan juga terdapat toilet.

Diyakini ruang-ruang itu digunakan calon jamaah haji untuk beristirahat dan beribadah selama masa karantina.

Pencatatan administrasi juga berlangsung di sana.

Saat Serambi mengunjungi lokasi itu, beberapa bagian bangunan tampak masih bagus.

Cat di dinding juga belum terlihat pudar.

Diyakini, perbaikan itu dilakukan jelang kedatangan Ustaz Abdul Somad.

Tapi, kondisi pintu, jendela, plafon, dan atap banyak yang rusak dan terkesan dibiarkan begitu saja.

Di depan bangunan itu, terdapat bukti sejarah lain yang masih bisa dilihat yaitu bak air dalam ukuran besar untuk calon jamaah haji mandi dan bersuci.

Selain itu juga terdapat bekas-bekas pondasi bangunan.

Namun semua itu sudah ditutupi semak belukar.

Sekilas, bangunan zaman kolonial Belanda tersebut tampak tersembunyi karena ditutupi pepohonan besar. Di sekelilingnya juga dipenuhi semak dan ilalang.

Jika pepohonan itu tidak ada, maka akan terlihat dengan jelas bentangan Samudera Hindia dan Pantai Iboih.

Teuku Yahya (68) yang merupakan keturunan dari pemilik sebagian besar tanah di Pulau Rubiah, menceritakan tentang pengurusan jamaah haji masa Belanda.

Menurutnya, gedung embarkasi haji di Pulau Rubiah hanya bertahan hingga perang dunia kedua.

Saat Jepang berhasil menguasai Indonesia, gedung-gedung tersebut dihancurkan oleh serdadu dari Negeri Matahari Terbit itu.

Kendati demikian, proses pemberangkatan jamaah haji saat itu masih dilakukan dari Sabang sampai dengan tahun 70-an.

Yahya yang sudah menetap di Pulau Rubiah sejak tahun 60-an tersebut menjadi saksi mata bagaimana pemberangkatan jamaah haji dilakukan kala itu.

Menurut Yahya, hampir separuh pulau yang luasnya sekitar 26 hektare itu berdiri pemondokan jamaah haji, selain dua bangunan yang tersisa saat ini.

Di embarkasi ini semua jamaah dicek kesehatan oleh petugas kesehatan yang disediakan pemerintahan Belanda.

Hal itu dilakukan agar jamaah tidak terserang penyakit mengingat lamanya perjalanan ke Tanah Suci.

Untuk pergi saja menghabiskan waktu 15 hari dan pulang 15 hari.

Embarkasi itu juga dilengkapi berbagai fasilitas penunjang, seperti rumah sakit dan laundry.

Hanya air bersih untuk jamaah yang dipasok dari Pulau Sabang, karena di Pulau Rubiah tidak ada sumber air bersih.

Air bersih, kata dia, diangkut dengan kapal dan ditampung dalam bak besar.

Sayangnya, bangunan tua itu kini hanya tinggal pondasi.

Menurut Yahya, banyak tangan-tangan jahil merusak bangunan itu, selain dimakan usia.

Besi-besi tua jadi incaran untuk meraup keuntungan pribadi.

Beberapa penginapan milik warga kini terlihat berdiri di atas tapak pondasi bangunan zaman itu.

Yahya mengaku, selama menetap di Pulau Rubiah, ia hanya sekali melihat dua gedung embarkasi haji yang tersisa itu direhab oleh pemerintah provinsi.

Sayang, dia tidak ingat tahun berapa direhabilitasi.

“Sudah lama, sebelum tsunami,” katanya dalam bahasa Aceh.

***

Bukti sejarah perhajian pertama yang masih terawat hingga saat ini hanya Masjid Kampung Haji yang dibangun pada 1914 oleh Sabang Maatschappij dan asrama haji.

Bangunan ini terletak di permukiman warga, Gampong Kuta Timu, Kota Sabang, jauh dengan embarkasi haji di Pulau Rubiah.

Baca: Masjid Kampung Haji

Bangunan itu kini menjadi objek wisata religi bagi wisatawan yang ingin mengetahui tentang sejarah perjalanan haji pertama di Indonesia.

Jika gedung embarkasi haji itu dipugar, tentu akan menambah nilai daya tarik wisata religi, selain wisata bahari.

Pemerhati sejarah Aceh, Tarmizi A Hamid mengatakan, gedung embarkasi haji era Belanda itu bukan saja aset masyarakat Aceh, tapi milik rakyat Indonesia.

Sebab, jamaah haji yang berangkat ke Mekkah dari Pulau Rubiah bukan saja masyarakat Aceh, tapi juga dari luar Aceh hingga masyarakat negara tetangga.

“Embarkasi haji Pulau Rubiah, tidak semata-mata mengurus jamaah haji asal Aceh untuk berangkat ke Mekkah, tapi juga banyak masyarakat dari luar Aceh. Ini terjadi karena satu-satunya embarkasi yang pertama berdiri di Indonesia memang di Pulau Rubiah,” katanya.

Karena itu, Tarmizi berharap kepada pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun Sabang agar membangun monumen perhajian pertama Indonesia di Pulau Rubiah, seperti membangun monumen Tugu Kilo Meter Nol.

Selain menjadi destinasi wisata religi juga sebagai bukti sejarah titik awal perhajian Indonesia.

“Ini salah satu tanggungjawab kita bersama menjaganya. Replika yang ditinggalkan kolonial Belanda ini harus diperhatikan oleh pemerintah sendiri sebagai petanda jejak sejarah bahwa embarkasi pertama Indonesia terletak di Pulau Rubiah, Sabang,” ujar dia.

Jika situs itu tidak diperhatikan, sambung Tarmizi, maka Indonesia akan kehilangan sejarah besar tentang perhajian.

“Sehingga generasi yang akan datang akan kehilangan nilai-nilai sejarah karena tidak kita perhatikan sama sekali,” tegas Tarmizi yang juga kolektor naskah kuno.(masrizal bin zairi)

Berita Terkini