Melihat ketidaksesuaian capaian antara harapan dengan kenyataan, Nur Zahri ST, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh, menyarankan agar Pemerintah Aceh melakukan evaluasi menyeluruh terhadap target-target pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan, dan lain-lain yang terdapat dalam dokumen RPJMA.
Menurutnya, target-target itu harus direvisi agar sesuai dengan kemampuan kerja SKPA (Serambi, 17/7/2019).
Baca: Koreksi Target, atau ‘Aceh Hebat’ Gagal!
Usulan Nur Zahri yang sarjana penerbangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mendapat tanggapan beragam dari publik.
Ali Juhairi, mantan pejabat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang alumnus Queensland University Australia, menulis di dinding FB-nya: Biar wajah tidak tampak terlalu jelek, maka cermin harus diburamkan.
Agar kinerja tak tampak jelek, maka target yang harus diturunkan.
Sementara sarjana lain ada yang menulis di FBnya: Buruk muka, cermin dibelah.
Aceh Hebat dan RPJMA
RPJM berfungsi sebagai patron atau acuan bagi dinas-dinas teknis (SKPA/SKPK) dalam menyusun dan menjalankan program-program pembangunan selama satu periode kepemimpinan (5 tahun).
Jika semua SKPA/SKPK berpedoman pada amanah yang ada dalam RPJMA/RPJMK, maka target pembangunan akan mudah tercapai; tahun demi tahun hingga 5 tahun masa kepemimpinan.
Dokumen RPJMA 2017-2022 sudah menjadi produk hukum karena ia telah dibahas dan diparipurnakan oleh wakil rakyat di gedung parlemen.
Konsekuensinya, semua amanah yang ada dalam RPJMA harus direalisasikan oleh eksekutif (gubernur bersama kabinet).
Sementara legislatif (DPRA) wajib melakukan fungsi kontrol secara ketat dalam pelaksanaan amanah RPJM.
Karena itu, kritik konstruktif dari anggota DPRA, pengamat, dan media massa tidak perlu disikapi secara emosional oleh eksekutif.
Sebaliknya, harus dijadikan sebagai cambuk dalam meraih target-target yang ada dalam RPJMA.
Sementara lembaga yudikatif (mahkamah, termasuk KPK) harus memantau implementasi RPJMA agar tidak keluar jalur, jika ada nekat keluar jalur maka “sekolahkan” saja.