Wanita Pemulung Ini Naik Haji Setelah 26 Tahun Menabung Hasil Jual Botol Bekas dan Pasir
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Kisah inspirasi tentang sosok yang berjuang keras untuk menjadi tamu Allah, tetap saja menarik untuk dibahas.
Maryani (63) wanita Bogor yang bekerja sebagai pemulung, dapat menjadi contoh tentang kuatnya keinginan seorang hamba untuk mengunjungi Rumah Allah (Baitullah) yang berjarak ribuan kilometer dari kampungnya.
Butuh 26 tahun bagi Maryani untuk mewujudkan mimpinya.
Tanpa ada yang tahu, Maryani menabung hasil penjualan botol bekas dan pasir untuk mewujudkan keinginannya pergi berhaji.
Anak-anak dan tetangganya pun kaget ketika tahun ini Maryani benar-benar mendapat panggilan Ilahi, menunaikan haji di Tanah Suci.
Meski bekerja sebagai pemulung, Maryani sudah masuk dalam golongan orang-orang mampu menunaikan haji.
Kisah inspiratif Maryani ini pernah diangkat Tribunnews Bogor pada bulan Juli lalu, dan kembali diangkat oleh Kantor Berita Turki Anadolu Agency, Senin (5/8/2019).
"Saya selalu ingin pergi untuk haji," kata Maryani, yang hanya menggunakan satu nama, kepada Anadolu Agency, sebelum berangkat ke Arab Saudi Jumat lalu.
Baca: KISAH NYATA 30 Tahun Hanafiah Simpan Duit Jual Sayur di Bawah Kasur, Istrinya Kaget Diajak Naik Haji
Baca: Kisah Ayah Doe Garap Film Eumpang Breuh Hingga Meledak di Pasaran, Ini Cita-citanya belum Tercapai
Berbekal Keyakinan dan Tekad
Dilansir dari TribunnewsBogor.com, Maryani (63) adalah warga Pulo Geulis RT 2 Babakan Pasar, Bogor Tengah, Kota Bogor.
Berbekal keyakinan dan tekadnya, Maryani mendapatkan berkesempatan mengunjungi Tanah Suci bulan Agustus 2019 ini.
Jamaah Calon Haji (JCH) yang tergabung dalam kloter 88 asal Kota Bogor ini telah mengumpulkan uang dari hasil jual barang bekas selama 26 tahun untuk pergi haji.
Setiap hari, janda empat anak ini mencari kardus, botol, dan barang bekas lain demi mewujudkan impiannya.
Hanya dengan berjalan kaki membawa tas kresek, ia berkeliling kampung untuk bekerja mulai dari pukul 04.00 hingga 05.00 WIB.
Sesekali, saat sungai Ciliwung di dekat rumahnya sedang meluap, ia mengumpulkan pasir untuk dijual sebagai tambahan tabungannya ke Tanah Suci.
Dari hasil mengumpulkan pasir itu, ia bisa mendapat 10 karung dimana satu karung pasirnya dijual Rp 10.000.
Meski berpenghasilan tak menentu, Maryani tetap istikomah menyisihkan uang hasil mulungnya.
Ia biasa menjual barang rongsok yang didapatkan per satu tahun agar mendapat penghasilan yang lebih banyak.
Hal ini dilakukannya setiap hari sejak tahun 1993.
"Kalau ngejualnya per hari teh uangnya kecil, paling sehari mah cuman dapet Rp 3.000 paling gede Rp 10.000. Jadi ibu kumpulin dulu sampai satu tahun baru ibu jual," cerita Maryani kepada TribunnewsBogor.com saat dijumpai di rumahnya, Kamis (11/7/2019).
Baca: Mengenang Ayah Doe, Sosok Pemberi Nama Haji Uma, Yusniar, Him Morning,dan Para Bintang Eumpang Breuh
Baca: Kakiyah, Tempat Bayar Dam di Mekkah
Dalam satu tahun, ia biasanya mendapat uang Rp 1.200.000 dari barang bekas yang dikumpulkan.
Dari jumlah tersebut, Rp 1.000.000 ia tabung untuk berangkat haji sedangkan sisanya untuk simpanan pribadi.
Berbekal uang Rp 25.000.000 dari hasil menabung sedikit demi sedikit, tepatnya pada tahun 2012 Maryani mendaftarkan diri sebagai peserta calon haji.
"Waktu daftar, dibilangnya berangkat tahun 2020. Saya agak tenang karena masih ada waktu banyak untuk cari uang pelunasannya. Ternyata dipanggil lebih cepat," paparnya.
Kendati demikian, sebelum Maryani dihubungi untuk melakukan tes kesehatan pada bulan April lalu, ia dimudahkan mendapat uang Rp 10.000.000 untuk melunasi biaya pergi haji sebesar Rp 35.000.000.
Padahal, waktu pertama kali hendak mendaftar sebagai peserta calon haji, ia sempat ragu tidak bisa membayar biaya sisanya.
Namun dengan mengembalikan keyakinannya ingin menunaikan rukun islam yang ke-5 itu, pada akhirnya ia tetap mendaftarkan diri bahkan dilancarkan jalannya untuk mendapatkan uang.
"Yang dicari kan bukan cuma uang buat lunasin tapi untuk pegangan ibu di Mekkah juga harus ada. Tapi alhamdulillah, pas tanggal jatuh temponya ibu bisa bayar lunas. Alhamdulillah jadi berangkat," cerita Maryani dengan mata berkaca-kaca.
Meski usia tak lagi muda, Maryani nampak masih segar dan lincah layaknya usia produktif.
Ia mengaku tak malu sama sekali dengan profesinya meski berkutat dengan sampah setiap harinya.
Bahkan anak yang kini tinggal satu rumah bersama Maryani sebetulnya sudah tak lagi mengizinkannya untuk bekerja mencari rongsok.
Namun siapa sangka, justru dari sampah plastik yang ia kumpulkan puluhan tahun di pagi buta, bisa memberangkatkannya ke Tanah Suci seorang diri.
"Buat apa malu, malah ikut bantu bersihin lingkungan. Tadinya kotor jadi bersih," tutur Maryani.
Padahal, ia bercerita, 1 kg sampah plastik hanya bernilai Rp 2.000 - Rp 4.000 saja tergantung jenis botolnya.
Apalagi harga 1 kg kardus hanya bernilai Rp 1.000 saja.
"Setiap solat saya selalu berdoa, ya Allah saya mau ke Mekkah dan ziarah ke makam Rasulullah," ucap dia.
Baca: Kebakaran Hutan Landa Pegunungan Kuta Malaka, Lokasi Tak Bisa Diakses Damkar
Menyimpan Rahasia
Ibadah haji adalah kewajiban agama bagi umat Islam yang memiliki kemampuan secara fisik, mental, dan harta.
Haji wajib dilaksanakan setidaknya sekali seumur hidup.
Ibadah yang merupakan "pilar" kelima dari agama Islam ini, dimaksudkan untuk menunjukkan solidaritas di antara umat Islam dan kepatuhan mereka kepada Allah.
Karena kalender Islam didasarkan pada siklus bulan, tanggal haji berubah setiap tahun bagi negara yang merujuk kepada kalender Masehi.
Maryani mengatakan keinginannya untuk pergi haji semakin kuat setelah suaminya meninggal pada 1980-an dan dia telah menabung sejak tahun 1993.
Namun, pada saat itu dia tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang untuk naik haji karena dia dibesarkan dengan empat anak untuk dibesarkan.
"Jadi, saya mulai mengumpulkan botol bekas," kata Maryani seperti dikutip dari Anadolu Agency.
Sejak itu, ia bekerja sebagai pemulung pada waktu fajar, hingga panggilan untuk sholat pukul 5 pagi setiap pagi.
Wanita 64 tahun itu mengumpulkan jung-jung seperti gelas plastik bekas, botol dan kardus yang bisa dijual.
"Setelah hujan lebat, saya juga mengumpulkan pasir untuk dijual," tambahnya.
Ketika ia tinggal di sekitar tepi Sungai Ciliwung, sungai utama yang mengalir melalui Jakarta, ia sering menggali dan menimbun pasir dari sungai dan menjual tiang pancang sebagai bahan bangunan. Dia bisa mengumpulkan setidaknya lima karung pasir sehari dan menjualnya seharga 8.000 rupiah ($ 0,56) per karung.
Pada 2012, setelah kerja kerasnya selama hampir dua dekade, tabungan Maryani mencapai 25 juta rupiah ($ 1.750), pembayaran minimum pertama yang diperlukan untuk mendaftar haji di Indonesia pada waktu itu.
Sejak itu, ia telah bekerja keras mengumpulkan sampah dan pasir untuk melunasi sisa biaya 10 juta rupiah ($ 699,82).
Dia menyimpan rahasia tabungan haji dari keluarga dan kerabatnya selama bertahun-tahun.
Bahkan anak-anaknya tidak tahu bahwa selama ini ibu mereka mengumpulkan sampah dan pasir untuk membayar biaya ziarah.
Maryani hanya memberi tahu anak-anaknya pada April tahun ini, setelah menerima berita tentang jadwal keberangkatannya dari Kementerian Agama.
Para tetangga yang akhirnya mendengar tentang rencana Maryani ingin tahu mengapa anak-anaknya membiarkan Maryani mencari selama bertahun-tahun untuk pergi haji.
"Bagaimana saya bisa membantu ibu saya, saya juga tidak tahu dia mengumpulkan uang untuk pergi berziarah," kata salah satu anaknya, Dany Mulyana yang bekerja sebagai petugas parkir.
Maryani mengakui bahwa 26 tahun adalah periode yang sangat lama, tetapi dia mengatakan dia tidak pernah khawatir kapan dia akan bisa pergi ke tanah suci.
"Yang paling penting adalah saya menabung. Saya tidak pernah menyerah, selalu penuh semangat dan tidak pernah merasa lelah," tambahnya.
Maryani tidak menjual barang-barang yang dia kumpulkan segera tetapi menjualnya setelah menumpuknya selama setahun.
"Setelah terjual, saya akan mendapatkan sekitar 1,2 juta rupiah ($ 84) per tahun. Saya akan menghemat satu juta ($ 70) dan menghabiskan sisanya," katanya.
Sedangkan untuk pengeluaran sehari-hari, Maryani didukung oleh anak-anaknya, yang sebagian besar sudah menikah dan hidup terpisah.(*)