DPRA tak Bersuara, Elemen Sipil Sorot Peran Pengawasan Dewan  

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BANDA ACEH - Sejumlah elemen masyarakat sipil di Aceh menyorot Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang dianggap tak peka dengan kondisi masyarakat Aceh. Peran pengawasan seperti tak berjalan. Terbukti sejak resmi dilantik pada September 2019 lalu, belum pernah sekalipun dewan secara kelembagaan bersuara menyoal kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Aceh.

Sorotan tersebut antara lain datang dari Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA). Koordinator GeRAK, Askhalani, mengatakan, DPRA yang mayoritas diisi oleh kelompok oposan, seharusnya memainkan peranan kuat mengkritisi kebijakan Pemerintah Aceh yang dianggap tidak sesuai dengan harapan publik.

“DPRA jangan hanya diam atau gaya-gayaan semata. Seharusnya mereka tampil kritis melebihi kritisnya publik di luar parlemen," pungkas Askhalani dalam wawancaranya dengan Serambi, Sabtu (21/12/2019).

Sebagai contoh, soal kegagalan peembangunan rumah duafa beberapa waktu lalu. Askhal menyebutkan, proyek multi years tersebut diduga melanggar prosedur, termasuk yang paling fatal adalah masalah penganggaran. Persoalan ini juga banyak menyedot perhatian publik Aceh. Namun, lanjut Askhal, respons publik itu dijadikan landasan oleh DPRA untuk mengkritik kebijakan Pemerintah Aceh.

"Kalau hanya sekedar diam, ya mendingan anggota DPRA berkantor di warung kopi saja, sambil menikmati hasil dari APBA. Itu lebih hebat daripada masuk kantor tapi hanya sekedar absen dan tidak melakukan upaya apapun untuk memainkan peranannya dalam mendorong kerja-kerja berkualitas bagi SKPA dan kepala Pemerintah Aceh," cecar Askhalani.

Sebenarnya, lanjut Koordinator GeRAK Aceh ini, publik yakin dengan sejumlah tokoh muda yang kini duduk di kursi parlemen DPRA. Apalagi pimpinan DPRA yang kemudian terpilih adalah anak-anak muda hebat. Tapi sayangnya, hingga akhir tahun 2019, DPRA tidak berani mengoreksi kebijakan pemerintah Aceh yang cenderung tidak menunjukkan perubahan yang baik, seperti soal layanan publik maupun realisasi anggaran.

“Ini perlu dikritisi. Kalau pimpinan DPRA yang muda itu tidak memiliki sikap kritis, itu sama dengan menunjukkan bahwa mereka gagal paham dalam memahami kondisi rill publik Aceh saat ini,” tambahnya.

Menurut Askhalani, saat ini lembaga DPRA tumpul dan kurang memainkan perannya sebagai wakil rakyat. Sejak dilantik, hanya beberapa orang saja yang masih memiliki kepekaan publik. Sisanya lebih memilih diam. "Hasil temuan kita, hanya tujuh orang saja yang selama ini vokal, sedangkan yang lain diam dan tidak mengerti tupoksi," pungkas Askhalani.

Tak berdaya

Koordinator MaTA, Alfian, juga mempertanyakan keberadaan kelembagaan DPRA yang sejak dilantik 30 September 2019 sampai sekarang seperti kehilangan fungsinya, yakni sebagai pengawasa kebijakan pemerintah.

“Ada beberapa anggota yang kritis, tapi sikap dari Ketua DPRA malah hilang sama sekali," sebut Alfian.

Kebijakan-kebijakan kontroversi seperti pembatalan rumah duafa, rencana pengadaan pesawat 4 unit dengan terkurasnya anggaran Aceh mencapai Rp 336 milyar sama sekali tak menjadi perhatian dari lembaga dewan. Oleh karena itu, ia menilai sudah sepatutnya publik mempertanyakan mengapa lembawa dewan menjadi tidak berdaya.

"Apa karena ingin mengamankan anggaran mareka masing-masing? Kan konflik kepentingan anggaran 2019 dan 2020 sempat menjadi pembincangan publik dalam dua bulan ini," imbuhnya.

Alasan karena tata tertib DPRA belum siap menurut Alfian bukanlah alasan yang kuat, sebab kegiatan reses tetap bisa dilaksanakan. MaTA menilai, arah DPRA sudah lari dari fungsi yang sebenarnya dan publik patut meluruskan hal tersebut.

"Sangat berbahaya kalau kelembagaan parlemen dijadikan sebagai toko waralaba. Katanya demi rakyat, tapi di saat pembatalan rumah duafa malah mereka lari dari tanggung jawab. Jangan karena dapat mobil dinas baru, sudah bisa dinina bobokkan. Kelakuan-kelakuan tersebut dapat menambah ketidakpercayaan publik terhadap kelembagaan DPRA," kata Alfian.

DPRA Mandul

Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal juga memberikan tanggapannya mengenai lemahnya peran anggota DPRA periode 2019-2024. "Sejauh ini kita melihat DPRA masih mandul dalam menjalankan fungsi-fungsinya sesuai otoritas yang dimiliki," katanya.

Anggota DPRA menurutnya, masih sibuk dengan urusan internal, termasuk disibukkan oleh masalah tata tertib (tatib) yang tak kunjung selesai. Harusnya waktu dua bulan sudah memadai untuk menyelesaikan proses penyusunan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). "Sebaiknya DPRA belajar pada teman-teman di DPRK yang bisa menyelesaikan urusan rumah tangganya dalam waktu singkat,” imbuh Syakya.

Melihat perkembangan terakhir, ia pesimis AKD DPRA bisa terbentuk akhir tahun 2019 ini, dan membuat DPRA tidak bisa menjalankan fungsi pengawasan secara maksimal. Kondisi ini, lanjutnya, sangatlah merugikan daerah.

“Bayangkan, pelaksanaan APBA-P 2019 berlangsung tanpa ada pengawasan sama sekali. Sehingga berbagai kebijakan eksekutif yang merugikan rakyat tidak mendapat advokasi sama sekali dari anggota DPRA,” ungkap Syakya.

Wakil Ketua DPRA, Hendra Budian, menanggapi sorotan dari elemen masyarakat sipil terhadap lembaganya yang dinilai lemah. Ia menegaskan bahwa DPRA tidak diam dan terus melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh.

"Kita tidak diam. Kita sepakat dengan masukan dari kawan-kawan masyarakat sipil selama ini terhadap kinerja Pemerintah Aceh, tentunya ini menjadi perhatian kami di DPRA," katanya menjawab Serambi, Sabtu (21/12/2019).

Terkait dengan beberapa hal selama ini yang menjadi sorotan publik, seperti rendahnya serapan anggaran, Hendra menyatakan akan melakukan komunikasi dengan pihak eksekutif untuk meminta klarifikasi atas masalah itu. Sementara terkait dengan wacana pembelian pesawat, politikus Partai Golkar ini mengatakan bahwa memang masalah itu masih wacana, tapi pihaknya tetap akan meminta penjelasan secara intensif kepada dinas terkait.

"Karena memang benar, (anggaran pembelian pesawat) itu belum masuk dalam APBA. Karena wacana ini melanjutkan MoU yang digagas oleh Irwandi Yusuf. Kita tetap akan kaji dan meminta klarifikasi yang konkret dari Pemerintah Aceh," ujarnya.

Di samping itu, Wakil Ketua DPRA ini juga berharap agar kritikan yang disampaikan publik selama ini harus menjadi dasar bagi Pemerintah Aceh untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) yang masih lemah.

"Kinerja SKPA harus menjadi PR (pekerjaan rumah) penting di awal tahun 2020 bagi Pemerintah Aceh, jika tidak ingin sorotan serupa terulang lagi di tahun berjalan. Kalau ini, tegas kami minta kepada Plt Gubernur untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja SKPA," pintanya.

Begitu juga kepada Sekda Aceh, Taqwallah yang selama ini sering turun ke daerah. Menurut Hendra Budian, Sekda tidak perlu lagi turun ke kabupaten/kota karena Sekda juga bertanggung jawab melakukan evaluasi kinerja SKPA.

"Karena tingkat keberhasilan Pemerintah Aceh itu ada pada kinerja SKPA. Misalnya, kenapa ada penumpang gelap. Artinya, Plt Gubernur harus berani melakukan evaluasi. Jika ini ada pembiaran, perlu dipertanyakan," ungkap politikus asal Bener Meriah ini.

Karena itu, sambung Hendra, DPRA juga menanti sikap Plt Gubernur Aceh dalam menyikapi sorotan publik terhadap melemahnya kinerja SKPA tahun 2019 agar tidak terulang pada tahun 2020. "Jika terlalu banyak sorotan publik kepada Pemerintah Aceh, ini akan melemahkan proses pembangunan di Aceh," pungkasnya. (dan/mas)

Berita Terkini