SERAMBINEWS.COM BANDA ACEH - Hari Ini, 15 tahun lalu menjadi menjadi tonggak sejarah paling memilukan sepanjang sejarah abad ini.
Bencana kemanusian, gempa dan tsunami menerjang Aceh, dan beberapa wilayah lain di berbagai negara.
Hanya ucapan Lailahaillallah, Allahuakbar...yang terdengar, dan semuanya menjadi kecil di hadapan-Nya tatkala air laut berwujud gelombang raksasa itu menyapu pesisir Aceh.
• Kisah Wartawan Serambi Cari Adik Usai Tsunami, Jumpa Rekan Kantor Bawa Mayat Istri di Kereta Sorong
Dalam hitungan menit daerah pesisir pantai Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, dan Aceh Utara luluhlantak rata dengan tanah.
Saat gelombang menggulung-gulung daratan itu datang, ada ratusan ribu orang kehilangan segalanya.
Suami kehilangan istri, istri kehilangan suami, atau sebaliknya anak-anaknya yang kehilangan orang tua, sahabat dan sanak saudara.
Semuanya merasa kehilangan, tak ada satu kekuatan pun mampu menghadangnya.
Hari itu, Aceh berduka, air mata membasahi bumi syuhada.
Anak-anak menjerit kehilangan orang tuanya, mereka menjadi yatim piyatu dalam hitungan menit.
Tidak hanya manusia, alam pun berduka, luluhlantak dalam sekejap, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan meranggas.
Menyisakan lumpur hitam bearoma belerang. Kemudian semua mata tertuju kepada Aceh dengan selaksa duka nestapa yang menimpa penduduknya.
* * *
Minggu kelabu itu
Minggu, 26 Desember 2004, tak pernah terbayang akan terjadi prahara, bencana gempa dan tsunami. Tidak ada firasat buruk, dan tidak pula ada tanda-tanda akan mengalami hal yang luar biasa.
Hari itu, para nelayan melaut seperti biasanya, pedagang membuka dagangannya, pengemudi menjalankan roda transportasi, aktivitas pasar tradisional disibukkan oleh transaksi jual beli, lari pagi dan jalan santai berlangsung pulasebagaimana tradisi.