SERAMBINEWS.COm, BANDA ACEH - Beberapa hari setelah bencana, Banda Aceh dibanjiri relawan baik dari dalam maupun luar negeri.
Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) yang terletak di Blang Bintang, Aceh Besar, sekitar 12 km dari Kota Banda Aceh, menjadi padat, tidak hanya karena menurunkan barang dan relawan yang datang dari berbagai daerah dan penjuru dunia, tetapi juga akibat dijadikan sebagai tempat penginapan massal oleh para pengungsi dan relawan.
Dalam kondisi begini, air bersih dan makanan menjadi barang langka dan mahal. Dibukanya ruang udara bandara Sultan Iskandar Muda bagi masyarakat Internasional merupakan suatu hal yang menarik.
Sebab sejak pertengahan 2003, Pemerintah RI menggelar pengawasan ketat di lingkungan bandara dan mengeluarkan larangan terbang bagi semua pesawat asing di ruang udara Aceh.
Ini sejalan dengan aktivitas Darurat Militer yang diterapkan pemerintah dalam upaya menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Larangan yang tertuang dalam Notice to Airman, dikenal sebagai Notam A-0764 itu bahkan dipublikasikan ke seluruh dunia.
• Kisah Kapal Induk Amerika USS Abraham Lincoln ketika Tsunami Menerjang Aceh
• Hari Ini, 15 Tahun Lalu Gempa dan Tsunami Meluluhlantakkan Aceh, Lailahaillallah, Allahuakbar
Saat darurat sipil, Notam A-0764 tetap dikeluarkan dengan skala lebih lunak.
Semua pesawat asing dan masyarakat internasional dapat memasuki Aceh dengan menunjukkan jati diri agar dapat diidentifikasi.
Terkait dengan bencana tsunami yang melanda Aceh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu menetapkan bencana gempat dan tsunami Aceh sebagai bencana nasional dan TNI mengeluarkan Notam yang mengisyaratkan ruang udara Aceh terbuka bagi pesawat-pesawat asing serta masyarakat internasional.
Mereka dapat langsung terbang dari negaranya menuju Aceh dalam misi kemanusiaan, tanpa harus memenuhi syarat keimigrasian normal.
Kurang dari 24 jam setelah Notam tersebut diberlakukan, pesawat terbang asing dari berbagai negara segera mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Aceh melalui bandara Sultan Iskandar Muda.
Saat itu, karena tsunami, ruang udara Aceh terbuka lebar bagi seluruh negara yang menjalankan misi kemanusiaan.
Terlihatlah kesibukan para petugas bandara dalam mengatur hiruk-pikuk pesawat asing dan domestik yang menggunakan fasilitasbandara.
Menurut Buku Tsunami dan Kisah Mereka yang diterbitkan Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh awak radar bandara SIM mencatat hampir 150 pergerakan per hari, termasuk beberapa heli dari US Navy yang berpangkalan di kapal induk USS Abraham Lincoln.
Dalam kondisi normal, pergerakan yang terjadi di bandara.