BLANGPIDIE - Kasus dugaan korupsi perjalanan dinas atau Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif para anggota DPRK Aceh Barat Daya (Abdya) tahun 2017, resmi dihentikan oleh penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Abdya. Dihentikannya kasus yang sempat mencuri perhatian banyak pihak itu setelah tim penyidik Kejari menerima surat dari Inspektorat Abdya Nomor: 700/254/2019 tentang pemberitahuan penyelesaian tindak lanjut temuan BPK RI tahun 2017.
Dalam surat 'keramat' itu, inspektorat menyebutkan bahwa kerugian negara yang berdasarkan temuan BPK RI senilai Rp 1 miliar lebih, sudah disetor ke kas daerah. Berdasarkan surat inspektorat itu, maka penyidik Kejari Abdya menyimpulkan untuk tidak melanjutkan lagi pengusutan kasus tersebut. Alasannya karena tidak ada lagi kerugian negara dalam kasus SPPD fiktif itu.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Abdya, Nilawati SH MH melalui Kasi Intel Radiman SH saat dikonfirmasi Serambi, Kamis (6/2/2020), membenarkan bahwa pengusutan kasus dugaan SPPD fiktif tersebut telah dihentikan. "Iya benar (sudah dihentikan)," ujar Kajari Abdya melalui Kasi Intel Radiman SH.
Ia menjelaskan, salah satu alasan pihaknya menghentikan penyelidikan kasus itu karena ke-24 anggota DPRK Abdya yang sempat mengambil dana SPPD sudah menyetor uang temuan itu ke kas negara, sehingga tidak ada lagi kerugian negara dalam kasus tersebut. "Jadi, dengan disetornya uang itu kas negara, maka kasus ini tidak memenuhi unsur," pungkasnya.
Seperti diketahui, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh menemukan kejanggalan dalam perjalanan dinas anggota DPRK Abdya sebesar Rp 1,3 miliar. Temuan kejanggalan perjalanan dinas anggota dewan yang diduga fiktif itu merupakan hasil audit BPK untuk APBK Abdya tahun 2017.
Dari 25 anggota DPRK Abdya, hanya satu orang yakni Syamsul Bahri dinyatakan sesuai, sehingga tidak perlu mengembalikan uang perjalanan dinas tersebut ke negara. Temuan perjalanan dinas itu diketahui pasca tim auditor melakukan kroscek sejumlah tiket pesawat para anggota dewan danĀ menemukan perbedaan antara tiket dan boarding pass (tanda/izin masuk dalam pesawat).
Pada tiket pesawat, tertera nama anggota DPRK yang bersangkutan, sementara pada boarding pass yang diserahkan pada bendahara, setelah diteliti oleh tim auditor menggunakan barcode ternyata muncul nama orang lain. Dengan perbedaan boarding pass dan tiket pesawat itu, maka auditor menganggap perjalanan dinas anggota DPRK tersebut fiktif alias tidak ada sehingga uang yang sudah diambil harus dikembalikan.(c50)